Merawat Keragaman, Hapus Dominasi Mayoritas – Minoritas

Percampuran suku dan agama di UKWM Surabaya menjadi simbol kebhinekaan di Indonesia yang terawat dengan baik.

Miniatur Kebhinekaan Ada di Kampus UKWM Surabaya
Surabaya, Bhirawa
Jam dinding menunjukkan pukul 14.33 WIB. Adzan panggilan salat Asar terdengar sayup-sayup dari lorong lantai empat Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya. Beberapa mahasiswa pun mulai berdatangan satu-satu untuk menunaikan salat di ruang mungil yang dijadikan musala di kampus itu.
Pemandangan ini agaknya tidak biasa. Karena kampus yang terletak di Jalan Raya Dinoyo, Surabaya itu berdiri di atas pondasi ajaran Katolik yang ortodoks. Namun, para mahasiswa muslim di sana terlihat nyaman- nyaman saja untuk tetap melaksanakan kewajiban agamanya. Bahkan beberapa di antaranya tak sungkan menggunakan busana muslim yang rapat dengan hijabnya.
Di kampus itu, kuantitas mahasiswa muslim cenderung minoritas. Pun demikian dengan perbandingan etnis yang lebih didominasi oleh Tionghoa. Namun, perbedaan itu bukan permasalahan serius dalam menjaga iklim akademik tetap kondusif. Perbedaan warna kulit, suku, agama dan keyakinan tidak lantas memicu sentiment negatif antar kelompok masyarakat kampus. Di sinilah, miniatur Bhineka Tunggal Ika itu tampak terang.
“Awalnya memang canggung. Bahkan sebelum tahu ada musola di sini (UKWM), saya sempat keliling cari tempat salat di luar kampus,” kata Shinta Kusuma Rahayu ditemui usai melaksanakan salat ashar di kampusnya.
Mahasiswi fakultas akademi sekretaris semester V itu mengatakan, belajar di lingkungan Katolik adalah pengalaman baru baginya. Perasaan canggung di awal sempat muncul karena lingkungan yang serba beda dari saat dia sekolah. Apalagi di kelas, dia satu-satunya muslim yang berhijab dari tidak mahasiswa muslim lain di kelasnya.
“Dorongan kuat murni untuk pendidikan. Dan saya beruntung, lingkungan kampus sangat mendukung. Termasuk untuk bersosialisasi antar teman,” tutur dia. Bahkan ketika Indonesia dilanda konflik dengan isu keagamaan seperti kasus Ahok lalu, sentimen terhadap muslim juga tidak dia rasakan sama sekali.
“Sempat ditanya-tanya sih tentang bagaimana Islam terhadap pemimpin non muslim. Tapi itu sebatas diskusi ringan di kelas. Saya justru senang bisa sering berbagi pengetahuan tentang agama masing-masing dengan teman-teman,” tutur Shinta.
Menjadi bagian kecil dari suatu kelompok masyarakat memang harus pandai menyesuaikan diri. Khususnya ketika akan menunaikan ibadah. Sebab, kampus tidak memberikan waktu khusus untuk salat bagi muslim. Pihak kampus hanya memberikan fasilitas berupa musala bagi mahasiswa atau dosen muslim untuk beribadah sesuai keyakinannya.
“Salat duhur misalnya, kita harus pandai mengatur waktu. Karena hanya ada jedah waktu sekitar 30 menit untuk istirahat sebelum mengikuti kuliah berikutnya,” tutur Shinta. Waktu 30 menit itu seharusnya bisa digunakan untuk makan siang di kantin. Namun jeda waktu jelas tidak memungkinkan untuk salat. “Jadi jeda waktu itu kita pakai untuk salat. Makannya saya biasa bawa bekal sendiri jadi tidak harus antri di kantin,” kata dia.
Selain Shinta, Rafi Gozali adalah mahasiswa mulim yang berkuliah di Fakultas Bisnis UKWM Surabaya. Rasa canggung seperti juga sempat muncul dalam dirinya. Terlebih dia baru duduk di bangku semester satu. “Kalau SMA dulu kan di sekolah mayoritas muslim. Sekarang di kelas ada salibnya. Jadi canggung juga sih,” tutur alumnus SMAN 2 Surabaya itu.
Lambat laun rasa canggung itu berubah menjadi nyaman. Sebab, lingkungannya memberikan toleransi begitu tinggi terhadap perbadaan. Bahkan dia sering diingatkan teman-teman tentang larangan sesuai keyakinan Islam. “Misalnya di kantin kan ada yang jualan babi. Saya pasti diingatkan agar tidak membelinya. Mereka tahu saya dilarang makan babi,” ungkap Rafi.

Tags: