Merawat Kereta Pluralisme

Oleh :
Hamidulloh Ibda
Dosen dan Kaprodi PGMI Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung

Nurcholish Madjid merupakan salah satu “Bapak Pluralisme” di Nusantara ini. Ide Cak Nur sangat dibutuhkan untuk merawat kondisi bangsa di tengah gempuran problem bangsa. Sebab, kereta pluralisme yang digagas Cak Nur mengalami stagnasi bahkan lumpuh.
Betapa tidak, Indonesia mengalami gempuran pertarungan ideologi dan politik identitas yang multidimensi. Jika tidak ada “penjaga gawang”, maka NKRI akan kebobolan dan akhirnya bubar. Sebab, bangsa ini sudah tidak punya kereta ideologis yang berjalan sesuai relnya, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NRKI dan UUD 1945.
Belakangan banyak “gerbong” dan kelompok yang terang-terangan ingin mengganti dasar negara ini. Mereka getol mempertentangkan keindonesiaan dan keislamanan yang hakikatnya bisa senada dan seirama. Di zaman yang zulumat (gelap) seperti inilah, pemikiran Cak Nur sangat dibutuhkan Indonesia sebagai penerang dan menjaga rel kebangsaan.
Namun, sangat sedikit orang yang paham betul dan meneruskan cita-cita mulia dan “gerbong ideologis” Cak Nur. Akhirnya, kereta pluralisme terseok-seok karena tidak penumpangnya tidak bisa menjaga rel kebangsaan.
Tokoh pluralisme dan modernisme ini sangat berjasa besar bagi kemajuan Indonesia dari berbagai aspek. Pemikirannya, harus kita ambil pesannya, merealisasikan pemikiran dan spirit keislaman, keindonesiaan, kemoderatan, toleransi dan pluralisme yang digaungkan Cak Nur.
Gagasan Cak Nur tentang Indonesia sangat humanis dan visioner. Kereta ideologis Cak Nur tentang Indonesia melampaui zaman bahkan mampu mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi. Salah satunya adalah keluar dari kepentingan personal, bahwa menjadi Islam tak harus menjadi Indonesia, begitu sebaliknya. Cak Nur berpendapat, menjadi nasionalis dan religius bagai dua keping mata uang.
Cak Nur menjadi salah satu guru bangsa yang bisa menjaga keutuhan Indonesia dalam kebhinekaan. Maka tidak heran, Gus Dur menyebut Cak Nur, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai tiga pendekar dari Unversitas Chicago. Banyak pula pendekar lain yang mampu memberi sumbangsih besar bagi kemajuan Indonesia, seperti pendekar Universitas McGill di Montreal yaitu Mukti Ali, Kafrawi dan lainnya.
Sedangkan dua pendekar Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang tersohor adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mustofa Bisri (Gus Mus). Juga pendekar kawakan dari Makkah seperti KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sampai detik ini, NU dan Muhammadiyah komitmen menjadi NKRI.
Islam Yes, Indonesia Yes!
Salah satu pemikiran Cak Nur yang dibutuhkan saat ini modernisasi. Di mana, umat Islam bisa seutuhnya menjadi Islam dan Indonesia. Sebab, modernisasi gagasan Cak Nur bukan westernisasi seperti pendapat publik. Sejak dulu, Cak Nur menentang faham dan mentalitas luar pagar yang tak bisa melihat dan menjadi Indonesia seutuhnya. Maka hal itu dirumuskan Cak Nur dengan menelurkan gagasan “Islam yes, partai Islam no” pada era 1960-an.
Lewat sekularisme, Cak Nur ingin mengajak umat menyakralkan hal biasa, seperti partai dan lembaga. Cak Nur yakin bahwa hal-hal sepele itu bisa dipisah, maka “negara Islam” bagi Cak Nur bukan hal urgen karena justru akan memperkeruh keadaan bangsa.
Cak Nur menilai gagasan Masyumi yang menginginkan partai Islam dan negara Islam di Indonesia tidak subtansial dan tidak ilahiyah. Pasalnya, partai-partai Islam kala itu menurut Cak Nur hanya sekadar strukturalis, legalistik dan formalistik belaka.
Pembaruan pemikiran Cak Nur sejak dulu mendapat kritik pedas dan pertentangan. Sampai detik ini, tidak sedikit yang menilai Cak Nur sebagai pemikir sekuler, sesat bahkan kafir. Mereka yang kontra menegaskan Cak Nur adalah muslim “sekuler” yang mengampanyekan pemisahan urusan Islam dan dunia.
Pemahaman ini sebenarnya kurang bijak bahkan salah besar. Sebab, Cak Nur melihat Islam dan Indonesia secara utuh. Pemikiran Cak Nur yang sering menggugat kemapanan seperti ini belum bisa dipahami publik secara kaffah. Apalagi, Cak Nur sejak dulu tegas menolak wacana “negara Islam” yang belakangan bermunculan kembali.
Hal itu menurut Cak Nur adalah keengganan umat Islam di Indonesia untuk terbuka kepada kemajuan. Juga tidak mau hidup plural, nasionalis dan memoderniskan pemikiran bahwa adanya “negara Islam” justru tak penting. Sebab, yang urgen saat ini justru “keadilan sosial”, persamaan manusia dan budaya.
Mengapa demikian? Karena ciri dalam Islam yang menonjol adalah keadilan sebagai wujud agama rahmatal lilalamin. Hal ini sangat cocok dengan kondisi Indonesia, sebab, “keadilan sosial” menjadi puncak dari cita-cita Pancasila. Benang merahnya, Pancasila sudah islami dan hal itu sudah dilegitimasi KH. Hasyim Asyari saat dulu diminta saran Bung Karno saat merumuskan Pancasila.
Di tengah heterogenitas, kebhinekaan dan pluralisme yang ada di Indonesia ini, Cak Nur juga menegaskan cita-cita Islam bukanlah mendirikan “negara Islam” ataupun “parpol Islam”. Gagasan sekularisme “Islam yes, partai Islam no” era 1960-an yang dilanggar, membuktikan adanya kekisruhan parpol Islam. Juga gerbong politik dan kondisi negara yang melahirkan pertikaian yang melelahkan.
Cak Nur memberi pemahaman bahwa puncak Islam bukan politik, khilafah, kekuasan, melainkan pada hal-hal substantif dan penyempurnaan akhlak manusia. Hal itu didasari dari tujuan diutusnya Nabi Muhammad kepada umatnya sebagai “penyempurna akhlak”. Maka gagasan itu adalah menjadikan Indonesia negara adil, makmur yang diridai dan dicintai Tuhan.
Pembaruan pemikiran Cak Nur kala itu juga mendapat penolakan keras dari guru dan seniornya di Masyumi. Sebab, sejak dulu Masyumi bercita-cita ingin membuat partai dan negara Islam di Indonesia. Rachman (2008) menjelaskan ada dua inti dari pemikiran Cak Nur tentang Islam dan Indonesia. Pertama, Cak Nur mendukung Islam yang Indonesia. Kedua, Islam yang modern, terbuka, plural untuk mendukung perkembangan Indonesia yang lebih modern.
Islam di Indonesia kini terbelah dua, yaitu kubu radikal dalam Islam dan kubu yang khawatir dengan keberadaan Islam sehingga memunculkan sekularisme. Dua kubu itu muncul karena “gagal paham” dan keluar dari rel pluralisme. Padahal, Islam itu agama yang rahmat, toleran, terbuka, mengutamakan keadilan dan menebar kasih sayang.
Jika kita saat ini meneruskan pemikiran dan cita-cita Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafi’i, KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, dipastikan Islam dan Indonesia akan tetap terjaga. Mereka adalah pembuat kereta toleransi, pluralisme dan humanisme yang tidak keluar dari rel kebangsaan.
Cak Nur juga meletakkan nasionalisme sebagai substansi berislam dan berislam. Sebab, beragama bukan masalah bungkus dan nomenklatur, melainkan pada subtansi dan outputnya, maka prinsipnya adalah Islam yes, Indonesia yes! Dengan demikian, Indonesia akan tetap berjalan dalam rel kebangsaan.
Meneruskan
Gagasan Cak Nur dalam kehidupan bernegara, selalu mengedepankan spirit moderat, toleransi, berpikir maju, terbuka, plural dan mengedepankan Pancasila. Cak Nur berpendapat jika Islam dijadikan sebuah negara, maka tidak bisa survive, justru dengan Pancasila itu Islam bisa bebas, moderat dan berkembang.
Cita-cita Cak Nur ini harus menjadi modal bernegara. Cak Nur menjadi salah satu pemikir Islam yang menyeru untuk mengutamakan nilai, substansi dan semangatnya. Bukan pada tampilan religius yang formal di wilayah publik.
Meski gagal menjadi presiden Indonesia, namun Cak Nur pernah membuat blueprint atau 10 platform mengubah Indonesia yang dinamakan “Membangun Kembali Indonesia”. Cak Nur dalam platform itu memiliki cita-cita yang belum selesai.
Di antaranya mewujudkan good governance dan membangun pranata kehidupan bernegara. Juga penataan kembali pengelolaan negara, penegakan hukum, reformasi ekonomi, posisi TNI-Polri, kehidupan masyarakat sipil, pendidikan, keadilan sosial, dan perdamaian dunia.
Meski banyak “anak ideologis” Cak Nur bertebaran, namun hanya sedikit yang paham cita-cita dan komitmen merawat “kereta ideologis” Cak Nur. Omi Komariah (2014) menyatakan hanya ada tiga anak ideologis Cak Nur, yaitu Budhy Munawar Rachman, Wahyuni Nafis dan Yudi Latief. Lalu, di tengah kepungan problem bangsa, siapkah kita merawat dan meneruskan “kereta ideologis” Cak Nur.

——— *** ———-

 

 

 

 

Rate this article!
Merawat Kereta Pluralisme,5 / 5 ( 2votes )
Tags: