Menyidik Harga Cabai

Harga cabai masih bertahan “pedas” selama hampir lima bulan (November sampai Maret). Ini tidak biasa. Sehingga Polisi turut menyidik mahal-nya harga cabai. Begitu juga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), menurunkan tim menjejaki harga cabai, mulai hulu (sentra cabai) hingga hilir di pasar krempyeng. Boleh jadi terdapat pedagang besar cabai “bermain” untuk mengeruk keuntungan, berdalih di balik musim hujan.
Sekarang, waktu yang tepat untuk “sweeping” stok cabai. Kebutuhan cabai nasional ditaksir sebanyak satu juta ton per-tahun! Sedangkan hasil panen cabai sekitar 1,2 juta ton. Pulau Jawa, terutama Jawa barat dan Jawa Timur, menyumbang pasokan terbesar. Maka mestinya, tidak terjadi kelangkaan. Bahkan masih bisa ekspor. Tetapi realita suplai and demand, berbeda. Cabai sering langka seiring musim hujan.
Selama lima tahun terakhir, perekonomian nasional, sudah sering diguncang harga cabai. Dimulai tahun 2011, harga cabai juga melonjak pada bulan Januari. Serasa percaya – tidak percaya, cabai menyumbang angka inflasi melebihi komoditas apapun saat itu. Konon menurut perhitungan BPS, sumbangan angka laju inflasi oleh cabai saat itu mengalahkan dampak kenaikan harga BBM (0,96%). Dua tahun berikutnya (2013) cabai semakin menggoyang perekonomian nasional.
Selama dua bulan (Januari-Februari 2013) menjadi pendorong inflasi cukup tinggi, hingga mencapai 1,78%. Indonesia bukan sedang darurat maupun paceklik cabai. Tetapi kenyataannya, cabai sulit dicari. Semula diduga disebabkan distribusi yang sedang libur tahun baru. Banyak truk tidak beroperasi karena jeda dua pekan selama tahun baru. Sebagian juga disebabkan kendala musim, banyak jalan propinsi dan jalan negara terendam banjir. Cabai menembus “harga psikologis” sudah melampaui Rp 100 ribu per-kilogram.
Saat ini terulang lagi. Setiap keluarga harus lebih cermat menghitung ulang kebutuhan pangan rumahtangga. Jika tidak, pengeluaran rumahtangga bisa memicu pertengkaran berujung ketidak harmonisan keluarga. Pedas-nya harga cabai, seyoginya telah diantisipasi. Walau dapat dipahami sebagai pengaruh iklim, namun wajib segera dikendalikan. Diperlukan kecerdasan pemerintah mengendalikan inflasi harga bahan pangan, selain melalui impor bahan pangan.
Di berbagai sentra cabai di Jawa Timur, tanaman cabai sudah nampak gundul tak berbuah. Harga cabai di pasar tradisional, bertahan sangat mahal berkisar antara Rp 95 ribu hingga Rp 110 ribu per kilogram. Karena itu Bulog Sub Divisi Regional, menggelontor cabai ke pasar tradisional dengan harga Rp 80 ribu per-kilogram (dibawah harga pasar).
Melalui program RPK (Rumah pangan Kita), Bulog Sub-Divre juga menggelar, operasi pasar cabai. Sebanyak 30 unit RPK yang dibawahkan Bulog Sub-Divre (eks-karesidenan) menggelontor stok cabai. Stok cabai Bulog juga berasal dari petani sekitar, yang dibeli sebelum bulan Oktober. Kon diperlukan “gerilya” cabai untuk adu cepat dengan tengkulak. Namun, seketika bubar operasi pasar, harga cabai kembali  meninggi. Nampaknya, stok Bulog tidak sebanyak yang dimiliki tengkulak.
Nasihat pepatah “kecil-kecil cabe rawit,” ternyata benar. Bentuknya kecil, tetapi bisa merongrong perekonomian rakyat dalam skala nasional. Sehingga presiden perlu memberi instruksi kepada menteri terkait untuk men-stabilkan harga cabai. Termasuk kepada Polri dan KPPU, agar harga cabai tidak semakin me-liar. Perlu razia cabai, untuk memutus matai rantai sindikat tengkulak.
Harga cabai harus dikembalikan pada harga ke-ekonomi-an, yang tidak memberatkan rakyat (konsumen), dan tidak merugikan petani. Juga diperlukan cara lebih sistemik, bukan sekadar problem distribusi. Melainkan dengan fasilitasi tata-niaga hasil panen. Serta fasilitasi usaha ke-pertanian, antaralain pe-masal-an (memberi) tanaman cabai pada setiap rumahtangga. Kelak, pemerintah tidak akan tergagap-gagap lagi menghadapi masalah cabai.

                                                                                                      ———   000   ———

Rate this article!
Menyidik Harga Cabai,5 / 5 ( 1votes )
Tags: