Menyusui Eksklusif: Tantangan, Dukungan dan Perjuangan

Oleh :
Khofidotur Rofiah
Penulis adalah Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, sekaligus Ibu Pejuang ASI bagi dua bayinya.

Menjadi seorang Ibu bagi setiap wanita adalah ujung dari konstruksi feminisme yang melihat perjuangan perempuan melahirkan, menyusui, dan mengasuh putra putri tanpa Lelah. Tak pelak beragam peringatan baik nasional maupun internasional dikhususkan untuk menunjukkan kasih dan peduli dunia terhadap perjuangan wanita dan khususnya aktifitas Ibu.

Sebagai contoh istimewa tampak pada setiap awal Agustus selama satu minggu didedikasikan sebagai “World Breastfeeding Week (WBW)” atau Pekan ASI sedunia yang dirayakan secara anual setiap tanggal 1-7 Agustus yang dideklarasikan sejak tahun 1990. Betapa dunia telah sepakat memaknai arti penting seorang Ibu dan proses menyusui sebagai supporting awal kehidupan dan keberlangsungan manusia yang dalam hal ini direpresentasikan dalam proses menyusu.

Tak tanggung-tanggung dua organisasi nirlaba dunia, WHO dan UNICEF mendukung untuk mempromosikan kegiatan menyusui ini. Rupanya banyak hal-hal mendasar yang bukan hanya proses meng-ASI-hi saja dalam kegiatan breastfeeding ini. Terdapat beberapa manfaat yang kerap kali bahkan seorang Ibu memiliki keterbatasan dalam memahaminya. Yang terpenting adalah membangun bonding atau menjalin ikatan antara orangtua, khususnya Ibu dengan bayi bayi mereka pada awal kehidupan mereka.

Dalam ilmu psikologi perkembangan, kita sangat familiar dengan teori hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow. Bahwa manusia secara normal memiliki kebutuhan dasar yang digambarkan bertingkat membentuk piramida sesuai level usia dan porsi kebutuhan yang saling berpengaruh hingga seseorang menjadi pribadi matang.

Kebutuhan fisiologis (physiological needs) bertempat pada posisi pondasi paling bawah dengan porsi terbanyak. Hal tersebut bermakna bahwa kebutuhan-kebutuhan fisik diantaranya kebutuhan atas makan, minum, tidur, pakaian, rumah dan kebutuhan fisik lainnya merupakan kebutuhan yang paling urgensi untuk dipenuhi diatas kebutuhan lain. Apabila kita mengulik kembali terkait dengan bayi dan proses menyusui merupakan kebutuhan fisiologis yang harus dipenuhi terlebih dulu. Bahwa seorang bayi membutuhkan ASI.

Namun, tidak cukup itu, pada tahap hierarki piramida kedua menurut teori Maslow adalah kebutuhan manusia akan rasa aman (safety needs). Tuhan menciptakan wanita lengkap dengan perannya menjadi seorang ibu dengan alat khusus untuk menyusui yang diciptakan sedemikian rupa bertujuan tidak hanya cukup memberikan physiological needs yaitu kecukupan air susu saja, namun memberikan kehangatan, kenyamanan, keterbukaan diri bagi bayi mereka dalam proses menyusui, memeluk, membelai dan menatap. Tak jarang, beberapa balita sangat bergantung dengan Ibunya tidak hanya pada kebutuhan ASI saja, tetapi lebih pada rasa aman saat berada dekat dengan ibu.

Lebih lanjut dikutip dari BBC News, menyusui dapat bermanfaat untuk merangsang perkembangan kognitif dan melindungi bayi terharap infeksi, diare dan pneumonia. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian komprehensif yang menyatakan terdapat keterkaitan antara masa seorang bayi menyusu diwaktu kecil dengan hasil tes IQ seseorang saat dewasa. Dugaan dasar dari peneliti adalah adanya kandungan asam lemak yang tinggi pada ASI yang sangat baik bagi pertumbuhan otak.

Mengutip dari pernyataan WHO bahwa proses menyusui (breastfeeding) juga sebagai promosi untuk perbaikan kondisi kesehatan Ibu dan anak. Meningkatnya kesadaran dan kegiatan menyusui pada level international dilaporkan dapat menyelamatkan lebih dari 823.000 jiwa setiap tahun dengan mayoritas anak-anak berusia dibawah 5 tahun. Namun tidak hanya itu, menyusui dapat mengurangi risiko Ibu terkena kanker payudara, ovarium, obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung. WHO mengestimasikan meningkatnya aktifitas menyusui dapat mencegah lebih dari 20.000 kematian ibu setiap tahunnya yang diakibatkan oleh kanker payudara.

Untuk itu, WHO sangat merekomendasikan untuk menyusui secara eksklusif dimulai dari saat bayi berusia 1 jam setelah dilahirkan hingga bayi berusia 6 bulan. Lalu dilanjutkan hingga bayi berusia 2 tahun dan dilengkapi dengan makanan pendamping ASI (MPASI).

Dalam tataran implementasi, tentu seorang Ibu baik mayoritas maupun case by case menghadapi tantangan dan problematika masing masing. Dirangkum dalam sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Padjdjaran, masalah-masalah dalam menyusui dapat ditimbulkan oleh Ibu maupun bayinya. Walaupun kerapkali kegagalan menyusui sering dianggap bersumber pada anak saja, misalnya bayi yang menolak ASI, sering menangis, bingung putting, dan berbagai kasus lain.

Tantangan yang kerap dirasa tidak sederhana khususnya pada wanita yang pertama kali menjadi seorang Ibu antara lain adalah Faktor fisiologis, yaitu kondisi fisik Ibu khususnya payudara (PD), misalnya; putting lecet, kondisi ini sangat wajar dihadapi oleh Ibu muda. Pada saat kehamilan semester akhir,PD secara fisiologis telah mempersiapkan kondisi untuk siap menyusui, lalu saat bayi lahir dan menyusu kali pertama, isapan bayi membuat putting Ibu membengkak. Hal tersebut justru baik untuk membuka aliran ASI yang kadang memang sangat menyakitkan khususnya bagi kondisi PD wanita dengan puting terbenam (retracted).

Faktor stigma, menjadi persoalan yang paling sering dihadapi oleh Ibu baik dari kapasitas pengetahuan dan persepsi Ibu sendiri. Misalnya yang paling sering kita temui adalah kekhawatiran Ibu atas kondisi fisik setelah menyusui. Hal tersebut tidak dibenarkan, karena ketika Ibu menjadi proses kehamilan, maka seluruh kondisi tubuh Ibu akan berubah menyesuaikan dengan persiapan menyusui. Sebagai solusi, telah banyak gerakan olahraga tertentu untuk tentap menjaga kondisi fisik wanita tetap baik.

Faktor lingkungan menjadi penentu penting dalam keberhasilan komitmen menyusui khususnya orang-orang terdekat. Beberapa kasus menyebutkan suami yang tidak memberi support baik fisik maupun nonfisik, misalnya motivasi dan pengertian, lalu keluarga yang menerapkan kultur tertentu, sebagai contoh Ibu hamil yang sedang memiliki balita tidak boleh menyusui karena akan menjadi racun bagi anak, dan lain sebagainya membuat seorang Ibu kadang memilih untuk tidak memberikan hak ASI bagi anak mereka.

Ibu yang berkarir juga kerap dipenuhi oleh dilematik terkait menyusui. Bukanlah perkara mudah meninggalkan balitanya untuk bekerja disaat seorang Ibu sedang bahagia untuk merawat dan menyusui bayinya. Perlu usaha yang besar juga komitmen yang kuat bagi wanita karir yang terpaksa harus menyusui. Oleh karenanya, Negara telah memberikan jaminan terkait dengan aktivitas menyusui seorang Ibu yang bekerja melalui beberapa Undang-Undang. Konvensi ILO No. 183, Undang-Undang Tenaga Kerja, UU Kesehatan mengatur hak ibu menyusui di Indonesia. Tidak hanya sampai pada tataran regulasi saja, terdapai berbagai fasilitas-fasilitas yang disediakan khusus bagi Ibu berkerja dengan komitmen menyusui (IBKM) misalnya Pojok ASI, Ruang Laktasi, dan sebagainya.

Beberapa IBKM merasa khawatir ketika dihadapkan terhadap situasi kewajiban sebagai pekerja sekaligus seorang Ibu bagi bayinya. Sehingga kekhawatiran tersebut membuat Ibu mengalami stress yang kerap memiliki pengaruh terhadap kuantitas ASI. Sebagai solusi, para Pimpinan dalam Instansi sebaiknya memberi pemahaman bagi IBKM untuk tidak lagi khawatir sekaligus menunjukkan support untuk tetap semangat menjadi pejuang ASI bagi masa depan generasi Bangsa.

Semoga Ibu-Ibu di Indonesia memiliki pemahaman yang lebih baik terkait pentingnya menyusui dengan kualitas ASI terbaik serumit apapun kondisi dan tantangan yang dihadapi.

Selamat Pekan ASI Sedunia, 1-7 Agustus 2020!!

————— *** —————-

Tags: