Menyoroti Perilaku Koruptif Kepada Daerah

Ahmad Fatoni
Dosen PBA-FAI Universitas Muhammadiyah Malang

SIAPA yang tak miris mengikuti dinamika politik yang semakin tak menentu. Setiap kali membaca halaman koran atau menonton tayangan televisi, berita korupsi selalu muncul berjejal-jejal seperti baris iklan yang memuakkan. Kasus korupsi dari pusat hingga daerah silih berganti tiada henti. Negeri ini benar-benar dijangkiti sikap rakus tanpa batas.
Lebih miris lagi, justru yang tersangkut kasus korupsi banyak pula dari kalangan kepala daerah. Satu demi satu kuasa kepala daerah di seantero nusantara tumbang di tangan KPK. Selaku pejabat publik mereka senyatanya berfikir seribu kali untuk mengkhianati sumpah dan amanah rakyat.
Seperti dilansir berbagai media, sepanjang 2017 ini, KPK telah menjaring 5 kepala daerah atas dugaan tindak pidana korupsi. Pada September 2017 saja, ada dua kepala daerah yang harus “pindah kantor” ke balik jeruji besi. Pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung korupsi. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK mengungkap ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakilnya.
Sementara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mencatat, terhitung sejak awal KPK berdiri, sebanyak 77 kepala daerah ditangkap dalam operasi tangkap tangan dan sekitar 300 lainnya dinyatakan bermasalah. Dengan maraknya penangkapan kepala daerah karena kasus korupsi, sangat boleh jadi masyarakat kian pesimis akan kehadiran sosok pemimpin yang jujur.
Ketika di luar sana beramai-ramai berbicara serius soal pencalonan kepala daerah yang katanya visioner, berdiskusi mengenai komitmen partai politik sebagai pembela nasib rakyat, atau berdebat semalaman tentang politikus yang konon masih lurus, rakyat sudah capek tak bergairah. Publik sama-sama mengetahui bahwa para kepala daerah yang korup itu sebenarnya kaum cerdik pandai. Namun, justru kepandaiannya malah untuk membodohi rakyatnya sendiri.
Kita seolah kehabisan akal, apa sebenarnya yang bercokol di kepala para koruptor itu ketika mereka sedang melacurkan diri untuk berlaku korup. Dianggap melacur sebab orang yang memakan uang korupsi sesungguhnya mengonsumsi sesuatu yang menjadi hak rakyat atas kekayaan negerinya sendiri. Sebodoh-bodohnya rakyat kini menyadari sekecil apa pun jumlah uang yang dikorup, ujung-ujungnya tetap menyengsarakan banyak orang.
Di tengah perilaku korup yang terus menggurita hingga ke kantor-kantor kepala daerah, jutaan rakyat Indonesia masih bersyukur dengan kehadiran lembaga antirasuah bernama KPK. Iringan doa dan dukungan rakyat terus mengalir kepada KPK sebagai salah satu tumpuan harapan demi menegakkan hukum dan keadilan, menguak kebobrokan mental kepala-kepala daerah, serta menjamin terdistribusinya sumber daya alam untuk anak negeri.
Tak dapat dibayangkan, betapa berat tugas dan tanggungjawab KPK menghadapi manusia-manusia penghisap darah rakyat. Tidak saja pekerjaan yang dipertaruhkan, nyawa pun juga sering kali menjadi taruhan. Kasus terakhir adalah penyiraman air keras oleh orang tak dikenal kepada penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang hingga kini penanganannya masih jalan di tempat.
Terkait maraknya kasus korupsi yang menimpa kepala-kepala daerah, ada sejumlah hal yang diduga kuat menjadi penyebab. Antara lain, longgarnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan system desentralisasi, kepala daerah memiliki kewenangan dalam mengatur teritorialnya. Pemerintah pusat hanya melakukan pengawasan prosedural. Petakanya, parpol tidak bisa melakukan kontrol penuh atas kadernya yang menjadi kepala daerah. Sebab, sejak para kepala daerah dilantik, mereka memiliki otonomi kebijakan.
Tingginya korupsi di daerah juga karena biaya politik yang cukup tinggi. Itu sebabnya, ada kecenderungan kepala daerah akan mencari dana dengan segala cara meski harus menabrak hukum. Mengutip dugaan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, maraknya pejabat daerah yang tersandung kasus korupsi karena adanya perjanjian jahat saat pencalonan kepala daerah atau masa kampanye.
Ke depan pemerintah diharapkan mau memikirkan model Pilkada yang murah, sehingga tidak menjadi beban logistik bagi calon kepada daerah. Pemilihan kepala daerah melalui DPRD layak dipertimbangkan kembali mengingat bahaya Pilkada langsung lebih besar. Toh dalam Pancasila Sila Keempat secara jelas diatur permusyawaratan perwakilan.
Juga tak kalah penting, pola pengawasan dan pembinaan mental kepala daerah harus dibenahi. Seberapa besar ?dan kuatnya pengawasan dari KPK maupun inspektorat tidak akan mampu membendung kejahatan korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat di daerah. Selain alasan sistem, perilaku koruptif faktanya sangat bergantung pada sikap individu tiap-tiap kepala daerah.

———– *** ————

Tags: