Menyoal Politikus Hitam

Saiful AnwarOleh: Saiful Anwar
Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN); Aktivis HMI Komisariat Syariah IAIN Walisongo Semarang

Urgensi “politik” di Indonesia nampaknya memisahkan diri dari arti dan hakikatnya. Jika memahami arti politik, sebenarna ini merupakan hal yang sangat esensial dalam kajian kenegaraan. Karena, hakekat politik yang sesungguhmya adalah untuk memperbaiki bangsa. Secara harfiah, politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “polis” yang berarti “kota” atau “negara”. Kemudian kita juga mengenal istilah “city-state” yang berarti “negara kota”. Inilah awal cikal bakal munculnya hakekat politik, yaitu seni atau kegiatan dalam mengurus, menata serta mengatur negara dengan baik.
Namun, dalam realitas yang terjadi saat ini, menunjukkan bahwa politik dianggap kejam oleh masyarakat. Pasalnya, politik yang seharusnya ditegakkan dalam mengatur negara dengan baik, kini telah tercemari virus hitam oleh banyaknya politikus yang tidak memilki idealitas tinggi terhadap negara.
Penilaian Masyarakat
Lemah dan memprihatinkan. Begitulah penilaian segenap kalangan kaum terpelajar dan kaum awam terhadap dunia perpolitikan di Indonesia. Pernyataan tersebut bukan semata-mata hanya dugaan belaka. Namun, hal tersebut didasarkan oleh realitas nyata yang terjadi pada pemerintahan dewasa ini.
Jika kita telisik lebih dalam lagi. Maka, setidaknya terdapat beberapa fakta yang mencerminkan bahwa politikus kita saat ini membuat warna buram dalam dunia pemerintahan Indonesia. Pertama, banyak orang yang terobsesi untuk memimpin negeri. Mereka yang ingin berkecimpung dalam dunia politik tidak berjumlah sedikit. Dalam beberapa dekade belakangan ini, puluhan, ribuan, bahkan jutaan orang terobsesi untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi, mereka hanya menjadi pemimpin dalam takaran julukan saja, bukan pemimpin yang dilengkapi dengan kualitas dan integritas tinggi.
Secara umum, mereka semua merasa mampu menangani sengkarut permasalahan lokal maupun nasional melalui janji visi-misi. Namun, janji manis yang mereka lontarkan dilupakan ketika sudah menempati posisi yang “mapan”.
Kedua, mengandalkan urusan financial. mereka yang baru saja mencalonkan dirinya, dengan mudahnya membeli suara rakyat agar memilihnya (Money politic). Sebab, mengingat masyarakat yang belum cerdas dalam memilih, hal demikian dijadikan sebuah jurus jitu bagi para calon untuk mendapatkan dukungan suara banyak dari seluruh masyarakat. Tak peduli dengan apa yang mereka keluarkan, baik berupa materi (uang) ataupun non-materi (tenaga dan fikiran).
Akan tetapi, bagi mereka yang terpenting adalah harus mendapatkan jabatan. Toh? nanti kalau jadi, bisa diambil kembali uangnya. Sungguh paradigma materialistik yang Menjijikkan.
Ketiga, ibarat menanam saham, kapan pun mereka mau. Bagi sang penanam dapat mengambil saham itu. Kalau kita pahami dalam kajian ekonomi kapitalis, kemungkinan besar saham yang ditanam tersebut bisa naik nilai tukarnya dari  penanaman saham sebelumnya. Perencanaan inilah yang dilakukan para politisi saat ini, mereka menanam saham kepada masyarakat dengan memberikan uang dan kebutuhan materi lainnya. Tetapi, ketika sudah terpilih menjadi petinggi negara, secara tidak langsung saham yang ditanam terhadap masyarakat akan ditarik kembali. Salah satunya yaitu dengan cara memakan uang rakyat (korupsi). Masyarakat memang tidak menyadari rencana tersebut. Tapi itulah kenyataannya. Kebanyakan dari mereka memakan uang negara. Uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan negara, tapi malah digunakan demi kepentingannya sendiri. Sungguh mereka dalam kesesatan yang nyata (Qs. Al-Ahzab:36).
Perlu orang baik
Tampaknya dunia perpolitikan di negara Indonesia semakin hari semakin bertambah buram. Kenapa tidak? Sebab, generasi yang hadir dalam urusan kenegaraan bukanlah mereka yang baik-baik. Akan tetapi, mereka yang justru malah memberi dampak negatif terhadap masyarakat. Hal tersebut, tentunya bagi kita tidak ingin bahwa, penampilan pemerintahan yang sudah buram ditambah menjadi semakin buram lagi. Untuk itu, dalam meng-antisipasi dunia politik dibutuhkan orang-orang yang baik guna memperbaiki kondisi negara yang kian menjadi rusak.
Perlu diingat kembali, pemimpin yang dibutuhkan adalah mereka yang baik. Suatu penilaian yang dijadikan sebagai tolok ukur bagi pemimpin yang baik adalah mereka yang benar-benar ikhlas mengemban amanah masyarakat. Dengan hati yang tulus tanpa pamrih. Hal ini akan berdampak baik untuk negara kita. Karena, secara tidak langsung pemimpin tersebut akan terdorong dengan sendirinya untuk melakukan apa yang seharusnya hendak dikerjakan. Melakukan demi bangsa dan negara (altruistik).
Seperti apa yang dikemukakan oleh Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyyah, kepemimpinan (imamah) adalah amanah, maka jalan untuk menempuhnya juga harus diiringi dengan langkah yang benar, jujur dan baik. Tugas yang dipercayakan masyarakat harus dipikul dan dilaksanakan dengan adil dan bijaksana.
Dan yang terpenting untuk digaris bawahi adalah, orang yang berhak menerima amanah tersebut bukanlah orang yang biasa-biasa saja, apalagi yang tidak bisa. Tetapi mereka yang benar-benar ahli dalam mengatur kenegaraan, berkualitas, jujur, bermoral dan tanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Jika kriteria tersebut dimiliki oleh seorang pemimpin, maka tidak diragukan lagi, hasilnya akan membawakan pada kehidupan kenegaraan yang adil dan sejahtera. Oleh karenanya, sangat tepat sekali jika amanah merupakan salah satu prinsip keberhasilan kepemimpinan Rasulullah yang wajib kita teladani, dari empat prinsip lainnya. Yaitu shiddiq (jujur), fathanah (cerdas dan berpengetahuan), tablig (berkomunikasi dan komunikatif dengan semua orang). Empat prinsip tersebutlah yang paling tepat sebagai evaluasi pemimpin yang baik.
Tidak Cukup dengan Baik
Dalam suatu negara, dibutuhkannya orang-orang baik merupakan hal yang wajib. Namun, jika kita mengutip dari pendapat Dosen FISIP UI serta politikus muda dari partai PAN. Yakni, Dr. Muhammad Nasih, bahwa dengan adanya orang-orang yang baik itu dirasa kurang cukup. Karena, orang-orang baik belum tentu mereka memperbaiki. Oleh karena itu, dibutuhkan juga orang-orang yang memperbaiki. Menurutnya, kedua istilah tersebut yaitu antara baik (solih) dan memperbaiki (muslih) merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, tindakan memperbaiki merupakan implementasi dari pribadi yang baik.
Sekali lagi, ini harus lebih ditekankan. Mengingat ungkapan Dr. Mohammad Nasih, Indonesia yang penuh dengan para elit politik hanya ada sedikit para pejabat negara yang baik dan memperbaiki. Lebih jelasnya, kita jangan sampai tergiur dengan janji suci memabukkan yang mereka kampanyekan. Semua itu tidak lain hanyalah sebatas Janji Busuk (JAMBU).
Untuk itulah, kita sebagai generasi muda. Inilah awal cikal bakal yang harus kita persiapkan sekarang untuk dimasa mendatang. Perubahan evolusi Indonesia ada ditangan kita. Mari kita singkirkan politikus hitam di negeri kita tercinta, dengan cara belajar yang tekun, menghafal al-Quran dan berpuasa yang rajin. Inilah yang harus kita tiru, yaitu tirakat Raja Islam pada abad pertengahan yang sukses dalam kepemimpinannya (Muhammed al-Fatih). Dengan demikian, adanya para pemimpin yang baik dan memperbaiki akan memberikan dampak perubahan besar terhadap Indonesia. Ini sudah tidak diragukan lagi, Indonesia akan menjadi negara yang baik. Semoga negeri kita termasuk negeri yang diRidhoi Allah SWT (Qs Saba’:15). Wallahu a’alam pil al-showab.

————– *** ————–

Rate this article!
Menyoal Politikus Hitam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: