Menyuarakan Nasib Pendidikan Orang Miskin

Oleh :
Maswan
Penulis adalah Wakil Dekan 3 FTIK Unisnu Jepara, Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Unnes , Asesor BAP-SM Prov. Jateng

Berbicara soal pendidikan di Indonesia, tidak boleh lepas dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, karena beliaulah yang mengukir sejarah tentang Pendidikan Nasional. “Harapan Ki Hajar Dewantara, telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun, sekolah tingkat SD dan SLTP. Namun amanat konstitusi masih terkendala problem perekonomian (pemerintah dan rakyat),  demikian Yunus Supanto (Wartawan senior), berjudul Memudahkan Pendidikan Seluruh Rakyat (Bhirawa, 07/5). Setidaknya hal tersebut dapat menjadi  inspirasi dan refleksi ulang bagi para pejabat publik, untuk lebih serius memikirkan sistem pendidikan nasional.
Selanjutnya, menurut Yunus, kita perlu melihat kembali falsafah pemikiran “bapak pendidikan nasional,” Ki Hajar Dewantara. Namanya, itu menunjukkan status (dan pemikirannya) sebagai guru sepanjang hayat. Konsep “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,” yang ditulisnya, bukan sekadar jargon ke-guru-an. Melainkan menjadi sikap keseharian.
Untuk menjalankan pendidikan tersebut harus dapat membentuk karkater bangsa, dengan pola memberi teladan moralitas, ing ngarsa sung tulada. Pendidikan, juga harus menjangkau segenap masyarakat, tanpa diskriminasi (strata ekonomi, sosial dan politik). Pertanyaannya, apakah sampai hari pendidikan kita sudah terjangkau merata untuk orang-orang miskin di pinggiran dan orang-orang terpencil?
Pola pendidikan di negeri ini, masih terjadi kesenjangan aantara kota dan desa, antara orang kaya dan miskin. Ada kesan, orang-orang yang mendapat pendidikan layak hanyalah berlaku orang-orang kota dan orang-orang kaya, lebih-lebih pada jenjang di Pendidikan Tinggi. Akibatnya kemiskinan dan kebodohan masih banyak yang bertebaran di pelosok desa yang centedung terus terbelakang, miskin dan bodoh. Ini ibarat lingkaran setan kemiskinan yang laten, dan ini harus diputus talinya.
Kemiskinan dan kebodohan yang belum tuntas diselesaikan di negara yang merdeka ini, berdampak pada masalah lain yaitu keterbelakangan. Dan keterbelakangan menjadi bagian subsistem dari lingkaran setan yang sulit diurai.  Apa yang disebut lingkaran setan, entah lingkaran kebodohan, lingkaran kemiskinan atau lingkaran keterbelakangan, adalah suatu proses sebab akibat yang saling terkait. Dari awal kebodohan berakibat  miskin, dari kemiskinan berakibat terbelakang dan atau dari keterbelakang berakibat bodoh, begitulah seterusnya, seolah-olah tidak pernah ada ujung.
Sebagai orang yang berhidmad dalam dunia pendidikan, penulis sangat sepakat kalau mengatasi permasalahan lingkaran setan tersebut harus dipotong rantainya. Bundel tali kebohdohan, tampaknya yang paling dominan untuk diputus dan diurai ujung-ujungnya.  Dengan demikian mengentaskan kebodohan berarti harus menata sistem pendidikan.
Pemilik Pendidikan
Pendidikan dianggap sebagai senjata yang ampuh tidaklah hanya sebagai sebuah jargon dan kata-kata eforia yang tanpa implikasi yang jelas. Senjata ampuh ini akan menjadi sarana pamungkas untuk memerangi kebodohan, kemisinan dan keterbelakangan. Dengan catatan dan ini menjadi kata kunci, kalau si pemilik senjata tersebut mempunyai kesadaran dan kecerdasan serta mempunyai keterampilan dalam penggunaan senjata ampuh tersebut.
Pendidikan adalah milik bangsa dan yang bertanggung jawab membangunnya adalah pemerintah. Pemerintah yang bertanggung jawab adalah semua aparatur negara, yaitu para eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga unsur pemerintahan ini adalah pemilik sah pendidikan nasional di negeri ini.
Jika pendidikan sebagai senjata ampuh untuk mengentaskan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menurut Rektor Unnes tersebut, maka pemerintah diharapkan mampu menyatukan persepsi dan komitmen untuk memikirkan pendidikan dengan segala konsekuensinya.
Pendidikan Abad XXI
Pemerintah Indonesia sudah saatnya terbangun dari tidur, untuk menghadapi Abad XXI yang ditandai dengan berbagai masalah kehidupan yang sangat kompleks. Penyelesaian masalah global dan kompleks di era abad ini, tidak akan dapat diselesaikan oleh sumber insani yang bodoh, miskin dan tebelakang. Yang dibutuhkan sekarang adalah Sumber daya manusia yang unggul, cerdas, kaya dan berpikir maju.  Hal ini hanya dapat terbentuk melalui pendidikan yang maju.
Sedidaknya, Abad XXI juga harus disiapkan dengan konsep pendidikan yang berwawasan global. Pemikiran untuk mendesain model pendidikan Abad XXI menjadi bagian dari upaya kita yang tidak boleh diabaikan.
Untuk menhadapi tantangan global, haruslah kita bangun kerangka pendidikan Abad XXI. Dengan melihat globalisasi yang tidak dapat dihindarkan nanti, maka kita harus merubah paradigma pendidikan. Paradigma baru dalam pendidikan nasional, lebih mengedepankan makna nilai pengembangan yang bersifat berkelanjutan. Nilai yang diharapkan ditemukan dalam diri setiap insan yang terlibat dalam pendidikan nasional adalah pada pembentukan kompetensi yang; amanah, profesional, antusias dan bermotivasi tinggi, bertanggung jawab, kreatif, disiplin, peduli dan pembelajar sepanjang hayat.
Essensi dari konsep Pendidikan Abad ini hendaknya dipahami oleh semua pemimpin bangsa jika bercita-cita untuk membangun sumber daya manusia yang handal dan setiap insan Indonesia, harus merdeka dalam perolehan pendidikan. Kemerdekaan melalui pendidikan akan terwujud manakala pendidikan tidak lagi menjadi kalkulasi ekonomi dan tawar menawar yang dimenangkan oleh orang kaya, sementara orang miskin terpinggirkan. Orang miskin juga butuh kepandaian, hidup layak dan sejahtera.
———– *** ————

Tags: