Menyoal Keberpihakan Media dalam Pemilu

NurudinOleh :
Nurudin
Penulis adalah  Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Dalam sebuah perkuliahan, saya pernah ditanya seorang mahasiswa, “Pak, apakah media saat-saat Pemilu itu bisa independen? Sebab, saya lihat berita media ikut berpihak pada kasus-kasus politik tertentu?”. Menanggapi pertanyaan mahasiswa itu saya juga ikut merenung. Akhirnya saya juga ikut bertanya juga; apakah independensi media itu memang ada?
Sandaran Objektivitas
Asumsi yang dikedepankan dalam tulisan ini adalah bahwa independensi media itu sangat susah dilakukan, untuk tak mengatakan omong kosong. Untuk melihat independensi kita perlu mengetahaui terlebih dahulu sandaran objektivitas media.
Sandaran objektivitas media itu sebenarnya ada pada fakta. Sementara sesuatu bisa dikatakan fakta itu karena adanya penilaian seseorang. Bahkan Van Peursen (1990) pernah mengatakan jika fakta diasalkan dari “penilaian”. Artinya, fakta itu ada karena dinilai oleh seseorang. Kalau sudah begini apakah memang tidak ada objektivitas karena penilaian masing-masing orang berbeda? Mari kita lihat bersama-sama kenyataan yang mengitari adanya fakta sebagai sandaran objektivitas.
Sesuatu dikatakan fakta karena ada orang yang menilai. Misalnya ada yang mengatakan bahwa “KPK itu sudah tidak independen”. Kalimat itu sebuah fakta yang diucapkan oleh seseorang. Bahwa ada orang yang mengatakan bahwa “KPK sudah tidak independen” itu sebuah fakta yang terucap. Ini fakta yang berdasar dari penilaian seseorang. Contoh lain, orang mengatakan “Itu kursi empuk”. Sementara orang lain mengatakan “Kursi itu tidak begitu empuk” berdasar pengalamannya. Maka kedua-duanya itu fakta (yang sudah dinilai oleh seseoang).
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Fakta itu bisa  digolongkan menjadi dua; (1) fakta berdasar indera dan (2) fakta berdasarkan penilaian. Misalnya, ketika seseorang melihat bahwa ada ibu yang dijambret (fakta atau realitas pertama berdasar indera), lalu ia mengatakan pada orang lain bahwa ada ibu yang berdandan menor dijambret (fakta atau realitas kedua berdasar penilaian atas realitas pertama).
Bagaimana dengan wartawan? Wartawan yang meliput sebuah kejadian tentu akan melihat (realitas pertama), kemudian dikonstruksi ulang dalam otaknya untuk dibuat berita (realitas kedua/penilaian). Atas kenyataan fakta kedua ini, antara wartawan satu dengan wartawan lain tentu beda realitasnya. Bisa jadi wartawan A menulis sudut pandang X, sementara wartawan B menulis sudut pandang Y dengan fakta sama.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan fakta media massa? Fakta yang sudah mendapat penilaian wartawan itu (realitas kedua) kemudian mendapat penilaian lembaga bernama media massa. Masing-masing media massa tentu mempunyai realitas berbeda. Apa saja realitas yang melingkupti media massa? Realitas media massa bisa dipengaruhi antara lain oleh; (a) news value (nilai berita), (b) format penulisan, (c) etika, dan (d) undang-undang  (Nurudin, 2009).
Nilai berita masing-masing media massa berbeda. Koran hiburan tentu akan tertarik untuk meliput kegiatan konser seorang artis, sementara koran umum belum tentu. Koran umum mungkin akan memilih angel berita korban banjir, sementara koran hiburan akan memilih artis yang ikut bakti sosialnya. Fakta sama, nilai beritanya bisa berbeda-berbeda.
Tak terkecuali dengan liputan berita-berita politik. Ada media yang getol menyuarakan “partai X” sementara yang lain tidak. Media yang memihak partai X itu jelas tidak independen, sementara media yang tidak memihak partai X  barangkali cenderung memihak partai Y atau tidak memihak keduanya. Media yang tidak memihak itu tetap punya keberpihakan.
Sehubungan dengan format penulisan juga berbeda. Ada media yang menulis berita  kasus politik hanya dengan straight news saja, ada juga yang meliputnya secara mendalam (depth reporting). Pilihan atas format pemberitaan ini jelas penilaian atas sebuah kejadian. Penilaian itu jelas subjektif.
Etika sendiri, berhubungan dengan pantas dan tidak pantas untuk menyiarkan informasi.  Seorang yang belum diketahui bersalah atau tidak, sementara media massa  sudah “mengadilinya” maka itu termasuk melanggar etika. Dalam ilmu jurnalistik sering disebut trial by the press (media mengadili seseorang sebelum pengadilan memutuskan ia bersalah atau tidak). Kode etik jurnalistik juga menekankan tidak boleh menampilkan atau perlu menyamarkan wajah korban perkosaan (misalnya) untuk melindungi nama baiknya. Bukan persoalan media tidak ikut menyelesaikan kasus itu, tetapi ini menyangkut etika.
Sementara itu, undang-undang menjadi rambu-rambu agar media berada dalam wilayah semestinya menurut semangat dan muatan dimana media massa itu ada. Artinya, undang-undang pokok pers di Amerika Serikat (AS) jelas akan berbeda dengan undang-undang di Indonesia. Media Indonesia memakai tolok ukur UU Pokok Pers no. 40/99 dan bukan UU di AS itu.
Pemihakan Media
Sebenarnya tidak ada berita yang objektif. Dengan demikian, tidak ada media massa yang seratus persen itu bisa independen. Jika media itu menjaga jarak dengan politik apakah dikatakan independen? Ia disebut independen atas berita politik, tetapi ia memihak selain berita politik. Apakah media yang tidak independen itu salah? Tidak. Media harus tetap memihak. Media sebisa mungkin memihak pada kebenaran dan itu berkaitan dengan fungsi berita.
Menurut Kovac dan Rosentiel (2003) fungsi berita adalah menandai suatu peristiwa atau membuat orang sadar akan sesuatu hal. Semangatnya, membuat orang sadar atas sebuah kejadian. Perkara beritanya punya dampak yang bagaimana itu soal lain. Tugas media membuat orang sadar akan berbagai macam fakta yang melingkupi sebuah berita yang disiarkan. Karenanya, kebenaran yang diungkap adalah kebenaran fungsional yang terus ditambah dan dikurangi  hari demi hari sesuai dengan fakta lain yang ditemukan.
Kita jadi bertanya, berarti tidak ada berita yang objektif? Fakta berita itu objektif, tetapi kalau sudah masuk konstruksi pikiran seseorang, apalagi lembaga media massa, menjadi subjektif. Singkatnya sebut saja objektivitas yang subjektif.
Mengamati berita-berita dan informasi dari media massa, terutama saat-saat Pemilu 2014, itu perlu berasumsi bahwa media tetap punya kepentingan-kepentingan tertentu. Pilihannya cuma dua,  perbanyak referensi sumber media massa atau enyahkan media di hadapan Anda.

——— *** ———-

Tags: