Menyemai Persatuan dari Ruang Kelas

Oleh :
Dian Marta Wijayanti
Guru SDN Sampangan 01 Kota Semarang

Momen sacral Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 diwarnai tindak rasisme yang menyeret mahasiswa Papua di Malang. Ujaran kebencian, permusuhan, dan kekerasan tampaknya urgen dihentikan. Semua pihak menyayangkan fenomena tersebut. Disaat masyarakat dari Sabang sampai Merauke berlomba-lomba meningkatkan persatuan dan kesatuan, rasisme di Kota Apel itu justru menjadi virus buruk bagi daerah lain. Banyak kecaman bermunculan dari berbagai daerah seperti Medan dan Manokwari sebagai wujud kekecewaan tersebut.
Aneka persoalan memang mudah ditemukan di Indonesia. Heterogenitas yang seharusnya menjadi kekayaan bangsa justru menjadi racun yang memecah belah persaudaraan. Hidup di Indonesia sudah mutlak berhadapan dengan ribuan perbedaan. Baik itu perbedaan suku, agama, ras, adat, agama, golongan, dan perbedaan lainnya. Namun minimnya pengetahuan multikultural telah mendorong egoisme beberapa pihak untuk menggerogoti persatuan bangsa.
Ujaran kebencian merupakan awal dari perkelahian besar yang terjadi di Malang. Andai saja masing-masing pihak dapat menjaga ucapan tentu hal tersebut dapat dihindari. Namun nasi telah menjadi bubur. Perhelatan pihak-pihak yang saling membenci telah berujung kerusuhan yang tentu saja merugikan secara moril maupun materiil.
Pendidikan Kebhinnekaan
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengandung arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Kalimat tersebut merupakan pengikat dan pengingat. Artinya, meskipun kita berbeda suku, agama, warna kulit, dan golongan namun kita berada pada payung yang sama yaitu Indonesia. Negara yang bersatu seharusnya kokoh dan tidak mudah terpecah belah. Sifat toleransi sebagai sifat dasar masyarakat Indonesia sudah sepatutnya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Toleransi terhadap masuknya budaya asing hendaknya lebih disaring lagi. Dewasa ini banyak generasi muda justru lebih bangga tampil dengan budaya barat daripada budayanya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kalangan pelajar justru tidak mengenal nilai kebhinnekaan.
Nilai-nilai kebhinnekaan seharusnya ditanamkan sejak dini, baik di sekolah maupun keluarga. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan formal dapat kembali menanamkan nilai luhur bangsa melalui Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) seperti yang termaktub dalam permendibud Nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal.
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah Gerakan Pendidikan di bawah tanggung jawab satuan Pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah piker, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan Pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Pada Pasal 6 Permendikbud Nomor 20 tahun 2018 dinyatakan bahwa penyelenggaraan PPK yang mengoptimalkan fungsi kemitraan tripusat Pendidikan dilaksanakan dengan pendekatan berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat.
Ruang Kelas sebagai Kunci
Pendekatan PPK berbasis kelas dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran secara tematik atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai isi kurikulum. Perencanaan pengelolaan kelas dan metode pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Secara periodik guru memberikan evaluasi pembelajaran dan bimbingan kepada peserta didik. Guru juga juga mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik.
Sesuai mandat pelaksanaan PPK yang salah satunya adalah pendekatan berbasis kelas, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru untuk menyemai persatuan dari ruang kelas. Pertama, mengajak peserta didik berpikir kritis. Peserta didik dikenalkan terhadap keragaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ranah spiritual yang harus diajarkan guru kepada siswa adalah bersyukur. Melalui perbedaan agama, adat, bahasa, warna kulit, dan golongan siswa akan menyadari besarnya kekuatan Tuhan atas makhluk ciptaan-Nya. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan sudah sepatutnya untuk saling menghormati dan menjaga perdamaian di muka bumi.
Kedua, memberi kesempatan kepada peserta didik bersosialiasi dengan lingkungan sekitar. Peserta didik diberi kebebasan untuk berteman dengan siapapun. Hal ini bisa disiasati dengan mengubah teman sebangku secara berkala. Dalam pembentukan kelompok pun diacak sehingga peserta didik tidak memilih rekan satu timnya. Peserta didik yang mulai membeda-bedakan teman segera mendapat teguran dari guru agar tahu hal yang dilakukannya salah. Begitu pula dengan anak yang relatif pendiam. Guru memberikan kesempatan anak tersebut untuk berbicara atau mengemukakan pendapat di dalam kelompoknya. Hal ini akan membangun rasa percaya diri dari anak tersebut.
Upaya membangun rasa percaya diri anak di dalam komunitas akan mengenalkan anak pada keberagaman. Peserta didik akan mulai mencintai dirinya sendiri sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ia miliki. Dengan menyadari kekurangan, peserta didik mulai memahami pentingnya hidup bersama untuk saling melengkapi satu sama lain.
Ketiga, menyediakan bahan literasi yang relevan khususnya yang berhubungan dengan perbedaan dan keberagaman. Semburat budaya baca buku nonpelajaran sebelum pembelajaran dimulai dapat dimanfaatkan oleh guru untuk membekali pengetahuan peserta didik. Banyaknya berita hoaks di media massa khususnya yang tersebar di grup whatsapp dapat menjadi kompor perpecahan bangsa. Berita itu dapat diredam jika peserta didik memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebenaran yang ada. Pendampingan dari guru dalam kegiatan literasi sangat dibutuhkan. Peserta didik tidak cukup hanya dengan membaca berita saja. Namun mereka juga membutuhkan penjelasan dari guru sebagai riil modele di dalam kelas. Guru dapat memberi pemahaman pada peserta didik agar tak mudah terpengaruh dengan berita dan perilaku melanggar norma, baik norma agama, hukum, adat, kesusilaan, maupun kesopanan.
Keempat, memberikan keteladanan. Semaju-majunya teknologi peran guru tidak akan tergantikan. Guru adalah sosok nyata yang mampu memberikan teladan secara langsung. Siswa lebih mudah mencontoh hal-hal yang dilihatnya baik itu berupa ucapan maupun perbuatan. Sebagai contoh guru yang mudah menghina (bullying) lisan kepada peserta didik biasanya akan ditiru siswa dengan menghina temannya.
SDM unggul terbentuk atas kerja sama yang kuat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Apabila lumpuh salah satu, maka lumpuhlah semuanya. Mari menyemai persatuan sejak dini dan mulai dari ruang kelas!

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: