Menyongsong “Merdeka” dari Pandemi

Gelontor Vaksinasi dan PPKM Tanpa Level

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior pegiat dakwah sosial politik.

Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-76, masih terbelenggu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) level 4. Juga dalam suasana ke-terpuruk-an ekonomi seluruh keluarga dampak wabah CoViD-19. Belum bebas bekerja, belum bebas berusaha, belum bebas sekolah, serta belum bebas berkumpul. Tetapi semangat memperkokoh ketahanan di segala bidang tetap menggelora. Terutama bangkit dari kepungan pandemi.

Bisa jadi upacara kenegaraan di Istana negara seperti tahun lalu. Tetap menyelenggarakan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, dengan Paskibraka yang terbatas. Di berbagai tempat, pada pukul 10:17, seluruh rakyat, khidmat berdiam sejenak, mengenang perjuangan Hari proklamasi 17 Agustus 1945. Terasa pilu, banyak yang meneteskan air mata. Karena tidak dapat merayakan Hari Kemerdekaan dengan segala kebanggaan, memakai kostum perjuangan. Tahun ini seluruhnya mengenakan kostum baru sedunia: menggunakan masker!

Tetapi yang berkibar bukan hanya bendera sang dwi-warna, merah-putih. Melainkan didahului bendera satu warna, putih saja, telah berkibar di depan lokasi usaha mikro dan ultra-mikro di berbagai daerah di Indonesia. Bukan menandakan menyambut kebahagiaan hari Kemerdekaan Negara. Melainkan tanda hands-up, angkat tangan, menyerah pada keadaan yang semakin menghimpit perekonomian. Warung makan, toko, dan usaha ekonomi kreatif tutup.

Walau terasa pahit, masyarakat mematuhi aturan yang dijalankan pemerintah. Patuhi PPKM yang semakin darurat. Realitanya, ketahanan kesehatan dalam suasana darurat. Bahkan rumah sakit dalam kondisi darurat, karena tenaga kesehatan (Nakes, dokter, perawat, dan bidan) terpapar CoViD-19. Begitu pula bagian layanan apotek, bagian keamanan (Satpam), sampai bagian cleaning service, turut terpapar CoViD-19. Sopir ambulance, dan bagian pemulasaran jenazah harus bekerja ekstra keras, dengan protokol kesehatan (Prokes) sebagai “harga mati.” Tidak Prokes bisa mati.

Mempercepat Vaksinasi

Tidak mudah melaksanakan Prokes di rumah sakit, terutama di ruang isolasi, dan instalasi gawat darurat (IGD). Wajib mengenakan APD (Alat Pelindung Diri) baju hazmat. Selama berjam-jam tidak bisa makan, minum, harus menahan kencing. Sehingga bekerja dengan ber-hazmat tidak bisa lebih dari 5 jam. Sangat melelahkan. Istirahat, lepas hazmat, cermat men-steril-kan diri, sambung membuat laporan kinerja. Juga harus memastikan diri tidak membawa pulang virus corona.

Tetapi kinerja Nakes bagai tak kenal akhir. Masih terdapat tugas strategis yang harus dilaksanakan. Yakni, vaksinasi kolosal nasional, dengan target satu juta suntikan sehari! Pemerintah mentarget beban Nakes sebanyak (minimal) 416,4 juta dosis suntikan, menyasar 208,2 juta jiwa rakyat Indonesia (semula 181,5 juta jiwa). Hingga awal Agustus (2021) telah diberikan 48 juta suntikan dosis pertama, dan 21 juta suntikan komplet (kedua). Sehingga masih tersisa 347,4 juta dosis yang harus disuntikkan.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sebanyak 271,35 juta jiwa. Berarti sasaran vaksinasi meliputi 76,7% total penduduk. Termasuk sasaran anak-anak usia 12-17 tahun. Jika target 1 juta suntik sehari, maka dibutuhkan 347 hari. Vaksinasi kolosal nasional baru akan selesai bulan Juli tahun (2022) nanti. Pemerintah perlu mempercepat pelaksanaan vaksinasi untuk membentuk herd immunity, kekebalan kelompok. Antara lain (keinginan Presiden) bisa mencapai 2 juta sehari. Pada akhir Januari 2022 baru tuntas.

Tidak mudah menyediakan vaksin sebanyak 416,4 juta dosis suntikan. Karena vaksin menjadi bahan kesehatan yang diperebutkan di seluruh dunia. Di Indonesia, vaksinasi sebagai benteng kekebalan, sesungguhnya diakui sebagai hak asasi manusia (HAM), dijamin konstitusi. UUD pasal 28H ayat (1). Dinyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Bahkan masih ditambah dengan amanat UUD pasal 34 ayat (3), dinyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Ketahanan Kesehatan menjadi prioritas utama. Di atas urusan kemakmuran ekonomi. Juga masih dikuatkan secara lex secialist dengan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 153, dinyatakan, “Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata … untuk pengendalian penyakit menular ….”

Program vaksinasi, terbukti direspons antusias masyarakat. Setiap even penyelenggaraan selalu dihadiri ratusan masyarakat dalam antrean panjang. Tak jarang mengabaikan Prokes (terutama tidak menjaga jarak). Pemerintah keteter. Kebutuhan yang besar tidak didukung ketersediaan memadai. Walau telah terdapat BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dapat memproduksi, me-ngembang biak-kan bahan vaksin. Tetapi tidak cukup cepat. Padahal kembang biak vaksin di dalam negeri bisa menghemat biaya impor vaksin.

Memulai PPKM Tanpa Level

Sukses vaksinasi tak lepas dari pelaksanaan PPKM level 4. Sesuai guidelines, arahan standar WHO (World Health Organization), level 4 merupakan keadaan paling parah. Ukurannya, terdapat konfirmasi positif sebesar 150 kasus Covid-19 per-100 ribu penduduk (setara 0,15% jumlah penduduk). Juga Lebih dari 30 kasus yang dirawat di rumah sakit per-100 ribu penduduk ( setara 0, 03% jumlah penduduk). Serta lebih dari 5 kasus meninggal per-100 ribu penduduk (setara 0, 005% jumlah penduduk).

Menimbang kondisi selama sepekan, beberapa kabupaten dan kota yang melaksanakan PPKM level 4 bisa diturunkan menjadi level 3, atau level 2. Realitanya, kasus positif (harian) sudah sangat menurun. Begitu bed di rumah sakit sudah banyak yang kosong ditinggal pasien yang sembuh. Sekaligus menunjukkan angka kematian yang menurun. Misalnya di Jawa Timur konfirmasi positif harian bertambah 3.660 kasus, serta meninggal dunia harian sebanyak 319 orang.

Kondisi ke-pandemi-an sangat jauh dari standar ukuran level 4 WHO. Bahkan layak level satu. Begitu Jawa Tengah, dan Jawa Barat, dan Jakarta. Maka pemerintah patut mempertimbangkan penurunan level ke-darurat-an. Sekaligus mengurangi suasana “mencekam” kedaruratan PPKM. Konsekuensinya, pemerintah lebih melonggarkan berbagai sektor perekonomian. Terutama sektor produksi manufaktur, dan ekonomi kreatif. Namun tetap dalam visi PPKM, dan kukuh melaksanakan Prokes (3M).

Pemerintah (dan daerah) seyogianya fokus pada treatment (mengobati yang sakit), dan menyelesaikan bantuan sosial (Bansos) yang tercecer, dan tertunda. Termasuk Bansos untuk kalangan usaha mikro, dan ultra-mikro. UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sektor usaha terdampak bencana berhak memperoleh bantuan permodalan. Tercantum pada pasal 69 ayat (2), berupa pinjaman lunak produktif.

Pertengahan Agustus, biasa menjadi ajang ke-guyub-an sosial, terasa membahagiakan. Walau rangkaian peringatan hari kemerdekaan tahun ini “dilarang” diperingati dengan kumpul-kumpul. Tiada lomba-lomba ke-gembira-an di kampung-kampung. Namun tetap seksama. Termasuk hari pengukuhan UUD 1945 sebagai hukum dasar yang tertulis. Di dalam (UUD) terdapat pokok pikiran tentang tujuan negara yang baru didirikan sehari sebelumnya (melalui Proklamasi 17 Agustus 1945).

Dalam pembukaan konstitusi juga dituliskan, alasan pembacaan Proklamasi. Yakni, keinginan luhur untuk berkebangsaan yang bebas (tidak ditindas). Serta “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia… .” Negara harus tetap berdiri tegak, “merdeka” dari segala intimidasi termasuk isu pandemi (yang seolah-olah diskenario tanpa akhir). Padahal tiada wabah tanpa akhir.

——— *** ———

Tags: