Menyoal Netralitas Ilmu

Oleh:
Joko Priyono
Penulis buku Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika ( 2018) 

Kehadiran dari ilmu tidak terlepas akan adanya kejadian berulang-ulang terkait mengenai metodologi ilmu. Melalui metodologi tersebut, hadirnya seorang ilmuwan bekerja dalam menyusun praduga, kemudian berlanjut pada penyusunan dugaan sementara (hipotesis) hingga berakhir pada kesimpulan maupun konklusi-teori utuh. Arus ini, sebagaimana termaktub di dalam salah satu bagian yang ada di buku berjudulIlmu dalam Perspektif (Gramedia, 1982) kurang lebihnya adalah melalui daur yang masing-masing: hipotetik-deduktif-verifikatif. Konsekuensi dari kehadiran ilmu tentu saja berada pada ranah hakikat hingga kegunaan atas ilmu itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangan ilmu, ia hadir dengan berbagai pergulatan maupun peristiwa penting yang menyelimutinya. Gerry Van Klinken dalam bukunya Revolusi Fisika (Kepopuleran Gramedia Pustaka, 2004) menjelaskan-peradaban yang ada di Yunani dan Cina menjadi tonggak awal dalam peradaban, kira-kira dimulai pada tahun 500 SM. Dalam kehadiran awal itu misalnya yang menjadi laku dari para ilmuwan baru sebatas menjadi seorang pemikir. Tidak mengherankan, pada masa tersebut lahir banyak ilmuwan yang dikenal sebagai seorang filosof. Hingga keberlanjutannya, peradaban yang terjadi kemudian berubah dan berkembang. Para ilmuwan yang semula kebanyakan pemikir, hadir ilmuwan yang menaruh besar pada aktivitas pengamatan.
Dalam kontestasi paradigma mengenai ilmu-aksiologis, setidaknya ada dua ilmuwan yang begitu berpengaruh terhadap gagasan pemaknaan mengenai ilmu. Pertama, Aristoteles, yang mengidealkan bahwasannya tujuan ilmu ialah untuk ilmu itu sendiri. Kedua, Francis Bacon, dikenal sebagai pencetus pemikiran empirisme, menyatakan bahwasannya kehadiran ilmu untuk kepentingan penguasa. Dalam hal ini, frasa yang digagas berupa “knowledge is power”. Hingga kemudian, dalam berbagai fenomena yang terjadi, kehadiran ilmu pengetahuan tidak akan terlepas dari ideologi. Dalam hal tersebut, ideologi merupakan bagian dari ilmu itu sendiri-ilmu yang mempelajari akan ide maupun pemikiran.
Liek Wilardjo dalam esainya berjudul Hubungan Antara Ilmu dan Ideologi yang disampaikan dalam Kegiatan Pembinaan Ketrampilan Filsafat di Yayasan Bina Darma pada tahun 1988 banyak menjelaskan hal-ihwal terkait mengenai ilmu dan ideologi. Baginya, ilmu dan ideologi memiliki satu kesamaan: tujuan. Tujuan tersebut berupa nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam tatanan masyarakat. Sementara itu, perbedaan di antara keduanya adalah-ilmu berkembang melalui rangkaian kegiatan “pemecahan teka-teki” dalam batas-batas paradigma yang sedang berlaku, dan sekali-kali diguncang oleh revolusi keilmuan manakala krisis di dunia ilmu telah memuncak dan paradigma yang baru sudah saatnya hendak lahir.
Sedangkan terkait mengenai ideologi-bagi Liek, lazimnya kebenaran ideologi diyakini para penganutnya sebagai kebenaran mutlak yang sudah sedemikian nyata, hingga tidak perlu dibuktikan. Ia pun memberikan penjelasan lebih lanjut-bahwa bila suatu ideologi diyakini penguasa suatu negara , apalagi ideologi dijadikan sebuah ideologi negara, maka misalkan untuk mengkaji dalam menunjukkan kelemahannya adalah tabu. Kemudian, ia juga memberikan contoh ideologi-ideologi yang pernah ada dan berkembang, seperti diantaranya adalah: Marxisme dan Pancasila. Meskipun demikian, di luar dua contoh tersebut masih banyak lagi ideologi yang berkembang di dunia.
Keberpihakan
Hingga kemudian, kita mafhum akan bertanya: apakah ilmu itu bersifat netral? Menilik dari beberapa penjelasan yang termaktub dalam beberapa paragraf sebelumnya-sudah ada kecenderungan bahwasannya ilmu itu tidak bisa netral. Melainkan dari itu, ia akan menyatakan keberpihakannya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, sebagaimana pernah digagas oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason, yaitu berupa a priori maupun a posteriori. A priori, mendahului pengalaman indrawi. A posteriori, diperoleh/diturunkan melalui pengalaman indrawi.
Dengan berbagai struktur yang lahir di dalam kehidupan-ilmuwan sudah seharusnya menaruh keberpihakan akan ilmu yang mereka miliki. Pada aras ini, sebagai manifestasi apa yang menjadi tanggung jawab atas ilmu itu sendiri. Tanggung jawab itu berupa tanggung jawab intelektual, tanggung jawab sosial hingga tanggung jawab moral. Sederet hal yang berkembang dan mendominasi sampai sejauh ini-pada pusaran pertarungan antara pemilik modal dan kaum proletar-dalam wacana kapitalisme. Tak bisa ditampik, bahwa para ilmuwan benar-benar akan dibenturkan kepada dua realitas yang ada. Ia harus memiliki satu keputusan akan keberpihakan dari ilmunya.
Belum lagi, dalam aras realitas yang lain, ilmuwan juga akan bersinggungan pada beberapa kelompok yang ada di dalam masyarakat. Seperti diantaranya adalah para politisi, teknokrat, ahli hukum, para ulama, tokoh-tokoh DPR hingga pejabat teras di pemerintahan. Sikap keugaharian maupun kerendahanhatian dari ilmuwan dalam hal ini sangat begitu diperlukan. Sikap arif atau bijaksana-bahwasannya ia juga merupakan salah satu bagian dalam kelompok masyarakat tersebut. Konsekuensi logis yang mustinya dilakukan adalah objektivitas dalam memberikan informasi keilmuan-yang mungkin saja keputusan ilmuwan nantinya digunakan sebagai asas legalisasi terhadap banyak kelompok lain di masyarakat saat melakukan sikap maupun tindakan.
Kebijakan ilmuwan dengan ilmu yang digelutinya harapannya bisa menjadi daya dobrak tersendiri dalam perkembangan kesejahteraan sosialmaupun kemaslahatan padakelompok masyarakat. Ilmu tidak serta-merta hanya terbatas sebagai kumpulan informasi dengan berbagai teori yang terkadang masih bersifat abstrak. Namun, melainkan dari itu, ilmu menjadi sarana proses hingga produk akan keilmuan itu sendiri. Dengan analogi yang lebih sederhana, tak lain dan tak bukan, ilmu itu untuk diamalkan. Dengan berbagai konsekuensi yang nantinya lahir.

———– *** ————

Rate this article!
Menyoal Netralitas Ilmu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: