Menyikapi Kunjungan Raja Salman

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Politik luar negeri Indonesia yang dikenal dengan bebas aktif yang dilandasi kepentingan nasional demi mengukuhkan jati diri bangsa semestinya menjadi panduan kebijakan luar negeri kita. Itulah landasan negara ini dalam menjalin hubungan dengan negara mana pun, termasuk Arab Saudi. Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud berkunjung ke Indonesia pada 1-9 Maret 2017. Kunjungan Raja Salman terasa istimewa.
Inilah kunjungan pertama Raja Saudi setelah 47 tahun. Presiden di era reformasi, mulai Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, sampai Joko Widodo, telah bertandang ke Saudi. Namun, sejak 1970, kunjungan balasan baru terjadi di masa pemerintahan Jokowi. Berdasarkan politik luar negeri bebas aktif, kita semestinya memperlakukan Raja Salman setara dengan kepala negara lain yang berkunjung ke Indonesia.
Diplomasi Indonesia-Saudi
Kita pun harus memposisikan diri secara setara dalam diplomasi dengan Saudi. Bila ada perlakuan spesial, itu semata-mata untuk menghormati tamu negara. Kita mesti mengingatkan itu karena di tengah perubahan geopolitik, negara-negara tertentu berusaha mencari aliansi baru. Indonesia harus cermat membaca perubahan peta politik global itu. Ketidaksetaraan dalam diplomasi akan membuat kita terikat, tidak bebas, dan mengekor aliansi tertentu.
Indonesia merupakan mitra strategis bagi Arab Saudi karena memiliki berbagai persamaan kepentingan dan budaya. Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia menjadi modal utama dalam membangun hubungan dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Dari tahun ke tahun, hubungan Indonesia-Arab Saudi selalu mengalami peningkatan, baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan, maupun budaya.
Walau sempat mengalami pasang surut, secara umum hubungan bilateral ini terus membaik. Dalam beberapa kasus, Arab Saudi memberikan dukungan politik kepada Indonesia dan mendukung posisi Indonesia pada forum-forum internasional. Kerja sama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan antara Indonesia-Arab Saudi merupakan bidang kerja sama yang mengalami perkembangan pesat.
Kita tahu hubungan Saudi dengan Amerika Serikat memburuk akibat kebijakan perang global terhadap terorisme pascaserangan 11 September. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS yang dinilai diskriminatif terhadap Islam dan Timur Tengah memperburuk hubungan Amerika dan negara-negara Timur Tengah. Saudi pun sejak beberapa tahun lalu berpaling ke Asia, juga Rusia.
Tujuannya tiada lain untuk mereduksi hegemoni Amerika yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi sekutu utama Saudi. Dalam situasi seperi itu, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia sesungguhnya punya posisi strategis. Indonesia bisa memainkan peran lebih aktif dalam menjaga keseimbangan antara Barat dan Timur Tengah serta Islam.
Pengoptimalan kerja sama
Kepentingan nasional, terutama ekonomi, harus kita utamakan dalam diplomasi dengan Raja Salman. Terus terang, hubungan bilateral kedua negara belum optimal. Isu utama dalam hubungan Indonesia-Saudi melulu terkait dengan perkara tenaga kerja perempuan dan haji. Bantuan Saudi ke Indonesia kebanyakan bersifat keagamaan, misalnya bantuan untuk pembangunan tempat ibadah.
Padahal sejak dekade 1980-an interaksi ekonomi antarnegara tersebut makin pekat, khususnya pada saat liberalisasi menjadi bahasa pergaulan ekonomi internasional. Bahkan, indeks keterbukaan tiap negara makin besar, yang menunjukkan kesediaan negara tersebut untuk bekerja sama dalam kegiatan ekonomi secara lebih intensif. Pola ini juga diikuti Indonesia dengan derajat keterbukaan yang lumayan besar.
Secara ekonomi tidak bisa dimungkiri Indonesia telah berada dalam radar perekonomian global dalam banyak aspek. Ukuran ekonomi Indonesia termasuk yang paling besar di dunia. Dengan situasi tersebut, memang Indonesia selayaknya percaya diri untuk bermain dalam konstelasi ekonomi global.
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim Sunni terbesar di dunia, wajar adanya jika Indonesia secara teologis dekat dengan Saudi. Namun, dalam sejarah politik luar negeri kita, Indonesia dikenal dengan konsistensinya dalam menjaga marwah politik bebas aktif atau netral.
Indonesia dalam pertemuan dengan Raja Salman semestinya bisa ‘menekan’ Saudi untuk memperluas kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Investasi di bidang energi dan pariwisata bisa menjadi ladang kerja sama ekonomi kedua negara. Bila kita bisa mempraktikkan politik luar negeri bebas aktif yang dilandasi kepentingan nasional, jati diri kita, baik secara politik maupun ekonomi, akan terjaga.
Secara politik, globalisasi dalam hal hubungan politik antarnegara tidak akan menggerus identitas bangsa. Secara ekonomi, kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain bertujuan mencapai kemandirian ekonomi. Kunjungan Raja Salman berlangsung di tengah dinamika politik pilkada DKI. Celakanya, kunjungan tersebut telah dieksploitasi dan dipolitisasi sehingga memproduksi percekcokan yang tidak produktif, terutama di media sosial.
Rakyat tentu berharap pemerintah bisa menjadikan kunjungan Raja Salman produktif bagi hubungan politik dan ekonomi kedua negara. Caranya tiada lain dengan mempraktikkan politik luar negeri bebas aktif yang dilandasi kepentingan nasional demi menjaga jati diri bangsa.

                                                                                                   ————– *** —————

Rate this article!
Tags: