Menyoal Kedaulatan Ekonomi

Novi Puji LestariOleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Di tengah dinamika politik dan kepentingan yang mewarnai tanah air saat ini, ada hal yang sangat krusial selalu menyertai dinamika tersebut, yakni kedaulatan ekonomi. Berbicara kedaulatan ekonomi, maka sudah barang tentu kemandirian ekonomi akan menjadi target tujuan dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Mewujudkan kedaulatan ekonomi suatu negara tentu bukan perkara yang mudah. Hal ini sangat dibutuhkan sinergi dari banyak pihak, baik itu politisi, pelaku bisnis maupun pihak aktor pemerintahan.
Perumus Pasal 33 UUD 1945, Bung Hatta, sering mengatakan (dengan kemerdekaan) kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang layak bahagia. Kebahagiaan memang tidak ada dalam kamus ekonomika pembangunan. “If we are asked why happiness matters”, kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi), “we can give no further, external reason. It just obviously does matter”. Deklarasi Kemerdekaan Amerika menyatakan bahwa “happiness is a self-evident objective”.
Tataran teoritis dan konsep dari Bung Hatta dan Amartya Sen tersebut mengindikasikan dan menegaskan bahwa keberhasilan suatu pembangunan suatu negara bisa terukur dari kebahagiaan dan kelayakan hidup seluruh warga, bangsanya. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut tentu tidak mudah. Apalagi, sebagaimana bisa kita lihat bersama di negeri ini, hari ke hari semakin banyak saja pejabat, baik ditingkat kabupaten/kota maupun provinsi, yang terjerat kasus korupsi.
Melihat maraknya tindak penyimpangan yang tengah dilakukan actor pemerintahan tersebut, pesimistis rasanya kedaulatan ekonomi negara ini dapat ditegakkan manakala politisi dan pelaku bisnis tidak peduli dengan UUD 45 Pasal 33. Sederhananya, kedaulatan ekonomi dimaknai sebagai kemandirian rakyat atas sumber-sumber ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Konsep kedaulatan berkaitan erat dengan kemandirian. Kue pertumbuhan ekonomi haruslah dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Konstitusi bangsa ini sebenarnya sudah jelas mengamanatkan hal tersebut.
Persoalan yang sering muncul ialah tertutupnya akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi. Segelintir pemodal kuat menguasai sumber daya ekonomi. Konsekuensi dari sistem ekonomi pasar yang dianut bangsa ini. Mirisnya, pemodal kuat ini identik dengan perusahaan asing. Tengok misalnya investor di bursa efek. Porsi investor asing jauh lebih besar dari investor domestik. Sedikit saja isu yang menyerempet kepentingan investor asing, maka dipastikan bursa akan bergoyang. Belajar dari realitas ini, sekiranya menunjukkan bahwa proses dalam menuju ekonomi berkeadilan dibutuhan suatu sikap dan pemahaman yang demokratis serta terbuka yang tentu saja tidak antiasing.
Menuju ekonomi berkeadilan
Kedaulatan ekonomi bukan berarti antiasing. Dalam perspektif ekonomi internasional, tidak ada satu pun negara yang tidak bertransaksi antara ekonomi satu dengan lainnya. Itu artinya, negara mana pun dengan segala keterbatasannya, tentu membutuhkan aliran dana investasi asing. Dana investasi tersebut diperlukan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi domestik. Pertumbuhan ekonomi yang baik mampu mengurai kemiskinan yang menjadi momok bangsa ini. Yang terpenting adalah adanya niat yang kuat lewat strategi jitu dan langkah nyata untuk menciptakan kondisi ekonomi berkeadilan dan mandiri.
Ketimpangan ekonomi ditengarai sebagai penyebab tingginya angka kemiskinan di Tanah Air. Ini dibuktikan dengan masih tingginya koefisien Gini rasio sebesar 0,408. Lalu, apa yang harus dilakukan agar keadilan ekonomi dirasakan seluruh rakyat?
Pertama, meningkatkan kualitas infrastruktur. Pembangunan infrastruktur harus menyentuh sampai ke tingkat desa. Roda perekonomian desa akan terangkat manakala akses moda transportasi lancar. Hasil produksi entah pertanian, peternakan, dan perkebunan selama ini tidak berdaya saing. Harga komoditas menjadi mahal mengingat biaya transportasi yang tinggi. Oleh karena itu, alokasi dana desa perlu diarahkan untuk membangun infrastruktur penunjang perekonomian desa. Selain itu, jangkauan pembangunan infrastruktur seyogianya merambah kawasan 3T (Tertinggal, Terjauh, dan Terluar) di daerah perbatasan NKRI.
Kedua, mendorong semangat kewirausahaan. Kedaulatan Indonesia bisa dicapai dengan peran dari penduduk usia muda dalam menjaga kedaulatan ekonomi. Kedaulatan ekonomi tersebut bisa dicapai jika pemikiran anak muda mulai berubah dari pola pikir job seeker (bekerja untuk orang lain) menjadi job creator (mempekerjakan orang lain). Pemerintah perlu terus-menerus menggalakkan program kewirausahaan masyarakat, khususnya warga perdesaan.
Ketiga, memperkuat kemandirian energi. Sektor energi sangat rentan dimasuki perusahaan asing. Bayangkan, sejak bangsa ini merdeka, eksplorasi migas diserahkan kepada pihak asing. Hal ini disebabkan ketidaktersediaan sumber daya manusia berkualitas dan penguasaan teknologi eksplorasi energi. Minimnya dana riset bidang energi terbarukan menyebabkan potensi sumber daya energi terbarukan, semisal mikrohidro, tenaga surya, dan uap yang berlimpah tidak mampu digali secara optimal.
Keempat, menjaga kedaulatan pangan. Pemerintah telah banyak mereformasi peraturan perundangan propangan rakyat. Persoalannya ialah seberapa intens implementasi di lapangan. Indikator sederhana kemandirian pangan belum tercipta dapat dilihat dari tingkat ketergantungan bangsa ini terhadap impor pangan. Ini diperparah dengan bebas berkeliarannya kartel pangan mengatur tata perdagangan komoditas pangan, entah beras, gula, daging, bahkan garam sekalipun. Sungguh ironis sebagai negara maritim, kita masih mengimpor garam.
Kelima, mengoptimalkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Sudah lama energi fosil tidak bisa lagi diandalkan sebagai penerimaan utama negara. Dulu, kita pernah bangga sebagai anggota OPEC, tapi sekarang kondisinya berbeda. Oleh sebab itu, pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi alternatif pendorong pertumbuhan ekonomi. Bangsa ini memiliki keunikan geogra? bernilai jual tinggi.
Keenam, mengoptimalkan ekonomi digital. Pada hakikatnya ekonomi digital adalah ekonomi jasa yang merupakan produk logis dari ekonomi pengetahuan (knowledge economy). Dalam perkembangan ekonomi pengetahuan terjadi pergeseran neraca ke arah perusahaan yang memproses, menganalisis, serta membagi-bagi informasi/gagasan dan semakin menjauhi usaha manufakturing. Hal ini tecermin dalam keterkenalan nama tokoh-tokoh yang terlibat pada kepemimpinannya, seperti Bill Gates, Larry Ellison, dan Scott McNesly, pendiri dan chief executives kesatuan usaha yang belum ada 50 tahun yang lalu.
Ekonomi pengetahuan memarak dalam proses globalisasi yang kelancaran perkembangannya telah dirintis oleh internasionalisasi, yaitu dorongan ke suatu dunia tanpa batas dan adaptasi peradaban perindustrian Barat. Sementara globalisasi beranggapan bahwa orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam progres teknologi baru dan berhak mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan bumi yang terpendam di mana pun.
Melalui enam langkat tersebut kiranya bisa mengantar negeri ini menuju kedaulatan ekonomi. Melaui kedaulatan ekonomi itu pula, besar kemungkinan ketimpangan ekonomi bisa diantisipasi dinegeri ini. Keperdulian untuk mengentas ketimpangan ekonomi menjadi penting adanya agar keadilan ekonomi dirasakan seluruh rakyat, sebagaimana yang dimanahkan dalam UUD 1945, pasal 33. Memang untuk mewujudkan amanah UUD 1945, pasal 33 bukanlah perkara yang mudah, setidaknya yang paling mendasar menuntut jiwa nasionalisme untuk melindungi segala potensi dan pelaku ekonomi dalam negeri.
Negara nasional yang dahulu merupakan pelindung ekonomi nasionalnya terhadap gejolak/pengaruh yang datang dari luar, kini semakin ditransformasikan menjadi agen transmisi dari tuntutan-tuntutan ekonomi dunia ke arah ekonomi nasionalnya sendiri. Negara-negara ini malah mengusahakan adaptasi kekuatan-kekuatan sosio ekonomi bangsanya pada kondisi globalisasi pasar dunia berupa, antara lain, pembentukan ekonomi jasa yang melayani pemasaran produk manufaktur negara-negara Asia Pasifik.
Ironisnya, kini para konglomerat kita, baik sendirian atau berkongsi, berlomba-lomba membangun kluster apartemen super mewah. Perlu kiranya diingatkan bahwa entrepreneurship yang mereka banggakan itu turut memicu kecemburuan sosial wong cilik. Mereka ini bukan pembaca statistik kemiskinan, tidak mengenal indeks gini, melainkan warga yang megap-megap hidup di bawah garis kemiskinan, sensitif, gampang terhasut. Bagai api dalam sekam, kecemburuan sosial ini bisa menyala berupa aksi politik radikal. Jangan melupakan begitu saja peristiwa naas Mei 1998.
Kalau benar pembangunan diniati sebagai pengisi kemerdekaan, yang diniscayakan adalah pembangunan nasional yang tidak sekadar menaikkan plus-value of things (produk nasional kotor/GNP), tetapi lebih-lebih menciptakan plus-value of men (to be more/bahagia).
Oleh sebab itu, visi kehidupan layak yang digambarkan oleh proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 perlu diarahkan ke horizon human. Sebisa mungkin harus kita jauhi cara berpikir ekonomi yang simplistis. Jangan dikira bahwa pembangunan ekonomi bagai air pasang yang mengangkat semua perahu ke level ketinggian yang sama. Yang kita hadapi kini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, melainkan kesenjangan sosial yang kian melebar dan kekecewaan bernegara yang semakin membesar. Jika hal ini dibiarkan, maka tidak heran jika prospek menuju kedaulatan ekonomi akan makin jauh dirasakan oleh warga bangsa ini.

                                                                                                              ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: