Merdeka atau Mati

Oleh:
Reni Asih Widiyastuti

Dua pria berkulit legam tergesa-gesa menuju rumah Harun, ketua RT Kampung Kakap. Dengan napas tersengal dan raut wajah macam seusai melihat hantu, mempercepat langkah kaki. Beberapa orang di sekitar seketika diliputi rasa penasaran. Ada apa gerangan yang menyebabkan mereka seperti itu? Tidak selayak biasanya. Seolah sesuatu tengah atau baru saja terjadi. Sesuatu yang barangkali sangat meresahkan. Entahlah. Kini tangan mereka terkepal, siap menggedor-gedor pintu rumah Harun.
Dok! Dok! Dok!
“Harun, Harun!”
Hening. Tak ada sahutan suara dari dalam. Berulang kali kedua pria berkulit legam itu saling tatap. Kemudian, satunya mondar mandir, satunya lagi tetap menunggu dengan harap yang sepertinya tak pernah habis.
“Ck, coba kaulihat ke dalam, Bud! Masak rumah sepi, sih? Atau Harun sengaja menghindar?”
Pria yang dipanggil Bud segera menerawang di depan kaca jendela, berusaha mati-matian menyesuaikan penglihatan, menembus kegelapan di dalam rumah. Sepertinya memang tak ada siapa pun. Bud menggeleng lemah ke arah pria legam yang menyuruhnya tadi.
“Sepi, Ton! Tidak ada orang di dalam rumah!”
“Payah! Awas saja kalau ketemu di jalan, akan kuseret dan serahkan kepada bos!”
Keduanya akhirnya memutuskan untuk melenggang pergi dari rumah Harun. Sementara itu, tak berselang lama, Harun muncul dari arah dapur. Segera ia ke ruang tamu, melihat dua pria itu telah luput dari pandangan, embusan napasnya terasa begitu lega. Sedangkan istrinya menatap dengan curiga luar biasa. Seolah menyiratkan pertanyaan, “Ada apa?”
Harun lantas mendaratkan pantat di atas sofa ruang tamu. Kegelisahan tampak menyelubungi wajahnya. Sang istri turut menjejeri, bibirnya hendak mengucap. Namun, buru-buru dipotong oleh suara Harun yang betul-betul mengagetkan.
“Kamu pasti mau bertanya ini itu kan, Sus? Lagi pula aku tidak kenal dengan dua orang tadi!”
“Tapi kenapa Mas kelihatannya gelisah sekali? Hati-hati loh, Mas. Atau jangan-jangan … Mas utang?”
“Sssttt … jangan aneh-aneh kamu, buat apa aku utang?”
“Ta ….”
“Sudah, aku mau jemput sekolah Bayu dulu!”
Harun meninggalkan Susi, istrinya yang masih terlongo karena heran dengan sikap suaminya. Seolah ia masih kurang puas dengan jawaban yang diberikan Harun kepadanya. Dalam hati ia bertekad, hendak menyelidiki lebih lanjut. Tidak mungkin dua orang pria tadi tidak dikenali oleh Harun. Pasti ada sesuatu, pikirnya. Ia melihat Harun menghampiri motor yang sengaja diparkir di warung seberang. Entah apa guna. Barangkali supaya dua pria tadi mengiranya sedang tidak ada di rumah.

***

Sebuah kotak teronggok di sebelah pintu gudang. Mata Bayu menangkapnya teriring rasa penasaran yang membuncah. Takut-takut langkah kaki perlahan menuju ke kotak itu. Sesekali kepala menengok ke belakang, barangkali ayah atau ibunya lewat dan melihat. Setelah keadaan benar-benar aman, tangannya sigap meraih mulut kotak. Entah kenapa degup jantung mendadak tak karuan kala isi di dalam kotak terpampang jelas. Mungkin dalam benaknya tebersit sebuah tanya, “Apa ini?”, tetapi tiba-tiba dengung pertanyaan itu terputus oleh sentakan.
“Jangan sentuh kotak itu!”
Bayu menoleh tegas, kakinya mundur beberapa langkah manakala mengetahui Harun menghampiri dengan gusar. Seperti ada api menyala hebat di kedua matanya. Perciknya bisa melukai siapa pun yang berada di dekatnya.
“A-Ayah? I-ini pistol siapa?” tanya Bayu sambil masih melirik ke dalam kotak yang sedikit terbuka. Ia sempat menangkap tulisan “500 S&W Magnum” di salah satu bagian larasnya.
“Bukan urusanmu, Bayu! Cepat masuk ke kamar!”
Bayu masih bergeming menatap mata nanar Harun. Ayahnya tiba-tiba berubah macam singa yang mengamuk. Padahal di dalam hatinya masih bergaung berbagai pertanyaan yang ingin dilontarkan kepada Harun. Namun, ia memilih diam dan perlahan beringsut pergi dari hadapan ayahnya. Saat hendak masuk ke dalam kamar, ia berpapasan dengan Susi. Ibunya bertanya sekilas, ada apa. Hanya ia terus saja lantas membanting pintu kamar dengan sangat keras.
Susi menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah Bayu yang menurutnya tiba-tiba berubah menjadi sangat aneh. Sementara, Harun mulai sibuk memindahkan kotak berisi pistol ke tempat yang lebih tersembunyi. Entah suatu keberuntungan belaka bagi Harun atau memang Susi enggan menuju gudang, ia justru berbalik badan dan keluar rumah. Barangkali membeli bumbu dapur di warung seberang.
Di dalam kamar, dengan cekatan Bayu menyalakan laptopnya. Segera menyambungkan dengan jaringan internet. Ia mulai berselancar di mesin pencarian google Ia mengetikkan kata kunci: “500 S&W Magnum. Rasa penasaran begitu menguasai hati. Kenapa ayahnya menaruh pistol di dalam kotak. Untuk apa? Apakah ayah mencuri? Ah, berbagai pertanyaan kembali mencuat. Sementara, dari google mulai terbuka. Dari keterangan menjelaskan bahwa pistol jenis tersebut sering digunakan oleh pemburu di Amerika Serikat. Dengan laras sepanjang 10.2 dan 21.3 cm bahkan mampu menembus serta meledakkan objeknya.
Sampai larut malam, pikiran Bayu terus melayang-layang. Namun, ia tidak berani menemui Harun. Bahkan ketika makan malam tadi tidak bergabung di meja makan. Ia memilih makan di dalam kamar. Perubahan Bayu yang seharian tiba-tiba berubah aneh itu akhirnya meruntuhkan dinding rasa penasaran dalam benak Susi. Maka ia putuskan mencoba mengajak Harun berbicara empat mata. Kebetulan Harun tengah bersantai di ruang tamu.
“Aku merasa ada yang aneh dengan Bayu, Mas. Kok sedari tadi dia ada di kamar terus? Makan juga tidak bareng sama kita.”
“Ah, itu cuma perasaanmu saja, Sus.”
Harun beranjak dari meja makan. Susi memerhatikannya, tetapi tak berusaha menghalangi. Ia justru sengaja lantaran ingin menyelidiki suaminya itu. Maka, setelah selesai makan malam dan membereskan sisa-sisa makanan, ia segera mengendap-endap untuk menyusul Harun. Apakah tidur lebih awal, atau akan ke mana, melakukan sesuatu misalnya. Beruntunglah Harun tak menaruh curiga kepadanya. Ia melihat Harun membuka pintu belakang yang bisa tembus di kebun. Dengan mendempetkan tubuh ke tembok, ia mulai mengintip Harun. Dalam kegelapan malam, Harun membuka kotak yang sempat dilihat Bayu.
“Pistol ini yang dulu pernah melukai kaki sebelah kananku. Tunggu saja pembalasanku!”
Susi menelan ludah dengan susah payah demi mendengar perkataan Harun yang menurutnya sangat mengerikan itu. Sampai-sampai ia menutup mulutnya supaya tak terdengar oleh Harun. Pelan-pelan ia berbalik badan dan hendak menemui Bayu di dalam kamarnya. Entahlah, tiba-tiba ketakutan menjalari hatinya tanpa ampun. Ia seperti baru kali itu melihat Harun bukanlah Harun biasanya.

***

Pagi-pagi benar, Harun sudah tidak ada di dalam kamar. Namun, Susi sadar betul dan tahu saat suaminya itu berjingkat meninggalkannya. Hanya saja ia berpura-pura tetap tidur supaya penyelidikannya kali ini berhasil. Bahkan, sebelumnya ia sudah mengatur strategi bersama Bayu. Mengatakan agar Bayu menyetel alarm bekernya sekira pukul satu dini hari. Sebab Harun terbiasa bangun di jam tersebut. Bayu pun mengangguk sepakat dan menuruti idenya. Maka sekarang, setelah Harun menghilang dari pandangan, ia bergegas ke kamar Bayu.
Bayu sudah siap dan keluar kamar bersama Susi. Ketika melewati ruang tamu yang gulita, Susi berulang kali memastikan kalau keadaan benar-benar aman. Ia yakin betul bahwa Harun pastilah sudah keluar rumah sembari membawa pistol itu. Namun, mendadak lampu menyala. Bayu dan Susi seketika terkesiap!
“Kalian mencariku?” Harun bertanya di balik punggung keduanya.
“Ma-Mas Harun?”
“Aku sudah tahu kalau kalian diam-diam menyelidikiku! Jangan campuri urusanku! Biarkan aku membalaskan dendamku!”
“Jangan, Mas! Kamu bisa dipenjara!”
Bayu mulai bersembunyi di balik punggung Susi. Susi meremas tangannya kuat-kuat. Dini hari itu benar-benar dipenuhi dengan aroma ketakutan luar biasa. Namun, Harun sungguh tak menyadari kalau Susi sudah menelepon polisi. Tak lama, terdengar derap langkah menyerbu rumahnya. Susi buru-buru membuka pintu, meski gemetar seluruh tangannya. Seorang polisi yang di dadanya bernama “Angga” kini ada di depannya.
“Ternyata memang benar kamu yang mencuri pistolku. Sekarang kamu tinggal pilih, mau merdeka atau mati!”

Semarang, Agustus 2022

————- *** ————-

Reni Asih Widiyastuti
Kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media, seperti: Kompas Klasika, Suara Merdeka, Republika, Padang Ekspres, Solopos, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi, Kabar Madura, Harian Singgalang, Harian Analisa Medan, Medan Pos, Sinar Indonesia Baru, Waspada Medan, Bali Post, Radar Mojokerto, Radar Cirebon, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Madiun, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Pontianak Post, Pikiran Rakyat, Majalah UTUSAN, Majalah JAYA BAYA, Majalah Bobo, Magrib.id, ceritanet.com, Maarif NU Jateng, Harakatuna.com, Barisan.co, Duniasantri.co, modepesawat.wordpress.com. Buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019) dan Pijar (LovRinz Publishing, Maret 2022).

Rate this article!
Merdeka atau Mati,5 / 5 ( 1votes )
Tags: