Menyoal Remisi Koruptor

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Penulis Buku : Demokrasi, Korupsi, dan Keadilan (2021).

Di tengah gencar-gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memburu dan memenjarakan para koruptor, pemerintah Jokowi-Makruf Amin, melalui Kementrian Hukum dan HAM justru melakukan tindakan hukum yang berkebalikan, yakni dengan mudahnya memberikan remisi (keringan hukuman) dan bebas bersyarat kepada para koruptor kelas kakap. Ada kesan publik; para koruptor di tahan untuk dilepaskan.
Dalam memperingati Proklamsi Kemerdekaan RI ke 77pada 17 Agustus 2022, Pemerintah melalui Kemenkumham, memberikan remisi terhadap 168.196 narapidana. Sebanyak 421 Napi di antaranya adalah para koruptor. Ada 4 terpidana tindak pidana korupsi (Tipikor) yang mendapakan bebas bersyarat, di antaranya adalah mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari, eks Direktur Utama PT. Jasa Marga Desi Aryani, dan terpidana perkara suap pengurusan kuota importbawang putih, Mirawati Basri. Ada beberapa napi korupsi lain yang juga mendapatkan remisi beberapa bulan. Kebijakan ini tentu saja mendapat reaksi negatif dari publik, di saat kita sedang perang melawan korupsi, tetapi pada saat yang sama pemerintah mengobral remisi. Tentu saja ini, kebijakan ini kontraprodukitf dan mengusik rasa keadilan masyarakat. Sebagai catatan, mantan Jaksa Pinangi merupakan narapadina kasus suap dari buronan koruptor Djoko Tjandra. Pinangki disebut menerima uang suap 500 ribu dolar dari Djoko Candra terkait kepengurusan fatwa agar Djoko dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara. Pinangki awalnya mendapatkan vonis 10 tahun penjara dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, akan tetapi hukuman itu dipotong menjadi empat tahun saja oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Sehigga praktis, Pinangki hanya menjalani penjara 2 tahun saja.

Berdalih pada alasan Yuridis-Normatif
Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah tindakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Dan karenanya tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan regulasi dan lembaga-lembaga yang biasa atau konvensional, melainkan harus diselesaikan dengan menggunakan tindakan hukum yang luar biasa (extra judicial action). KPK beserta senjata regulasinya yang dimiliki dimaksudkan untuk melakukan tindakan hukum yang luar biasa dengan harapan dapat menekan angka korupsi pada titik yang paling rendah.
Namun, kerja keras KPK selama ini, harus dibayar amat murah oleh Pemerintah dengan mengobral remisi dan bebas bersayarat kepada para koruptor. Dengan remisi, grasi dan berbas bersyarat, para koruptor yang telah mengkorupsi uang negara raturan milyar rupiah bisa dengan mudah menghirup udara bebas. Dengan remisi dan bebas bersyarat, para korptor mendapatkan waktu pembebasan lebih cepat.
Para koruptor kelas kakap sangat begitu mudahnya mendapatkan remisi, grasi atau bebas bersyarat. Namun bagi para narapidana dari kelas sosial bawah, yang kebanyakan adalah mereka dari kelompok miskin, akan sangat kesulitan untuk mendapatkannya. Narapidana miskin harus melalui prosedur yang jlimet, panjang, lama, dan yang pasti melelahkan, belum lagi jika harus menyediakan uang “pembebasan” bersyarat yang jumlahnya tidak sedikit. Inilah sebuah paradoks perlakuan hukum yang telanjang di negeri yang namanya ; Indonesia.
Terkait dengan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, sering kali pemerintah berdalih pada alasan yudiris-normatif. Pemberian remisi dan bebas bersyarat kepada Napi korupsi sudah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yakni UU No. 12/1995 tentang remisi dan UU No. 22/2000 tentang Remisi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang perubahan atas PP No. 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun alasan ini sangat absurd, karena para koruptor juga melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Koruptor selain melanggar hukum, juga melanggar prinsip kemanusiaan Apakah korupsi itu bukan tindakan kehjahatan terhadap kemanusiaan?

Darurat Korupsi
Praktik korupsi di negeri ini sudah taraf yang sangat memprihatinkan. Negeri ini sedang darurat korupsi. Praktik korupsi sudah berjalan begitu sistemik dan massif. Meskipun ratusan regulasi dan puluan lembaga terkait pemberantasan korupsi dibentuk, praktik korupsi di negeri ini tidak menunjukkan tanda-tanda surut. Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Buya. Syafi’i Ma’arif, pernah mengatakan; korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet. Karena itu tidak salah, jika berbagai survei internasional menempatkan Indonesia dalam deretan negara terkorup di dunia.
Akibat mega korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini -yang berkolusi dengan para pengusaha, puluhan juta masyarakat kita hidup dalam kemiskinan, jutaan anak balita terkena gizi buruk, jutaan anak putus seklah, puluhan juta masyarakat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang murah dan layak, puluhan ribu anak gizi buruk meninggal dunia setiap tahunnya, dan berbagai potret buram lainnya. Semua itu akibat anggaran pembangunan dikorupsi oleh para pemangku jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Pendek kata, korupsi adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu sangat tidak layak para koruptor mendapatkan remisi, asimilasi apalagi grasi. Perlakuan hukum tersebut juga sangat menciderai rasa keadilan masyarakat.
Meskinpun secara yuridis sah, namun tindakan pemerintah yang memberikan remisi dan grasi tersebut sangat menciderai semangat kolektif bangsa ini dalam memberantas korupsi. Pemerintah sangat tidak menghargai kerja keras dan cerdas KPK dalam memburu, menyidik, menuntut, dan kemudian sampai menjebloskan para koruptor kelas kakap tersebut ke penjara. Komitmen pemerintah Jokowi-Makruf Amin dalam pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Pidato berbusa-busa Presiden Jokowi di setiap kesempatan, akhirnya hanya “lips service” belaka. Karena faktanya masih jauh panggang dari api.

Langkah Hukum Progresif
Jika kita ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka jawabannya adalah membebaskan diri dari belenggu positivism. Mengapa demikian, karena dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka, maka kita tidak akan pernah mampu untuk menangkap kebenaran dan keadilan. Sejalan dengan ini, Sosiolog hukum Undip, Satjipto Raharjo (2008:147), mengatakan dalam suasana terimpit oleh karut-marut kehidupanberhukum kita (praktik-praktik korup dan manipulatif) yang menggerogoti bangsa, mengapa kita tidak berani mencari jalan lain?. Di sinilah kita perlu memilih pejabat negara yang progresif dengan aparatus-aparatus hukum “partisan”. Pejabat negara seperti itu tidak datang dengan semangat kosong dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan (hukum), tetapi penuh determinasi, komitmen, dan dare (keberanian) untuk mengalahkan korupsi.
Di tengah keterpurukan praktik berhukumdi negara ini, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara kaku (pasalistik), tapi perlu melakukan terobososan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo, disebut sebagai penerapan hukum progresif, yakni berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat legalistik-positivistik. Pemberian remisi dan bebas bersyarat dalam konteks hukum progresif sungguh sangat menciderai rasa keadilan masyarakat dan agenda pembertantasan korupsi.

———– *** ————

Rate this article!
Menyoal Remisi Koruptor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: