Menyoal Penghapusan Pengetatan Remisi Koruptor

Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn (Civic Hukum) Univ. Muhammadiyah Malang

Belakangan ini, jagad publik tengah ramai menyorot perihal penghapusan pengetatat remisi bagi koruptor oleh Mahkamah Agung (MA). Rupanya, tidak berhenti disitu MA juga memutuskan untuk menghapuskan pasal yang berisi persyaratan remisi untuk narapidana kasus luar biasa seperti narkoba dan terorisme. Logis adanya, jika keputusan yang diambil MA tersebutpun kemudian menimbulkan kritikan tajam dari publik. Pasalnya, sebelumnya para koruptor mendapatkan diskon hukuman penjara saja sudah menuai polemik, ditambah lagi dengan MA melonggarkan aturan yang seharusnya diikuti para narapidana untuk mendapatkan remisi.

Menyesalkan keputusan MA

Keputusan MA yang mengabulkan judicial review atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, dimana PP tersebut mengatur pengetatan pemberian remisi untuk narapidana tindak pidana khusus, yakni korupsi, terorisme, dan narkotika. Maka, bisa diartikan bahwa dengan dihapusnya syarat pemberian remisi bagi koruptor tersebut bisa berpotensi membuat maraknya obral remisi di masa yang akan datang.

Padahal, idealnya kasus korupsi dalam berbagai aturan masuk kategori kejahatan luar biasa sehingga mesti ada pengetatan bukan sebaliknya marah dilonggarkan oleh MA, keputusan yang dikeluarkan MA tersebut justru menciptakan kemerosotan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai dalih alasanpun dimiliki oleh MA, mulai dari pemidanaan tidak hanya dilakukan dengan memenjarakan pelaku agar memberikan efek jera, tetapi juga harus sejalan dengan prinsip restorative justive. Kemudian, narapidana adalah subjek yang sama dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapa melakukan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Selain itu, syarat mendapat remisi tidak boleh dibedakan. Sebelumnya, syarat pemberian remisi terkait tindak pidana khusus salah satunya adalah narapidana tersebut menjadi justice collaborator. Namun, di aturan baru kini, narapidana tidak perlu mengajukan diri sebagai JC agar kelak mendapat remisi.

Berangkat dari kenyataan itulah, publik tengah dibuat tercengang sekaligus perihatin terhadap keputusan MA. Mestinya, para narapidana kasus korupsi tidak begitu saja diberikan remisi. Artinya, pemberian remisi bagi para pelaku extraordinary crime, seharusnya tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan masukan dari aparat penegak hukumnya. Terlebih, jika tersimak dengan detail PP 99/2012 merupakan aturan yang pro terhadap pemberantasan korupsi. Sebab, PP tersebut mengakomodasi pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor, yakni menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.

Itu artinya, dari awal PP 99/2012 telah mempertimbangkan dengan sangat baik pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara-cara luar biasa dalam penanganannya, salah satunya memperketat pemberian remisi. Namun, keputusan MA yang ada saat ini justru membatalkan PP 99/2012 maka MA terkesan inkonsisten terhadap putusannya sendiri saat menyatakan PP 99/2012 tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice.

Kemerosotan pemberantasan korupsi

Indikasi adanya pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan oleh Mahkamah Agung (MA) semakin menambah potret buram pemberantasan korupsi di negeri ini. Sebelumnya, PP Nomor 99 Tahun 2012 menyatakan pelaku tindak pidana korupsi, teror, dan narkoba bisa mendapatkan remisi. Namun remisi diberikan dengan syarat lebih ketat dibandingkan narapidana lainnya.

Namun, pencabutan PP Nomor 99 Tahun 2012, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012 membuat koruptor akan lebih mudah mendapatkan remisi. Itu artinya, semakin mudahnya narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman di masa mendatang. Realitas melalui putusan MA itupun, sejatinya sangat mengkhawatirkan. Terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor.

Merujuk dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Tidak hanya itu, Menkumham juga pernah mengeluarkan SE Menkumham tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012, (Kompas, 2/11/2021)

Itu artinya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM ada indikasi yang selalu berupaya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana, terlebih dengan dicabutnya PP Nomor 99 Tahun 2012 justru menambah potret buram sekaligus kemerosotan pemberantasan korupsi di negeri ini. Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.

Padahal sejatinya, jika tercemarti putusan MA tersebut, inkonsisten dengan putusan MA sebelumnya, yaitu putusan No 51 P/HUM/2013 dan No 63 P/HUM/2015 yang juga terkait dengan pengujian PP No 99/2012.Berangkat dari kenyataan itu, maka sudah semestinya ada beberapa langkah yang sekiranya perlu dilakukan oleh pemerintah agar meminimalkan tingkat kemerosotan pemberantasn korupsi di negeri ini.

Pertama, MA perlu menggeser pandangan dengan memaknai keadilan restoratif dalam kasus tersebut terletak pada pemberian remisi. Pasalnya, seperti diketahui, pemberian remisi untuk narapidana sudah dijamin di dalam UU Pemasyarakatan. Mengenai pengetatan syarat pemberian remisi, hal itu dilakukan sebagai detern effect untuk terpidana jenis kejahatan khusus. Dengan menghapus syarat menjadi JC untuk memperoleh remisi, justru MA seakan menyamakan korupsi dengan tindak pidana umum lainnya, sekali lagi ini yang perlu dikoreksi.

Kedua, MA perlu mengevaluasi pemberian remisi melalui pemaknaan model restorative justice, terlebih secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan.

Ketiga, pemerintah dan DPR tidak perlu memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor, pasalnya jika itu terbiarkan maka bersiap negeri ini akan mengalami kemerosotan dalam penanganan korupsi.

Melalui ketiga langkah dalam meminimalkan tingkat kemerosotan pemberantasn korupsi yang teruraikan dan teranalisis di atas, besar kemungkinan jika diterapkan dengan baik dan maksimal maka potensi terjadinya kemerosotan pemberantasan korupsi di negeri ini bisa terantisipasi.

———– *** ————-

Tags: