Menyoal Pemindahan Ibu Kota Negara

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen dan Trainer Universitas Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, di tengah politik tanah air yang tengah mendidih alias panas dengan maraknya persoalan tentang penghitungan dan penantian hasil suara Pemilu Presiden/Wakil Presiden RI dan calon legislatif, muncul keinginan pemerintah untuk memindahkah ibu kota negara. Bahkan, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan rencana untuk memindahkan ibu kota negara dari pulau Jawa yang padat. Gagasan ini kembali mengingatkan kita tentang polemik rencana pemindahan ibu kota Indonesia yang mandek karena berbagai pertimbangan di level nasional. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan gagasan tersebut. Namun, setidaknya kita perlu merespons gagasan pemindahan ibu kota dengan secara komprehensif.
Wacana pemindahan ibu kota
Wacana pemindahan ibu kota saat ini semakin santer tengah dikaji oleh pemerintah. Terkait dengan wacana tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Negara (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ( Bappenas) memastikan akan mengumumkan lokasi pasti yang akan menjadi ibukota baru pada 2019 ini. Bahkan, merujuk hasil kajian Bappenas, terekomendasikan saat ini, ada dua lokasi yang menjadi kandidat kuat ibukota baru, yaitu di kawasan Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur serta Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah. Apakah kedua kawasan ini salah satunya akan menjadi ibukota negara, menggantikan Jakarta? Belum bisa dipastikan juga mengingat daerah-daerah yang lain sebenarnya juga memiliki potensi yang besar. Karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam sehingga akan didapatkan suatu daerah yang cukup representatif untuk menjadi ibukota negara.
Sebenernya, kalau kita perhatikan sepanjang sejarah republik ini berdiri ada dua gagasan penting dalam visi pembangunan kota jangka panjang. Pada 1957, Bung Karno memiliki gagasan bernas untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya. Presiden Soekarno menganggap Palangkaraya yang berposisi relatif di tengah-tengah Indonesia berpotensi untuk menggerakkan pembangunan, khususnya ke arah timur Indonesia.
Pasca era Soekarno, presiden Soeharto memiliki rencana memindahkan ibukota ke kawasan Jonggol, Bogor, Jawa Barat pada akhir 1980-an. Sayangnya, gagasan Soekarno dan Soeharto tak terlaksana seiring dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Terlepas dari spektrum kekuasaan Soekarno pada Orde Lama dan kekuasaan hegemonik Soeharto pada Orde Baru, rencana pemindahan ibu kota tersebut memiliki visi kuat dalam pembangunan kota.
Gagasan itu mencerminkan sebuah proyeksi jangka panjang pembangunan kota di Indonesia. Pasca-Orde Baru, ruang diskursus pembangunan kota sejatinya terbuka lebar untuk meneruskan bahkan mengeksekusi gagasan visioner tersebut. Sayangnya, kita kehilangan visi tersebut dalam mengakumulasi ide Soekarno dan Soeharto.
Wacana pemindahan selalu timbul lalu tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang. Memang, seperti kita ketahui sudah ada beberapa negara yang sudah mulai mengantisipasi perkembangan negaranya di masa yang akan datang dengan memindahkan pusat pemerintahan. Contoh yang bisa kita ambil keberhasilannya negara memindahkan ibu kotanya, diantaranya yang bisa ketahui diantaranya seperti, Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan. Namun, perlu kita ketahui dan sadari bersama bahwa semua itu perlu kajian komprehensif jika ingin diterapkan di negeri ini. Singkat kata, melalui kajian wacana pemindahan ibu kota ini perlu kajian komprenhensif supaya endingnya tidak sekedar menjadi wacana yang menguap, timbul tenggelam begitu saja.
Perlu kajian komprehensif
Persoalan memindahkan ibu kota dari Jakarta terutama ke luar Pulau Jawa bukanlah hal yang mudah. Besar harapan adanya kajian-kajian komprehensif baik secara sosil, ekonomi, politiknya. Negara lain saja, sudah jauh melakukan pemindahan ibu kota sebagai terobosan politik, sementara kita masih berkutat dengan polemik dan pro kontra yang sering kali kontraproduktif.
Padahal, kita sudah memikirkannya sejak 1950-an. Jauh sebelum negara-negara seperti Brazil, Korea Selatan, Myanmar, Kazakhstan, Australia, bahkan Malaysia. Bahkan masih ada beberapa negara yang telah melakukan pemindahan ibu kota yang tidak penulis paparkan semua. Setidaknya, berikut ini beberapa masukan dari penulis yang sekiranya bisa menjadi bahan referensi dalam kajian wacana pemindahan ibu kota kita.
Pertama, menetukan lokasi tempat pindahan baru atau lokasi yang dituju untuk ditetapkan sebagai ibu kota yang baru. Sekiranya sudah tepat pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Negara (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappena) memastikan akan mengumumkan lokasi pasti yang akan menjadi ibukota baru pada 2019 ini. Secara logika, semua daerah (provinsi) pasti menginginkannya. Karena, bagaimanapun dampak pemindahan ini ibu kota ke daerah tertentu pasti akan berdampak positif bagi wilayah tersebut, masudnya wilayah baru. Kenyataan inilah, wajar jika semua menginginkannya. Oleh sebab itu, harus dilakukan kajian intensif mengenai ketersediaan lahan
Kedua, persiapan dana. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, butuh dana Rp 323 triliun hingga Rp 466 triliun untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta. Anggaran itu mencakup pembangunan infrastruktur pemerintahan, kegiatan ekonomi, transportasi, permukiman, serta ruang terbuka hijau.
Ketiga, berbasis sosial ekonomi. Akan terjadi migrasi secara masif di kawasan baru. Ekonomi lokal akan berkembang lebih dinamis yang menggerakkan kehidupan masyarakat di sekitar daerah baru. Muncul berbagai hunian, kompleks perumahan, apartemen untuk para karyawan/pegawai di sekitar kawasan tersebut. Ada efek ganda (multiplier effect) bagi masyarakat sekitar dengan proses migrasi sosial ekonomi di daerah baru.
Keempat, basis politik. Ibu kota memiliki makna politik sebagai simbol negara. Di sana terjadi pengambilan kebijakan strategis nasional dari berbagai otoritas politik. Sebagai simbol politik, ia memerlukan pendasaran filosofis yang memadai. Ruang sosial politik yang dibangun otoritas politik bisa berlangsung efektif jika didukung oleh kapasitas kawasan yang strategis.
Itu bisa kita artikan, bahwa wacanan pemindahan ibu kota negara bukan hanya dipahami sebagai transformasi fisik ke kawasan baru. Tetapi juga, harus bergerak lebih jauh untuk terjadinya transformasi sosial ekonomi yang lebih visioner dibandingkan dengan ibu kota sebelumnya. Sederhananya, kita menyebutnya dengan hijrah sosial politik yang visioner.
Bahkan, menurut hemat penulis, rencana pemindahan ibu kota akan lebih rasional jika bertumpu pada visi pengembangan kawasan dengan dukungan terobosan politik dari pengambil kebijakan. Meski menjadi otoritas politik, sejatinya proyek ini tidak didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dari berbagai kalangan, khususnya politisi.
Kebutuhan saat ini adalah kemauan sekaligus terobosan politik untuk memecah kebuntuan gagasan pemindahan ibu kota. Terobosan itu hanya mungkin dimiliki oleh kepemimpinan kuat dengan kapasitas visioner. Eksekusi gagasan ini tidak dilakukan kepemimpinan dalam perspektif jangka pendek. Melalui kepemimpinan yang kuat dengan kapasitas visioner kita akan berpikir proyeksi pembangunan nasional 10 tahun atau 20 tahun mendatang menuju pembangunan kawasan lebih baik pada masa mendatang.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: