Menyiapkan Calon Pemimpin Berakhlak Mulia

Oleh :
Maswan
Penulis adalah Wakil Dekan 3 FTIK UNISNU Jepara, Kandidat Doktoral Unnes, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah

“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka” (HR Hakim)
Hadits di atas, selayaknya menjadi pegangan hidup bagi kita yang ingin beruntung, dengan cara berpandai-pandai memanfaatkan waktu. Karena waktu, inilah seseorang bisa menjadi sukses atau gagal. Manajemen waktu menjadi bagian hidup yang harus diperhatikan betul.
Dalam al Qur’an sudah jelas diterangkan, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Kehidupan berbangsa dan berenegara, terutama sebagai pemimpin bangsa, selayaknya mampu berpegang pada hadits dan al Qur’an di atas. Setidaknya, sebagai upaya untuk mengantarkan rakyatnya agar mempunyai perubahan hidup dari kesengsaraan menuju ke kebahagiaan dan kemakmuran hidup.
Untuk membangun bangsa, kunci sukses terletak pada tangan penguasa (pemimpin) yang mempunyai integritas tinggi. Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dan para pemimpin yang mayoritas beragama Islam seharusnya meniru kepemimpinan Rasulullah SAW.
Kepemimpinan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah adalah bentuk amanat yang dipegang orang yang berkualitas dan bisa berlaku adik-bijaksana. Realitas kepemimpinan yang dapat memberi berkah manfaat bagi rakyatnya jika dilakukan dengan shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi dengan warganya), dan fathanah (cerdas, berpengetahuan).
Naluriah kepemimpinan dalam perspektif Islam, setiap pemimpin tidak pernah menghendaki sesuatu yang merugikan dan mencelakakan negara dan bangsa yang dipimpinnya. Sebagai pengguna waktu, pemimpin beriman tentu akan melakukan kalkulasi hitungan berapakah hasil pembangunan antara kebaikan dan keburukan yang dilakukan selama menjadi pemimpin? Jika para pemimpin memperoleh hitungan hari ini atau tahun ini lebih baik dari kemarin, berarti termasuk pemimpin yang beruntung, sebaliknya jika lebih jelek dari hari kemarin, termasuk golongan pemimpin yang celaka.
Karakter Religius
Mencermati hadits dan al Qur’an di atas, sebagai pemimpin bangsa yang mencintai peradaban tinggi, selayaknya mampu melakukan penataan pola berpikir dan membentuk karakter yang mampu menghargai waktu. Perjalanan waktu mulai masa penjajah, ke masa kemerdekaan dan kini memasuki era persaingan global, seharusnya sudah menemukan jati diri bangsa berkarakter Ke-Indonesia-an yang ber-Pancasila.
Bangsa Indonesia berkarakter religius. Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi landasan mental bangsa kita. Landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, sejatinya menjadi poros untuk mengangkat negara Indonesia yang berwibawa. Semua pemimpin bangsa komitmen untuk mengaplikasikan mental kepemimpinan shidiq, amanah, tabligh dan fathanah dalam setiap gerak langkahnya.
Setiap pemimpin agar tidak berperilaku jahat dan mungkar, tidak memanipulasi dan ketidakjujuran yang diwujudkan dalam bentuk korupsi, penyalahgunaan kekuasaan. Mampu berkomunikasi dengan santun agar tidak terjadi perseteruan anatar kelompok politisi dalam perebutan kekuasaan, yang ujungnya rakyat yang menjadi korban
Pencanangan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo, sejatinya adalah dari sifat-sifat shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi dengan warganya), dan fathanah (cerdas, berpengetahuan) diaktualisasikan dalam perilaku yang nyata di di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya, program revolusi mental yang sudah berjalan ini, haruslah menjadi gerakan massa yang diawali dari masing-masing individu. Gerakan revolusi mental ini dimulai dari keluarga, masyarakat dan akhirnya seluruh bangsa, terlebih para birokrat sebagai pemimin pemerintahan.
Dalam perubahan mental bengsa yang bernilai baik untuk jangka pendek, mutlak unsur keteladanan dari pemimpin. Rakyat akan bermental baik, kalau para pemimpinnya memberi teladan yang baik. Pemimpin bangsa dijadikan teladan, dalam segala tindak dan perilakunya. Pola kepemimpinan Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan menjadi contoh), menurut Ki Hajar Dewantara, masih sangat cocok untuk kepribadian Indonesia.
Generasi Berakhlak
Pada sisi lain dalam penataan karakter bangsa pada jangka waktu yang panjang, lembaga pendidikan adalah wadah yang paling efektif untuk mendidik calon pemimpin bangsa. Membangun karakter bangsa, terus dicari polanya. Setidaknya para pemimpin bangsa harus lebih serius memikirkan sistem pendidikan yang berbasis agama dan bermoral Pancasila.
Pendidikan selain menyiapkan generasi yang berkarakter pada nilai Ketuhanan yang kuat dan berbudipekerti yang luhur. Oleh Sebab itu untuk mengisi waktu pada masa mendatang, dengan tidak menyia-nyiakan waktu untuk bermusuhan, bersitegang tentang perebutan kekuasaan untuk diri sendiri dan golongan. Para birokrat dan politisi harusnya mampu memanfaatkan waktu untuk memikirkan pendidikan anak bangsa kita ini dengan teladan kepemimpinan yang baik.
Para pemangku kepentingan dalam menata sistem pendidikan dengan berbasis mental kebangsaan yang berakhlak mulia dan religius, maka penanaman mental dan karakter jujur, dapat dipercaya, menghargai pendapat dan toleran (saling menghargai) serta cerdas dalam bidang ilmu dan teknologi dapat terwujud.

———– *** ————

Tags: