
karikatur ilustrasi
Berdebar-debar membahas pelaksanaan APBD Jawa Timur tahun 2017, sebagai pertanggungjawaban terakhir Pakde Karwo. Selama sebulan jajaran DPRD Jawa Timur, akan “menyidik” realisasi anggaran. Termasuk mencermati catatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terhadap “ketidakpatuhan” penggunaan anggaran. Fraksi-fraksi (perwakilan partai politik di DPRD), dan komisi-komisi, akan memberikan catatan terhadap pelaksanaan APBD tahun 2017.
Pembahasan pertanggungjawaban APBD, bisa berkonsekuensi politik (dan hukum) manakala ditemukan “pelanggaran berat.” Meski konsekuensi terberat sangat jarang terjadi, walau BPK memberi opini “Wajar Dengan Pengecualian (WDP).” Biasanya, hanya berupa ke-riuh-an pada forum pembahasan antara komisi-komisi di DPRD, dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah).
Sangat jarang konsekuensi politik dan hukum. Tetapi LPJ yang dibahas oleh DPRD, wajib menyertakan opini (dan hasil pemeriksaan) oleh BPK. LPJ yang diserahkan oleh Kepala Daerah, wajib ter-garansi “audited.” Namun ironis, tidak seluruh anggota DPRD menerima salinan (lengkap) hasil pemeriksaan BPK. Sejak tiga tahun terakhir, hasil pemeriksaan BPK hanya diberikan kepada pimpinan DPRD.
Seharusnya, salinan hasil pemeriksaan BPK dimiliki oleh setiap anggota DPRD. Hal itu inharent dengan amanat UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 100 ayat (1) huruf c, dinyatakan, bahwa pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK, merupakan fungsi pengawasan DPRD.
Bahkan dalam pasal 100 ayat (2), dinyatakan, “… DPRD provinsi berhak mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.” Hak setiap anggota DPRD, berkait dengan pembahasan LPJ, diatur pada pasal 100 ayat (3). Pembahasan dilakukan pada forum komisi-komisi di DPRD bersama mitra OPD. Tanpa salinan hasil pemeriksaan BPK, mustahil bisa dibahas.
Berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, mewajibkan menyertakan audit BPK. Lazimnya, tim audit BPK meng-investigasi APBD dalam dua term utama. Yakni: Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan, serta term Sistem Pengendalian Intern. Pemeriksaan dilakukan dalam tiga kali tahapan, selama lima bulan.
Berdasar hasil audit, BPK memberi tiga jenjang opini. Yakni, WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (Wajar Dengan Pengecualian), dan Disclaimer. WTP, berarti pelaksanaan realialisasi APBD tergolong baik. Namun tidak berarti bebas dari kesalahan. Kenyataannya, tak kurang dari 30-an catatan yang harus ditindaklanjuti oleh Kepala Daerah. Sedangkan opini “Disclaimer,” hampir bisa dipastikan berkonsekuensi hukum (ranah KPK dan Kejaksaan).
LPJ Gubernur terhadap pelaksanaan APBD propinsi merupakan kewajiban mandatory UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Khususnya diatur pada pasal 30, 31 dan pasal 32. Dinyatakan: “Gubernur menyampaikan Laporan Keuangan kepada DPRD. Yakni laporan yang memuat Realisasi Anggaran (RA), Neraca, Arus Kas serta Catatan atas Laporan Keuangan.”
APBD Jawa Timur yang dipertanggungjawabkan bernilai Rp 30,937 trilyun lebih (pada sisi belanja). Namun terdapat penghematan sebesar Rp Rp 2,058 trilyun (sekitar 6,06%). Sedangkan pada sisi pendapatan terealisasi sebesar Rp 29,864 trlyun lebih. Secara global terdapat sisa sebesar Rp 985,897 milyar. Juga dilaporkan jumlah aset senilai Rp 37,803 trilyun. Pagu belanja APBD Jawa Timur tergolong cukup pelit, karena belanja modal hanya sebesar Rp 3,090 trilyun (10,7%).
Membahas pelaksanaan APBD merupakan domain DPRD dalam fungsi anggaran. Tercantum dalam UU Pemerintahan Daerah, pasal 99 ayat (2) huruf d. Pada ujungnya, DPRD akan bersikap: menerima atau menolak. Jika diterima, maka pengesahannya akan berupa Perda (Peraturan Daerah). Namun jika ditolak, akan berkonsekuensi menjadi perang politik. Tetapi tidak pernah terjadi, DPRD menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah.
———- 000 ————-