Menyoal Gugatan Evi Novida Ginting Manik

Oleh Hananto Widodo
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya dan Tim Pemeriksa Daerah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (TPD DKPP) Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan putusan No. 317-PKE-DKPP/X/2019, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada 6 Komisioner KPU dan sanksi pemberhenti tetap kepada 1 Komisioner KPU, yakni Evi Novida Ginting Manik. Berbeda dengan putusan DKPP sebelumnya, yang selalu dapat diterima oleh anggota penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu yang mendapat sanksi dari DKPP, kali ini Evi Novida Ginting menyatakan tidak terima dengan putusan DKPP yang telah memberhentikan dirinya. Evi Novida Ginting akan melakukan langkah-langkah hukum agar putusan DKPP yang memberhentikan dirinya dinyatakan tidak sah, sehingga dia bisa kembali menjadi Komisioner KPU.
Alasan Evi Novida Ginting melakukan perlawanan hukum, karena yang dia lakukan tidak lebih dalam rangka menjalankan putusan MK. Evi beralasan bahwa dia tidak melakukan penggelembungan suara sebagaimana didalilkan oleh pengadu Hendri Makaluasc, Caleg DPRD Kalimantan Barat. Karena Evi beralasan hanya melaksanakan putusan MK inilah maka Evi merasa dia tidak bersalah. Dan, langkah yang akan ditempuh oleg Evi adalah melakukan gugatan terhadap putusan DKPP yang telah memberhentikan dirinya ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Apakah tepat langkah yang dilakukan oleh Evi Novida Ginting untuk menggugat putusan DKPP ini ke PTUN ? jawaban yang paling utama dalam isu ini berkaitan dengan tujuan dibentuknya PTUN dalam rangka menyelesaikan kasus apa dan siapa yang digugat. Dalam UU No. 5 Tahun 1986 Jis UU No. 9 Tahun 2004 Jis UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara secara jelas dinyatakan bahwa Peradilan Tata Usaha Usaha Negara dibentuk dalam rangka untuk menyelesaikan sengketa antara seseorang/badan hukum perdata dengan badan/pejabat tata usaha negara, akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Sedangkan keputusan tata usaha negara adalah keputusan yang berbentuk tertulis, dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara, konkrit, individual, final, berisi tindakan hukum tata usaha negara dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pertanyaannya adalah apakah putusan DKPP ini dapat dikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara dan apakah majelis DKPP dapat dikategorikan sebagai pejabat tata usaha negara ? Putusan DKPP ini secara punishment memang hampir sama dengan pemberhentian seorang atasan PNS kepada bawahannya, yakni berupa peringatan, dan pemberhentian, tetapi produk yang dikeluarkan oleh DKPP beda dengan produk yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.
Produk hukum berupa pemberhentian seseorang sebagai PNS merupakan keputusan seorang pejabat tata usaha negara, sehingga dapat dikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara, meskipun pada proses pemberhentian harus melalui komisi disiplin yang dibentuk oleh institusi yang bersangkutan. Sedangkan putusan DKPP merupakan putusan dari Majelis DKPP yang didahului oleh sidang pemeriksaan yang dilakukan oleh anggota DKPP dan Tim Pemeriksa Daerah (TPD). Oleh karena itu, putusan DKPP tidak dapat dikategorikan sebagai keputusan tata usaha negara sehingga bukan merupakan obyek sengketa tata usaha negara.
Jika dikaji dalam konteks hukum tata negara, terdapat perbedaan antara putusan dan keputusan. Keputusan (beschikking) adalah penetapan tertulis yang dilakukan oleh badan atau pejabat yang berwenang. Keluarnya sebuah keputusan ini bisa berakibat pada lahirnya gugatan oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan oleh keluarnya keputusan tersebut. Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berwenang bisa berkaitan pada masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal berkaitan dengan sengketa kepegawaian, sedangkan masalah eksternal berkaitan dengan keputusan yang berdampak pada orang luar yang berkepentingan dengan persoalan dalam institusi di mana keputusan tersebut dikeluarkan.
Contoh dari keputusan badan/pejabat tata usaha negara yang berkaitan dengan masalah eksternal adalah sengketa proses dalam Pilkada dan Pemilu. Jika ada pasangan bakal calon Presiden/Wakil Presiden atau bakal caleg yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU, maka bakal caleg atau bacalon Presiden/Wakil Presiden bisa menggugat ke PTUN setelah sebelumnya mengajukan keberatan ke Bawaslu. Begitu juga jika ada pasangan bakal calon kepala daerah yang dinyatakan TMS maka bakal calon kepala daerah itu dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) setelah sebelumnya mengajukan keberatan ke bawaslu.
Sementara itu, produk berupa putusan merupakan hasil dari sidang pemeriksaan baik itu yang dilakukan oleh Majelis Hakim maupun Majelis Pemeriksa kode etik. Putusan dari DKPP yang merupakan hasil dari sidang pemeriksaan Majelis Pemeriksa bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dimungkinkan adanya upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan oleh teradu yang mendapatkan sanksi dari DKPP. Posisi antara DKPP dan penyelenggara pemilu lainnya bukan bersifat hiearkhis. Artinya KPU dan Bawaslu bukan bawahan dari DKPP. Namun, DKPP dibentuk khusus untuk menangani pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Di samping itu berbeda dengan sidang pemeriksaan etik lainnya yang selalu bersifat tertutup, dalam sidang pemeriksaan etik di DKPP berlangsung terbuka untuk umum, kecuali untuk masalah kesusilaan. Bahkan sidang pemeriksaan itu juga disiarkan secara live di laman Facebook DKPP, sehingga publik dapat mengikuti setiap fakta yang muncul di persidangan, sehingga akan riskan jika Majelis DKPP RI mengeluarkan putusan yang berbeda dengan fakta-fakta yang ada di persidangan. Karena sejatinya sidang pemeriksaan yang dilakukan oleh DKPP diawasi oleh seluruh rakyat di Indonesia.
———— *** ————-

Tags: