Menyoal Kekerasan Fisik dalam Mendidik

Moch Choirul RizalOleh:
Moch Choirul Rizal
Advokat / Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura)

Persidangan atas dugaan penganiayaan yang dilakukan guru terhadap muridnya masih berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Kamis (14/7). Agenda sidang pada hari itu adalah pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Terdakwa, Muhammad Samhudi, dituntut hukuman percobaan satu tahun dan denda 500 ribu subsider enam bulan. JPU, Andrianis, menuturkan, terdakwa melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Menurut JPU dalam tuntutannya, hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan yang dilakukannya tidaklah dibenarkan oleh undang-undang. Di sisi yang lain, perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban yang dilakukan beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu hal yang meringankan.
Sifat Melawan Hukum dan Keyakinan Hakim
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum. Menurut Barda Nawawi Arief (2011: 74), dalam hukum pidana, tidak selalu orang yang secara formal telah melakukan tindak pidana harus dipertanggungjawabkan atau dipidana. Pasalnya, dalam hukum pidana dikenal adanya alasan penghapus pidana berupa alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Ada dua pendapat mengenai teori sifat melawan hukum suatu perbuatan. Pertama, perbuatan bersifat melawan hukum secara formal, yakni perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Kedua, perbuatan bersifat melawan hukum secara materiel, yakni perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang belum tentu bersifat melawan hukum, karena harus dilihat lebih jauh pada hukum yang tidak tertulis atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Moeljatno (2009: 143-144) menyatakan, pendapat tentang sifat melawan hukum secara materiel itu hanya mempunyai arti dalam fungsinya yang negatif. Artinya, sifat melawan hukum secara materiel memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang, tetapi tidak merupakan tindak pidana.
Pada 8 Januari 1966, Mahkamah Agung (MA) dalam perkara nomor 42K/Kr/1965 ternyata menganut fungsi negatif dari sifat melawan hukum secara materiel. Dalam pertimbangan hukumnya, sebagaimana dikutip Sofjan Sastrawidjaja (1995: 155), MA menyatakan, sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum hanya berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, tetapi juga berdasarkan asas-asas keadilan atau hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya tiga faktor, yaitu, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak dapat untung.
Barda Nawawi Arief (2011: 74-75) mengemukakan, penilaian terhadap suatu perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum secara materiel dapat didasarkan pada norma-norma, nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan, serta hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula memperhatikan hukum tidak tertulis dalam profesi tertentu, misalnya ada hukuman disiplin atau tuchtrecht dalam profesi guru.
Merujuk pada Kode Etik Guru berdasar Keputusan Kongres XXI PGRI Nomor: VI/KONGRES/XXI/PGRI/2013, tuchtrecht berupa kekerasan fisik termasuk perbuatan yang melanggar kode etik. Bahkan, dalam kode etik tersebut disebutkan, guru tidak hanya berkewajiban mengembangkan suasana belajar yang menyenangkan, tetapi juga harus memberikan perlindungan dari segala tindakan yang dapat mengganggu kesehatan peserta didik.
Dengan demikian, tuchtrecht berupa kekerasan fisik dalam dunia pendidikan tidak dapat dibenarkan. Artinya, teori sifat melawan hukum secara materiel dalam fungsinya yang negatif tidak dapat membenarkan perbuatan seorang guru yang melakukan kekerasan fisik terhadap muridnya dengan alasan apapun.
Penentuan benar atau salah dan terbukti atau tidak terbukti menjadi ranah majelis hakim pada PN Sidoarjo yang memeriksa perkata tersebut. Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menentukan, hakim baru dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Selain itu, hakim harus memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hakim tidak boleh ragu-ragu untuk menentukan ada atau tidak suatu tindak pidana dan kesalahan pada terdakwa. Dengan kata lain, sesuai dengan adagium dalam bahasa Latin, in dubio pro reo, apabila ada keragu-raguan apakah seorang terdakwa itu dapat atau tidak dapat dipidana, maka harus diambil keputusan yang menguntungkan terdakwa.
Refleksi
Bercermin pada kasus tersebut, tentu, kita tidak menginginkan kekerasan demi kekerasan terjadi dalam dunia pendidikan di negeri ini. Sudah tidak eranya lagi mendidik melalui kekerasan. Pasalnya, anak yang menjadi korban kekerasan akan mengenang perbuatan tersebut dan berkemungkinan besar meniru serta melakukannya terhadap orang lain kelak ketika dewasa.
Di sisi yang lain, ke depan, penyelesaian terhadap dugaan tindak pidana seperti halnya dalam kasus tersebut dapat diselesaikan dengan mekanisme yang lebih humanis dan kekeluargaan, misalnya mengoptimalkan mediasi penal. Hal ini mengingat dampak negatif yang harus diterima oleh kedua belah pihak, khususnya pada korban yang masih berstatus anak.

                                                                                                            ————– *** —————

Tags: