Menyikapi Hiruk Pikuk Politik

XnKJDew5reOleh :
Nurudin
Dosen  Fisip  Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Dalam sebuah kuliah, saya pernah ditanya seorang mahasiswa. Dia mengatakan bahwa semakin banyak menonton atau membaca media massa membuatnya semakin bingung. Katanya, banyak muncul kejadian silih berganti. Siapa yang benar siapa yang salah sangatlah membingungkan. Dia kemudian tutup dengan pertanyaan, “Saya harus bagaimana, pak?”
Barangkali apa yang ditanyakan mahasiswa itu juga dialami oleh masyarakat umum. Sebab tidak bisa dipungkiri, terutama menjelang Pemilu 2014, berbagai kejadian muncul silih berganti bahkan susul menyusul. Apa yang dikatakan oleh seseorang media bisa diyakini sebagai sebuah kebenaran. Setelah diyakini, ada omongan lain yang bisa jadi juga dianggap sebagai sebuah kebenaran lain.
Media terus menerus mengekspos kejadian, menampilkan fakta-fakta baru, dan menampilkan pelaku atau aktor-aktor baru. Aktor-aktor baru itu membuat aktor lain ikut muncul. Muncullah nama yang dahulunya tidak dikenal mendadak terkenal hanya karena disinggung oleh tokoh terkenal.
Politik itu ya Politik
Menjelang Pemilu 2014 apa saja bisa menjadi masalah politik. Masalah sosial, budaya, ekonomi, agama bisa menjadi masalah politik. Mengapa? Ada banyak orang yang memang punya kepentingan atasnya. Bisa jadi sebuah kasus itu hanya masalah agama, misalnya soal korupsi pengadaan kitab Al Qur’an. Tetapi karena munculnya menjelang Pemilu ia akan jadi komoditas politik baik yang pro atau kontra. Iklan-iklan di TV yang muncul bisa dipahami sebagai iklan politik pula, padahal bisa jadi hanya iklan layanan sosial.
Kasus yang menjerat para politisi yang harusnya berada dalam ranah hukum, bisa diseret ke ranah politik, hanya karena menjelang Pemilu saja. Jadi tidak ada kasus yang berdiri bergitu saja tanpa berkait erat dengan politik, apalagi jika menyangkut penyelenggara negara.
Masyarakat tidak perlu menjadikan media sebagai kambing hitam. Mereka yang tidak mengetahui persoalan sebenarnya tentang politik atau apa yang melingkupi media tentu akan gampang menyalahkannya. Kalau memang bingung gara-gara media, mengapa harus membaca koran (misalnya)? Atau jika media dituduh biang keladi mengapa tidak membaca banyak koran agar sudut pandang kita tentang pemberitaan bisa lebih luas dan detail?
Banyak orang mengatakan, jika tidak tahu menahu urusan politik jangan ikut-ikutan. Sebab, nanti hanya akan membuat bingung dirinya sendiri. Mengurusi diri sendiri saja sudah bingung, apalagi ikut mengurusi politik? Biarlah politik diurusi oleh orang-orang yang memang tertarik politik. Jika mereka melenceng biarlah ada orang-orang yang ikut menyadarkan.
Tentu ini tidak bermaksud hanya orang-orang tertentulah yang berhak mengurusi politik. Bukan itu. Semua warga negara berhak ikut terlibat dan mengurusi politik. Namun, kalau sudah ikut terlibat, tidaklah gampang menjatuhkan vonis dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu secara membabi buta atau membela kelompok tertentu secara serampangan. Kalau tidak siap, mending tidak usah ikut-ikutan mengurusi politik.
Politik tetaplah politik yang mempunyai nuansa tersendiri. Politik itu, kalau tidak merebut kekuasaan tentu mempertahankan kekuasaan.  Ini sudah berdarah daging dalam dunia politik. Politik tanpa melibatkan proses merebut atau mempertahankan kekuasaan tentu akan hambar. Jadi kalau ada politisi itu kritis pada penguasa, dia sedang berusaha merebut kekuasaan. Sementara jika ada penguasa yang membabi buta (membela diri sampai mencari tumbal politik) itu salah satu bagian dari mempertahankan kekuasaan. Politik tetaplah politik yang mempunyai dunianya sendiri.
Hajatan Besar, Biaya Besar
Pemilu memang masih dianggap hajatan besar. Namanya hajatan, ada banyak persiapan di sana sini. Biaya pun tidak tanggung-tanggung dikeluarkan. Kalau di desa, jika ada hajatan bisa dihibur dengan pentas wayang, ludruk, reog, karapan sapi dan seni tradisional lain. Semua itu untuk mendukung hajatan desa tersebut.
Dalam wilayah politik tidak jauh berbeda. Menjelang Pemilu sudah banyak biaya dikeluarkan oleh lembaga negara atau pribadi masing-masing calon legislatif. Berapa banyak biaya sudah dikeluarkan untuk persiapan pendataan pemilih? Itu belum termasuk pada hari pelaksanaannya. Berbiaya mahal salah satunya karena pemilihan legislatif terpisah dengan pemilihan presiden. Belum lagi jika pemilihan presiden nanti dua putaran. Biaya politik jelas sangat tinggi.
Biaya politik juga menyangkut siapa harus diangkat ke permukaan dan siapa yang harus dikorbankan. Ini juga menyangkut biaya politik. Sebagai mana disebutkan di atas, bahwa politik itu tetap politik maka usaha mempertahankan kekuasaan bagi penguasa tetap penting.
Bagaimana penguasa yang direpresentasikan oleh Partai Demokrat (PD) begitu getol untuk mengusut kasus yang membelit partai  lain sementara yang berkaitan dengan partainya cenderung ditutup-tutupi. Lihat saja, bagaimana getolnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cepat menyelesaikan kasus Lutfi Hasan Ishaq (PKS), kemudian disusul kasus yang menyangkut Raatu Atut (PG)? Bagaimana juga kasus-kaksus yang menyangkut para pejabat di PD itu sendiri? Kekuasaan memang punya kecenderungan seperti itu.
Tulisan ini bukan bermaksud suka dan tidak suka pada seseorang atau lembaga tertentu, tetapi mencoba  mendudukkan persoalan pada posisi semestinya. Bahwa ada kepentingan politik atas pengusutan sebuah kasus. Hal semacam inilah yang jarang diketahui oleh masyarakat. Media karenanya berkewajiban menginformasikannya kepada publik. Bagi masyarakat awam seolah media hanya membuat proses politik semakin membingungkan. Media hanya memberitakan fakta, interpretasi diserahkan sepenuhnya pada masyarakat sendiri. Karenanya, media bukan pemain politik, ia sekadar sarana saja.
Soal Calon Legislatif (Caleg) yang ambisi merusak pemandangan kota dengan memasang baliho, spanduk, foto di pinggir-pinggir jalan  agak susah untuk dilarang. Anggap saja itu bagian dari menyambut hajatan tadi atau  memang kualitas Caleg kita memang baru sebatas itu. Mereka mau untung tetapi tetap tak mengaku salah ketika melanggar hak orang lain menikmati pemandagan yang elok di pinggir-pinggir jalan.
Jadi, mengamati hiruk pikuk politik biarlah berjalan apa adanya. Politik itu tetap politik. Ia akan berputar sesuai kepentingannya. Tak heran jika ada politisi yang sebelumnya biasa saja menjadi penguasa atau yang dahulunya penguasa akhirnya tumbang dengan kenistaan. Politik adalah kepentingan yang semua pemain ikut bermain di dalamnya. “Wasit” pun bisa tergiur untuk bermain dalam politik. Jadi,  take is easy for a while.

Rate this article!
Tags: