Merawat Kebhinekaan Tanpa Memandang SARA

Para pemuka agama foto bersama usai menjadi pembicara seminar kebangsaan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Kamis (26/10) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi]

Seminar Kebangsaan Peringati Sumpah Pemuda
Surabaya, Bhirawa
Ikrar Cinta Indonesia menggema di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Kamis (26/10) kemarin. Mereka serentak meneriakkan ikrar tersebut dalam seminar kebangsaan memperingati Sumpah Pemuda bertema ‘Sumpah (Mati), Aku Cinta Indonesia’. Dengan dihadiri para pemuka agama telah disepakati bahwa peran tokoh agama sangat kuat untuk menjaga kerukunan antar-umat beragama.
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Masdar Farid Mas’udi dalam seminar mengatakan bahwa Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan begitu lama, saat ini sangat relevan. Dengan penuh keyakinan dan optimisme bagi bangsa Indonesia adalah suatu warisan komitmen kebangsaan. “Mudah-mudahan itu akan menjadi spirit bagi kita semua,” katanya.
Dia mengemukakan peran pemuka agama untuk menyemangati kembali sumpah pemuda dinilai sangat penting. Sebab, salah satu diantara faktor bisa menimbulkan friksi dan persoalan agama. “Jadi, tokoh agama itu juga harus berbasis pada sumpah pemuda. Lebih mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang bersifat inklusif,” terangnya.
Masdar pun meminta meski ada perbedaan biarlah menjadi urusan rumah tangga masing-masing. Dimana, lanjut dia, semua harus mengedepankan nilai-nilai universal yang inklusif. “Memang kita cemas dengan kondisi saat ini. Persoalan etnik, agama, suku yang saat ini semakin digoreng, semakin mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, lanjut Masdar, merawat kebinekaan dan persatuan ini tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama dan antargolongan. “Karena Negeri ini yang paling Bineka dari segala aspeknya,” tuturnya.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pendeta Albertus Patty. Menurutnya, Sumpah Pemuda tentu masih relevan. “Karena kalau tidak relevan bangsa Indonesia bisa hancur duluan,” ungkapnya.
Disamping itu, Albertus mengutarakan bahwa isu-isu disintegrasi bangsa yang terjadi belakangan ini adalah blessing in disguise. Hal itu justru diuji komitmen kebangsaan yang semakin terlihat. “Termasuk dalam acara ini, bahwa orang Indonesia bukan berpikir identitas etnik atau agama. Tapi sudah berpikir sebagai bangsa Indonesia,” paparnya.

Jadikan Momentum Mempererat Kebersamaan
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Ignatius Soeharyo mengaku bersyukur para pemuka agama dan komunitas agama hadir dan sama-sama mengikrarkan Cinta Indonesia. Baginya, gejala seperti ini sudah mewabah di seluruh Indonesia.
“Saya sebagai warga Negara Indonesia bersyukur karena meski dari satu pihak tantangan semakin besar. Namun reaksi dari bangsa sudah semakin jelas,” katanya.
Ia mencontohkan, pada hari Kemerdekaan RI ke-72 pada Agustus lalu telah dirayakan begitu meriah. Sebab, tanpa disadari kalau tidak dibuat sungguh-sungguh warga bisa lupa bersyukur. “Perlu kita sadari kalau tidak dibuat sunguh-sungguh, dalam arti masuk kedalam sanubari, orang bisa lupa bersyukur,” jelasnya.
Menurut Soeharyo, segala tantangan apapun akan bisa diatasi bangsa Indonesia. Tantangan terbesar, kata dia, bukan hanya intoleransi, agama atau SARA. Tapi juga narkoba dan korupsi juga dinilai sangat besar pengaruh jahatnya. “Jadi semua tantangan-tantangan ini semoga menjadi kesempatan untuk mempererat kebersamaan di dalam kehidupan berbangsa ini,” terangnya. [geh]

Tags: