Menyematkan (Kembali) Lencana Kehormatan Guru

wahyu kuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya

Membicarakan profesi guru tak pernah ada habisnya. Perdebatan tentang kesejahteraan, kualitas dan pemerataan guru selalu silih berganti, jadi wacana di tengah masyarakat yang tak pernah tuntas terpecahkan. Tak pelak, profesi guru menjadi tema yang seksi jadi bahan diskusi mengisi waktu senggang para penguasa dan politisi.
Bahkan, dalam setiap rezim kekuasaan selalu ada menjanjikan angin surga bagi kehidupan para guru. Pun demikian juga dengan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) hari ini. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Anies Baswedan mengampanyekan sebuah gerakan untuk memuliakan guru. Beberapa skenario telah dirancang untuk memuliakan guru dengan menggandeng sejumlah kementerian, instansi terkait dan sejumlah perusahaan.
Nantinya, para guru yang menggunakan jasa transportasi, akan diberikan sejumlah potongan harga. Misalnya yang tinggal di Jakarta akan diberi kemudahan untuk menggunakan angkutan Transjakarta, demikian juga yang menggunakan jasa angkutan udara akan mendapat layanan khusus dari PT Garuda Indonesia. Bukan itu saja, ada sejumlah perusahaan dan retail-retail besar yang telah setuju untuk ikut serta. Selain mendapat potongan-potongan harga tersebut. Bahkan para guru mendapat keistimewaan sendiri atau di VIP-kan. Tak hanya itu, Kementerian dibawah Anies Baswedan ini juga menjanjikan akan memperbaiki sejumlah persoalan mendasar dari profesi guru. Salah satuya adalah masalah guru honorer yang hingga kini masih mendapat gaji yang sangat rendah.
Memuliakan Guru
Memberi perhatian kepada guru sejatinya tidak hanya memikirkan bagaimana cara memberikan reward kepada setiap guru sebagai tindakan rasa hormat, tetapi jauh lebih penting adalah dengan cara terhormat melalui ungkapan menghargai guru dari segi tugas dan tanggung jawabnya yang berat. Memberi perhatian kepada guru bisa dilakukan dengan mengakui dan melindungi undang-undang guru, tidak mengeksploitasi hak-hak guru, tidak mengeksploitasi  birokrasi dan tupoksi guru dengan dalih menciptakan regulasi yang berlebihan. Tidak menambah program-program yang tidak signifikan terhadap konvergensi mutu pendidikan nasional yang harus dilaksanakan oleh guru.
Menghadapi masa depan, maka tantangan guru juga semakin kompleks. Tantangan itu antara lain berupa terjadinya perubahan atas peran guru dalam manajemen proses belajar mengajar, kurikulum yang terdesentralisasi, pemanfaatan secara optimal sumber-sumber belajar lain dan teknologi informasi, usaha pencapaian layanan mutu pendidikan yang optimal, dan penegakan profesionalisme guru.
Pada hakikatnya guru adalah menyiapkan masa depan bangsa, maka ini menempatkan guru pada tanggung jawab yang sangat berat, namun mulia. Pada guru tertumpu beban tanggung jawab menyiapkan masa depan yang lebih baik, yaitu dengan berfungsi sebagai jembatan bagi para peserta didik untuk melintas menuju masa depan mereka. Tugas guru sangat mulia karena menyiapkan generasi penerus demi masa depannya yang lebih baik, lebih berbudaya, dan sekaligus membangun peradaban. Dengan demikian, secara hakiki dan asali (genuine) guru adalah mulia, menjadi guru berarti menjadi mulia, bahkan kemuliaannya sama sekali tidak memerlukan atribut tambahan (aksesori). Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan, dan hanya orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai kemuliaan.
Problem Kesejahteraan Guru
Menilai kesejahteraan guru sesungguhnya relatif. Karena secara faktual memang sangat beragam tingkat kesejahteraan guru. Secara sederhana, tingkat kesejahteraan guru bisa dilihat dari statusnya. Apakah dia guru berstatus PNS, atau guru swasta atau bahkan hanya guru honorer. Guru swastapun bisa lagi dipilah apakah guru swasta dari sekolah favorit atau sekolah ala kadarnya.
Hari ini, guru yang berstatus PNS barangkali memiliki kesejahteraan yang relatif lebih baik. Pemerintah secara perlahan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap tingkat kesejahteraan guru. Bahkan sejumlah sejumlah pemerintah daerah, di antaranya Pemprov DKI Jakarta, telah memberikan insentif yang cukup besar kepada para guru. Guru yang tidak berstatus PNS, tetapi mengajar di sekolah-sekolah swasta favorit di kota-kota besar, juga mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Bahkan, di beberapa sekolah swasta terkenal, gaji mereka lebih tinggi dari guru PNS.
Sementara yang agak menyedihkan adalah nasib para guru yang mengajar di sekolah swasta non-favorit serta guru berstatus honorer di sekolah swasta dan sekolah negeri. Pertanyaannya adalah, apakah memang kesejhateraan guru harus disamakan? Atauakah memang harus disesuaikan dengan kinerja masing-masing. Hemat penulis, guru memiliki peran sentral dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), sudah selayaknya kita menghargai profesi mereka lebih tinggi dibanding profesi lainnya. Hal ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan profesi lain, tetapi semata-mata untuk mengembalikan harga diri para guru yang sesungguhnya menjalani pekerjaan mulia.
Kita tentu patut menyambut baik inisiatif Mendikbud Anies Baswedan untuk membahas penghasilan minimum guru dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi yang akhirnya harus mendapat persetujuan Presiden Jokowi. Fakta yang ada menunjukkan masih ada guru honorer yang menerima penghasilan Rp 150.000 sampai Rp 200.000 sebulan. Jumlah tersebut jauh di bawah upah minimum provinisi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang berlaku saat ini.
Tidak berlebihan rasanya kalau penghasilan minimum guru lebih tinggi dari upah yang diterima buruh. Dengan penghasilan sebesar itu kita berharap kehidupan para guru menjadi lebih baik. Setidaknya ada dua hal positif yang bisa dipetik apabila dalam waktu dekat pemerintah menetapkan penghasilan minimum bagi guru.
Pertama, semua guru akan kembali bangga terhadap profesinya. Kebanggaan tersebut membuat profesi guru menjadi lebih menarik. Bila saat ini fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau universitas-universitas eks institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) merupakan pilihan terakhir lulusan SMA dan sekolah sederajat, ke depan diharapkan menjadi pilihan utama. Dengan demikian, guru-guru di masa mendatang merupakan bibit unggul yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara signifikan.
Kedua, dengan penghasilan yang memadai, para guru bisa lebih berkonsentrasi mendidik siswa, sekaligus dapat meningkatkan kompetensi dan kualitasnya. Siswa yang semakin kritis harus diimbangi dengan kualitas guru yang lebih baik, sehingga proses belajar-mengajar berjalan seimbang dan harmonis.
Sertifikasi Guru
Salah satu program pemerintah yang diharapkan dapat mendongkrak kesejahteraan guru adalah program sertifikasi. Sayangnya, karena serba tanggung, setiap kebijakan pun jadi bulan- bulanan kritik. Proyek sertifikasi guru, yang awalnya dengan sistem portofolio, karena disalahgunakan, lantas pakai ujian tertulis. Para guru bersertifikat dijanjikan dapat tunjangan profesi. Karena tersendat penerimaannya, lagi-lagi dikritik betapa tidak seriusnya niat baik tersebut.
Dari kualitas kompetensi berdasar ijazah, dua tahun lalu Kemdikbud menyatakan 27 persen guru layak mengajar di SD, 58 persen di SMP, 65 persen di SMA, dan 56 persen di SMK. Dengan data itu, kualitas guru secara umum masih memprihatinkan. Pemerintah sepatutnya menyadari bahwa program sertifikasi guru secara subtansif belum berhasil menggapai target. Nilai uji kompetensi guru-guru sertifikasi rata-rata nasional di bawah standar, hanya 43,2. Begitu pun guru nonsertifikasi tidak jauh berbeda, terpaut tipis, hanya 42,25. Yang memprihatinkan program beranggaran triliunan rupiah itu justru melahirkan pribadi-pribadi pendidik yang materialistis dan konsumeristis yang melenceng dari nilai-nilai luhur guru sebagai profesi mulia.  Tak dipungkiri, karut-marut implementasi Kurikulum 2013, salah satunya karena faktor ketidaksiapan sumber daya guru.
Realitas ini membangkitkan tekad pemerintah untuk mewujudkan guru berkualitas, antara lain memperketat seleksi calon guru melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun di sisi lain, kebijakan politik pendidikan hendaknya mengacu grand design berbasis process oriented, mendasarkan fakta, berkeadilan dan tetap dalam bingkai filosofis- pedagogis pendidikan. Kita perlu terus mendorong setiap kebijakan didahului kajian komprehensif agar bisa dipertanggungjawabkan.
Singkatnya, menjadi guru bukanlah pengorbanan, namun sebuah kehormatan. Para guru telah memilih jalan terhormat, yakni hadir bersama anak-anak, bersama para pemilik masa depan Indonesia. Guru memiliki peran yang amat mulia dan amat strategis, karena kepada guru, bangsa Indonesia menitipkan masa depan Indonesia. Tidak berlebihan kiranya lencana kehormatan yang sempat terlepas, kini saatnya kita sematkan kembali di dada sang guru.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                                   ————– *** ————–

Tags: