Menyingkap Strategi Naratif Pengarang dengan Dua Pisau Bedah

Judul : Permainan Metafora dalam Karya Sastra
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : LovRinz
Terbit : Juni 2022
Tebal : 68 Halaman
ISBN : 978-623-446-341-5
Peresensi : Wahid Kurniawan
Penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Bagaimana seorang pengarang menyihir pembaca dengan karya yang ditulisnya? Tentu kita bisa merunut pelbagai strategi. Bisa saja pengarang menghadirkan plot yang menarik, memukau; atau bisa juga ia menggambarkan karakter dengan karakterisasinya sedemikian menawan, hingga mencuri hati pembaca. Selain itu, ia bisa memberikan konflik yang tak terlupakan, dan menutupnya dengan sebuah akhir cerita yang meninggalkan kesan di benak pembaca. Atau, ia pun bisa menggunakan strategi naratif yang lihai, sebagaimana Eka Kurniawan yang tahan membuat kalimat beranak-pinak dalam novel Cantik Itu Luka. Strategi macam itu pun lazim digabungkan dengan kekhasan bahasa yang digunakan. Oleh karenanya, pengarang bisa saja bermain-main di medan bahasa tersebut.

Ia bisa menciptakan satu frasa, klausa, atau kalimat yang memiliki daya tarik tersendiri. Upaya itu pun bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa cara. Dalam hal inilah, Akhmad Idris, dalam bukunya ini, Permainan Metafora Dalam Karya Sastra (Lovrinz, 2022), coba membabarkan cara dan penggunaan bahasa sebagai daya tarik dalam sejumlah karya milik penulis kenamaan.

Di dalam ini, ia membaginya ke dalam dua telaah yang menggunakan dua pisau bedah yang berbeda. Pertama, untuk menelisik keberadaan metafora yang dipakai sejumlah pengarang dalam karya-karya mereka untuk menghadirkan sihir memukau di benak pembaca, penulis menggunakan teori metafora konseptual milik George Lakoff & Mark Johnson.

Telisikan dengan teori ini dipakai atas beberapa karya, misalnya terhadap dua karya dari pengarang besar Amerika Latin, yaitu Gabriel Garcia Marquez. Penulis mencatat, selain terdapat kerumitan latar belakang atas kisah-kisah yang ditulis Gabo (sapaan Garcia), terutama dalam buku kumpulan cerpen Para Peziarah yang Janggal (GPU, 2021), pengarang yang memenangkan Nobel Sastra 1982 ini juga piawai dalam menghadirkan metafora yang sarat makna. Salah satu metafora itu, misalnya, terdapat dalam cerpen berjudul “Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon”. Penulis menemukan dua metafora dalam cerpen ini, yaitu “dasar neraka” dan “lengan beruang kutub”.

Kendati salah satunya tidak tampak asing, metafora dasar neraka dalam cerpen itu tak luput dari telaah penulis. Dengan menggunakan konsep metafora konseptual George Lakoff & Mark Johnson, penulis menjelaskan, bahwa metafora dasar neraka sebagai sumber domain digunakan untuk menutupi atau menyembunyikan arti yang lain, yaitu rumah sakit (target domain).

Dengan begitu, latar rumah sakit yang disinggung oleh karakter dalam cerpen itu, dikesankan saking buruknya, hingga disebut-sebut sebagai “dasar neraka”. Adapun metafora “lengan beruang kutub”, penulis membabarkan kalau ungkapan itu ditunjukkan kepada karakter petugas perempuan yang memiliki tubuh raksasa (target domain), alias besar; sehingga disamakan, atau makna sebenarnya diganti dengan “lengan beruang kutub” (sumber domain).

Sementara itu, untuk pendekatan atau penggunaan pisau bedah yang kedua, penulis menggunakan konsep ekspresi tidak langsung milik Michael Riffaterre (1978) yang lazim dipakai untuk menganalisis puisi. Dalam penerapannya, penulis menggunakan konsep ini untuk menelaah karya puisi seorang pengarang. Misalnya, dalam salah satu tulisannya yang tertajuk “Ketika Hidar Amaruddin Membuat Makna Terasa Samar”, penulis mengkaji tiga puisi Hidar: “Akankah Kita”, “Di Kepala Kami”, dan “Ingatan yang Kembali Datang”. Ketiga judul itu dikaji dengan pendekatan Michael yang membagi ekspresi tak langsung menjadi tiga kategori: Makna yang diganti (displacing of meaning), makna yang dibelokkan (distorting of meaning), dan makna yang diciptakan (creating of meaning).

Penjelasan masing-masing ketidaklangsungan makna itu secara singkat dapat dipahami dengan: makna diganti menggunakan perumpamaan atau kata lain yang serupa, makna dibalikkan atau diberikan ironi atas makna yang sebenarnya, dan makna diciptakan dengan menampilkan makna yang datang dari hal-hal di luar makna utama; tipografi, rima, atau pemenggalan. Contoh analisis itu bisa kita lihat manakala penulis menelisik puisi “Di Kepala Kami” yang memiliki unsur pembelokkan makna pada larik: kami hanyalah seonggok daging bertubuh tanpa hati. Pembelokkan makna dalam larik itu menyamarkan makna sesungguhnya. Penulis menjelaskan, ada ironi dalam larik itu, terutama pada klausa bertubuh tanpa hati. Jelas, manusia normal atau yang masih hidup, memiliki hati dalam diri mereka.

Namun, bukan itu makna sebenarnya. Di sinilah siasat pengarang dalam menyamarkan makna yang ingin ia sampaikan. Sebagaimana yang dijelaskan penulis, bahwa larik itu mengatakan kalau sesehat apa pun seorang manusia, apabila ia tidak menggunakan hatinya, maka ia bisa dikategorikan sebagai manusia yang mati. Dengan kata lain, ia tidak menjadi manusia yang seutuhnya, sebab sifat kemanusiaan yang berlandaskan hati tidak dimiliki, dan itu membuatnya tidak menjadi manusia. Pembelokkan makna, dalam hal ini ironi, dengan demikian membuat arti atau makna puisi itu terkesan samar. Dan telaah penulis dengan pisau bedah Michael Riffaterre ini coba mengungkapkan yang tersamarkan tersebut.

Dengan demikian, apa yang telah dilakukan penulis menggunakan dua pendekatan yang berbeda dalam buku ini menjadi langkah pemahaman atas suatu karya secara komprehensif. Proses pemahaman dan telaah itu, selanjutnya menyingkap strategi naratif yang bertumpu pada keindahan bahasa (metafora) dan permainan menyembuyikan makna oleh sejumlah pengarang. Dan kita, sebagai pembaca, barangkali sekadar menikmati strategi itu sebagai buah lezat yang dipetik dari karya-karya yang kita baca. Tapi penulis, dalam hal ini Akhmad Idris, berusaha mengupasnya untuk menyingkap apa-apa yang tak terlihat, sesuatu yang disembunyikan oleh pengarangnya.

———- 000 ———–

Tags: