Merajut Harmoni Keberagamaan dalam Keragaman

Oleh :
Nurul Yaqin
Guru SMPIT Annur Cikarang Timur. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Singaperbangsa Karawang.

Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bangsa ini cukup berhasil merawat harmoni keberagamaan di tengah keragaman. Maka tak salah jikan negeri ini dikenal sebagai zamrud toleransi. Namun, bangsa ini bukan lantas suci dari noda konflik, justru tensi diversitas yang tinggi riskan memunculkan gesekan-gesekan yang menimbulkan kegaduhan. Seperti halnya aksi pembubaran secara paksa terhadap jemaah Gereja Kristen Kemah Daud oleh ketua RT setempat pada 19 Februari lalu merupakan indikasi bahwa toleransi di bumi pertiwi ini masih menjadi PR yang harus dibenahi.
Padahal berkaitan dengan penguatan budaya toleransi, Presiden Joko Widodo dalam agenda Rakornas Kepala Daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) pada 17 Januari 2023 di Bogor telah mewanti-wanti agar kepala daerah memberikan kebebasan beribadah dan beragama terhadap warganya. Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut telah dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 2.
Dalam perkembangannya, aksi intoleran memang mengalami peningkatan. Tindakan intoleran tersebut beragam, mulai dari gangguan terhadap rumah ibadah, penolakan ceramah, dan penodaan terhadap agama. Setara Institute melaporkan bentuk intoleransi gangguan terhadap tempat ibadah terjadi di 50 tempat sepanjang tahun 2022. Dengan rincian gangguan terhadap gereja protestan katolik 21, masjid dan musala 20, wihara 6, pura 2, dan rumah ibadah penghayat 1.
Laku intoleran ternyata tidak hanya terjadi di dunia nyata, akan tetapi juga di dunia maya. Interaksi di media sosial telah menjelma kehidupan dunia baru yang mudah memantik percikan intoleransi. Nada dan narasi saling menghina antarnetizen berbalut agama, suku, dan ras kerap ditemukan di kolom komentar instagram, youtube, twitter, tik tok, dan facebook. Di media sosial seluruh kalangan manusia bebas berekspresi tanpa ada lagi empati demi mengedepankan egoisme golongan dan pribadi. Lantas bagaimana meredam api toleransi yang semakin berkobar?

Riset Toleransi
Untuk membendung arus kasus intoleransi yang semakin meningkat perlu adanya langkah efektif salah satunya dengan menghidupkan riset toleransi. Penelitian terkait toleransi perlu diupayakan untuk menangkal aksi intoleran dari berbagai pihak, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Fokus penelitian yang perlu dikembangkan adalah kajian secara positif tentang konstruksi toleransi di masyarakat.
Namun, berdasarkan Laporan Badan Litbang Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama tentang survei nasional kerukunan umat beragama di Indonesia tahun 2013, bahwa sejak era reformasi 1999, penelitian sosial keagamaan yang berorientasi pada ide penguatan kerukunan beragama (religius harmony) masih tergolong rendah, masih kalah popularitasnya dari penelitiaan tentang konflik agama (conflict of religion) yang lebih menarik perhatian dan menyentuh secara emosional.
Selain itu, penelitian terkait kerukunan agama terkesan kaku, datar, kurang menggigit, dan tidak adak kebaruan yang dapat menjadi daya tarik. Padahal penelitian kerukunan umat beragama dan konflik beragama ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama perlu perhatian untuk dikembangkan. Mengapa kajian yang berorientasi pada toleransi positif penting untuk dilakukan?.
Ha ini untuk membangun ide dan narasi yang bertujuan; pertama, menjadi penyeimbang di tengah maraknya kajian tentang konflik keagamaan. Kedua, menjadi angin penyejuk yang membawa optimisme di tengah tingginya arus informasi tentang radikalisme agama, kekerasan, penodaan agama, dan lain-lain. Ketiga, dapat dijadikan dasar pengambailan kebijakan atau policy maker. Keempat, meningkatkan sikap kehati-hatian dan waspada terhadap letupan konflik yang riskan terjadi. Kelima, sebagai penguatan identitas bahwa mainstream kebudayaan dan keagamaan di Indonesia masih cukup tangguh untuk menopang bangunan keragaman.

Ikon Toleransi
Selain kajian toleransi positif, perlu adanya langkah konkret untuk memelihara harmoni keberagamaan di tengah keragaman dalam merajut benang toleransi. Praktik toleransi positif kerukunan agama telah dibuktikan oleh pusat peribadatan Puja Mandala, Bali. Kompleks Puja Mandala merupakan pusat peribadatan lima agama besar: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, dan Hindu yang saling berdampingan. Selain sebagai tempat peribadatan, kompleks ini kerap menjadi tempat wisata religius karena tersohor dengan citra toleransi dan kerukunan umat beragama ala Pulau Dewata.
Bagaimana Puja Mandala mengelola koeksistensi tersebut? Tidak mudah menyatukan tempat peribadatan yang memiliki kredo yang bersimpangan. Proses pembangunan awal Puja Mandala tidak cukup mulus dan kerap dicederai dengan penolakan dari kelompok Hindu Bali sehingga harus melalui proses negosiasi. Hal ini disadari karena dimensi penting toleransi adalah hubungan antara kelompok mayoritas dengan minoritas dalam sebuah komunitas. Penerimaan terhadap eksistensi minoritas memerlukan proses yang cukup panjang.
Paguyuban memiliki peran vital dalam menjaga kerukunan di daerah ini. Setiap komunitas agama memiliki perwakilan yang menjadi motor penggerak segala kegiatan keagamaan. Jika terjadi hal-hal yang mengancam keamanan dan kerukunan bisa diatasi dengan musyawarah duduk bersama. Kompaknya paguyuban dalam merawat harmoni keberagamaan dalam keragaman inilah yang menjadikan Puja Mandala sebagai ikon toleransi.
Maka dari itu, Puja Mandala patut menjadi model toleransi positif bagi daerah-daerah lain baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Sebagai acuan untuk menanam benih-benih kerukunan dan mereduksi aksi-aksi intoleran yang kerap dipraktikkan secara serampangan.

———– *** ————

Tags: