Merajut Kembali Kebhinekaan

Qafyan MardinOleh :
Qaafyan Mardin
Pengajar LC Universitas Muhammadiyah Malang

Toleransi antar umat beragama kembali terusik oleh aksi perusakan dan pembakaran sejumlah rumah dan tempat beribadah di tanah Papua. Di tempat lain, di Bantul, kelompok tertentu berupaya membakar sebuah rumah ibadah meski tidak sempat menghanguskannya. Tindakan anarkis kelompok-kelompok anti toleransi ini mengingatkan kita kembali ke masa lampau. Pembakaran, penutupan, pemboman rumah ibadah, pelarangan beribadah saat itu sempat mengoyak-ngoyak rasa kebangsaan yang terbangun sejak masa silam.
Aroma primordial berlatar belakang suku, agama dan ras (SARA) tampaknya masih membekas kuat di benak sebagian kecil anak bangsa. Para kelompok intoleran masih kesulitan menerima realitas bahwa Indonesia dibangun atas keberagaman dan latar belakang yang berbeda. Mereka seolah menyangkali kenyataan bahwa mereka hidup di dalam masyarakat yang plural dan bahwa mereka tidak dapat hidup tanpa nilai-nilai sosial yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Sikap anti-perbedaan jelas bertentangan dengan falsafah negara yang digali dari peradaban para nenek moyang.
Lebih dari seabad yang lalu, sebelum negara terbentuk dan sebelum ideologi Pancasila dicetuskan, para pendahulu kita sudah menyadari betul realitas bahwa suatu kelak bangsa ini akan lahir atas kesepakatan bersama dengan latar belakang yang sangat beragam. Itu sebabnya, bunyi butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi: “menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, bukan berbunyi: “mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia”.
Para perwakilan pemuda dari seluruh nusantara di zaman itu sadar bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan budaya yang ditandai dengan beragam bahasa daerah. Mereka tidak ingin menyamakan perbedaan. Sebaliknya, para pemuda memahami betul bahwa pluralisme adalah sebuah kekuatan bangsa untuk melawan penjajahan.
Anehnya, di zaman peradaban yang serba modern saat ini, aksi-aksi primitif berlatar belakang perbedaan suku, agama dan ras masih saja dipelihara sebagian kelompok yang tidak menginginkan kedamaian terwujud di negeri ini. Aksi memaksakan kehendak mereka mengkerdilkan semangat kebhinnekaan dan kemajemukan. Upaya-upaya penguatan identitas primordial belaka masih saja terasa. Pengrusakan, pembakaran dan penyerangan baik fisik maupun psikis kepada pribadi atau kelompok yang tidak sealiran atau sefaham dengan kelompok intoleran telah dengan sengaja merusak nilai-nilai toleransi dan membawa bangsa ini kepada perpecahan. Celakanya, gerakan-gerakan anti peradaban ini sering diotaki oleh oknum-oknum inteletual yang memiliki kepentingan.
Secara politik, memang, Indonesia sangat toleran, tapi sebenarnya secara sosio kultural Indonesia masih mengandung berbagai persoalan di dalam merealisasikan kebebasan. Kondisi keberagaman di Indonesia sering justru kontradiktif dengan situasi politik, yang lebih sering terlibat sebagai adu kepentingan dan jegal menjegal. Kalimat-kalimat toleransi sering hanya indah terdengar dalam wacana politik. tetapi dalam prakteknya, kepentingan pribadilah yang menjadi tuan. Pemaksaan kehendak bernuansa SARA telah mendegradasi semangat persatuan dan kesatuan bangsa serta nilai-nilai demokrasi sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan dasar negara Pancasila.
Menghidupkan semangat toleransi
Sekali lagi, sikap intoleran akan melahirkan radikalisme yang mengancam, bukan saja semangat kemajemukan, tetapi juga keutuhan negara dan bangsa. Konflik horizontal atas dasar perbedaan identitas hanya menciderai ideologi nasionalisme serta mengoyak semangat kebangsaan yang berbhinneka tunggal ika. Republik ini lahir atas dasar kesepakatan bersama berbagai unsur bangsa sosial (masyarakat), golongan, agama dan adat-istiadat yang berbeda-beda demi mencapai tujuan bersama, masyarakat yang makmur, di atas bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang mestinya menjadi perekat visi kebangsaan dalam memahami nilai-nilai transedental di dalam kamar-kamar ibadah didegradasi begitu saja sebagai nilai milik aku/kelompok tertentu. Ia terlepas dari zat ke-ilahi-an yang mengehendaki penerimaan terhadap segala entitas perbedaan. Padahal bangsa yang besar menurut Soekarno adalah bangsa yang memiliki kesadaran keunggulan religi dan civilitas untuk merayakan kebersamaan, sebab di dalam koridor inilah hikmah dan pembelaan Tuhan bagi bangsa Indonesia terwujud.
Sudah saatnya konsep dan nilai-nilai toleransi diintegrasikan kembali dikuatkan untuk mewujudkan toleransi sesama anak bangsa di tengah masalah terorisme, perang dan kebencian yang sedang dihadapi dunia saat ini. Nilai-nilai toleransi yang mengedepankan pemahaman akan pentingnya hidup damai dalam keberagaman budaya sudah saatnya ditanamkan kepada masyarakat semenjak di dunia pendidikan.
Selain itu, pentingnya nilai-nilai demokrasi juga harus lebih ditanamkan pada siswa didik karena pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang cerdas, tetapi juga manusia yang mampu menghargai perbedaan dalam keberagaman di masa depannya.
Indonesia, sebagai negara multistate nation, atau multiculture nation, adalah bangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai-bagai suku, ras, bahasa, agama dan lain-lain. Itu sebabnya, kesadaran nasionalisme penting untuk dijunjung setinggi-tingginya agar semangat kebangsaan yang sudah terjalin lebih seabad yang lalu kembali utuh.
Konsep ideologi nasionalisme dan negara kesatuan Indonesia sedianya sudah tuntas dan tidak perlu dipertentangkan lagi. Oleh sebab itu, negara harus berperan aktif bukan saja menindak kelompok-kelompok intoleran, tapi juga membangun rasa saling percaya antar kelompok-kelompok masyarakat.
Pancasila, UUD 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya sudah cukup untuk dijadikan sebagai titik temu dari perbedaan-perbedaan pandangan dari tiap-tiap kelompok masyarakat. Pilar-pilar ini seharusnya pemersatu dari seluruh perbedaan yang ada. Pilar-pilar ini juga harus menjadi tolok ukur dalam setiap pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan negara, termasuk di gedung perwakilan rakyat.
Konflik yang dipicu perbedaan identitas jelas-jelas tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa. Sebaliknya, bangsa Indonesia perlu mencari lebih banyak lagi titik temu agar terjalin rasa persatuan dan nasionalisme yang pernah terbangun di masa lalu. Saat ini semangat nasionalisme bukan lagi mengusir penjajah, tetapi mengentaskan berbagai persoalan bangsa, kemiskinan, kebodohan dan korupsi.
Semangat toleransi harus didukung oleh sikap politik yang kuat serta kepemimpinan yang beritegritas para pemimpin negara yang mengutamakan kepentingan umum yang mampu menjadi contoh bagi masyarakat. Jika terjadi perbedaan pemikiran dan kepentingan, seorang pemimpin harus menjadi pembuat solusi, bukan malah memperkeruh suasana. Membangun kepercayaan antar sesama, memang, bukanlah hal mudah, tetapi, bukanlah hal mustahil. Kuncinya, para pemimpin harus bisa menjadi teladan kepada masyarakat.
Membangun semangat toleransi dan menghargai perbedaan harus dimulai dari diri sendiri sejak dini di dunia pendidikan. Kita harus berkomitmen menjalin kembali semangat pluralisme. Kita harus merangkai kembali kehidupan sosial yang terpecah dengan semangat kebhinnekaan. Oleh sebab itu, negara harus bertanggungjawab bukan saja untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera tetapi juga membangun manusia-manusia yang menghargai perdedaan dan kemajemukan.

                                                                                           ————————— *** —————————-

Rate this article!
Tags: