Menyoal Kesejahteraan Petani

Oleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang 

Sebagian besar penduduk yang tinggal di perdesaan adalah sebagai petani, di mana pendapatan utamanya lebih dari 70 persen berasal dari sektor pertanian. Dengan demikian, pembangunan pertanian mempunyai peran yang strategis dan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan yang didominasi oleh petani. Pertanyaan yang muncul adalah, betulkah pembangunan pertanian selama ini mampu memperbaiki kesejahteraan petani?.
Oleh sebab itulah berbagai formula seperti apakah yang paling realistis dan efektif meningkatkan kesejahteraan petani hingga kini masih terus dicari. Pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla berkomitmen untuk wujudkan perekonomian yang berkeadilan, termasuk di sektor pertanian. Upaya mewujudkan sistem pertanian yang berkeadilan di antaranya difokuskan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sebagai penggerak utama sektor pertanian.
Cita-cita tersebut menurut saya sebagai penulis tentu sangatlah agung, karena bagaimanapun juga sektor pertanian hingga saat ini masih dipercaya sebagai tulang punggung perekonomian dan sekaligus sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan mengukuhkan negeri ini berdaulat secara pangan.
Penduduk Miskin Perdesaan
Membaiknya kesejahteraan petani selama ini dapat dilihat dari menurunnya secara konsisten jumlah penduduk miskin di perdesaan baik secara absolut maupun persentase, walaupun penurunannya tidak sedrastis di wilayah perkotaan. Membaiknya kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari berkurangnya ketimpangan pengeluaran (menurunnya Gini Rasio) yang juga mencerminkan semakin meratanya pendapatan petani di pedesaaan.
Merujuk dari data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Maret 2015 sampai Maret 2017, Gini Rasio pengeluaran masyarakat di perdesaan terus menurun, dari 0,334 pada tahun 2015 menjadi 0,327 pada tahun 2016 dan menurun lagi menjadi 0,320 pada tahun 2017. Kondisi ini secara implisit menunjukkan semakin membaiknya pendapatan petani. Gini Rasio di perkotaan juga mengalami penurunan, namun masih berada dalam ketimpangan sedang, sementara di perdesaan sudah berada dalam ketimpangan rendah
Begitupun, membaiknya pendapatan petani secara ilmiah biasanya akan diikuti membaiknya daya beli masyarkat petani di perdesaan. Hal ini terlihat dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP) dan indeks Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP). Berdasarkan data yang dirilis BPS, secara nasional pada Mei 2018 indeks NTP sebesar 101,99 atau meningkat 0,37 persen jika dibanding April yang hanya 101,61. NTP Mei 2018 ini pun lebih besar dibanding Mei 2017 yang hanya 100,15. Begitu juga indeks NTUP meningkat 0,32 persen dari 111,03 pada April 2018 menjadi 111,38 pada Mei 2018.
Masih berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga bulan Februari 2017, sebesar 31,86 persen dari total penduduk bekerja atau setara 39,68 juta orang bekerja di bidang pertanian. Pada September 2015, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 17,89 juta jiwa atau 14,09 persen, dan pada September 2016 turun menjadi 17,28 juta jiwa atau 13,96 persen, dan pada Sept 2017 turun lagi menjadi 16,31 juta jiwa atau 13,47 persen. Untuk tingkat pengangguran di desa pun menurun sebanyak 4,00 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Kesejahteraan petani
Upaya pengedepanan kesejahteraan menjadi nyawa dari setiap penyusunan kebijakan dan program di sektor pertanian. Karena itu, wajar adanya jika untuk mewujudkan swasembada pangan, petani sebagai kunci utama keberhasilan swasembada pangan harus terjamin kesejahteraannya. Salah satu indikator kesejahteraan, adalah menghadirkan kedaulatan pangan.
kedaulatan pangan bisa diterjemahkan dalam tiga kemampuan bangsa. Pertama, mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri. Kedua, mengatur kebijakan pangan secara mandiri. Ketiga, melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku utama dalam usaha pertanian pangan. Artinya, kedaulatan pangan mula-mula harus diwujudkan dari kondisi swasembada pangan yang secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian secara luas untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Salah satu kebijakan strategis yang digulirkan pemerintah selama puluhan tahun ini dalam rangka menyejahterakan petani adalah melalui subsidi pertanian. Anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menyubsidi pertanian pun dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan. Pada 2009 besaran total subsidi pertanian (baik pangan, pupuk, maupun benih) mencapai Rp32,9 triliun, dan pada 2013 sudah menembus angka Rp40,9 triliun.
Belajar dari tahun 2015 bahkan untuk pertama kalinya nilai subsidi pertanian mengalahkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yakni Rp55 triliun, sedangkan subsidi BBM hanya Rp17 triliun. Besarnya subsidi yang dialokasikan pemerintah, baik dalam bentuk pupuk, obat-obatan, benih, maupun yang lain, adalah dalam rangka meningkatkan produksi pertanian, utamanya tanaman pangan sehingga Indonesia diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (swasembada).
Selain itu, peningkatan produksi pertanian pada akhirnya juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Jika produksi pertanian melimpah, dampaknya tidak hanya pada pencapaian swasembada dan kedaulatan pangan. Lebih dari itu, kualitas kesejahteraan sebagian besar petani juga semestinya dengan sendirinya membaik. Sayang, logika matematis semacam itu tak selalu indah pada praktiknya.
Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan bahwa kenaikan produktivitas dan kenaikan harga komoditas pertanian di pasaran ternyata tidak otomatis menjamin peningkatan kesejahteraan petani sebagai produsen. Dalam struktur mata rantai penjualan produk pertanian, petani justru acap kali menerima pembagian margin keuntungan yang paling tipis, dan nilai tukar (exchange value) produk mereka cenderung turun jika dibandingkan dengan produk kebutuhan hidup sehari-hari.
Semua itu bisa terjadi karena harga produk pertanian di pasar umumnya tidak ditentukan nilai guna dan nilai tukar serta nilai kerja yang terkandung dalam komoditas pertanian itu, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan pelaku ekonomi di sektor industri pertanian mengolah hasil-hasil pertanian dan memanipulasi imajinasi para konsumen.
Seorang petani yang menghasilkan produk-produk pertanian dalam setiap panennya niscaya akan memperoleh keuntungan paling kecil. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan masih harus diolah kembali untuk memperoleh nilai tukar yang maksimal. Sementara itu, para pelaku industri pertanian yang mengolah hasil-hasil pertanian dari petani umumnya memperoleh margin keuntungan yang paling besar karena mampu memberi nilai tambah atas produk pertanian dari petani. Oleh karena itu, perhatian pemerintah sangat diperlukan agar kesejahteraan petani tanah air terus terjaga. Karena hasil pertanian memberikan kontribusi yang besar untuk perekonomian desa dan juga untuk daerah. Hingga pada akhirnya, kehadiran negara bisa dirasakan betul oleh para petani tanah air. Saya yakin, sebagai penulis jika ini terpenuhi secara otomatis kecintaan mereka para petani terhadap Indonesia juga meningkat kualitasnya, yakni menjadi bagian dari NKRI yang menyejahterakan.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: