Merdeka Belajar, Merdeka Bersyarat

Oleh:
Agus Santoso
Kepala Kearsipan dan Dokumentasi Multimedia ITS

Kemerdekaan butuh perjuangan, begitupun dengan kemerdekaan dalam pendidikan. Masih banyak hal yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan apa yang tersirat dalam pasal 31 UUD 1945 (1) bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sebuah harapan besar untuk mewujudkan pendidikan bangsa yang berkualitas, utuh, dan merata tanpa kecuali. Kiranya, peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 yang berlangsung di tengah-tengah pandemi Covid-19 ini tak perlu ingar-bingar dengan segala bentuk perayaan dan hiburan, melainkan diarahkan pada semangat memaknai dan mewujudkan kemerdekaan pendidikan yang lebih baik bagi generasi penerus bangsa.

Faktanya, sistem pendidikan di Indonesia telah beberapa kali berganti. Upaya perbaikan sistem pendidikan di Indonesia seolah-olah menjadi hal yang wajar di setiap ada perubahan kabinet Kementerian. Menteri terpilih berupaya mencetuskan ide terbaru yang dinilai mampu memperbaiki berbagai permasalahan dunia pendidikan kita. Alangkah baiknya jika setiap kebijakan pendidikan yang diambil berkiblat pada potret nyata kondisi pendidikan dari Sabang sampai Merauke. Menjadi hal yang ironis, jika cita-cita luhur dari suatu kebijakan pendidikan justru berdampak pada ketidakstabilan kondisi pendidikan Negeri.

Gebrakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim dalam “Merdeka Belajar”, membawa atmosfer baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Di tengah-tengah pro dan kontra dari berbagai kalangan, Nadiem tetap yakin bahwa kebijakan pendidikan ini akan membawa perubahan yang lebih baik bagi dunia pendidikan kita (edukasi.kompas.com). Implementasinya di tahun 2020 ini, adanya kebijakan penggantian USBN dengan sistem penilaian (asesmen) yang diserahkan kepada sekolah masing-masing. Kebijakan ini dinilai mampu memberikan ruang “kemerdekaan” kepada sekolah dan guru untuk menentukan indikator terbaik dalam menilai capaian siswa dalam belajar. Nadiem juga menjelaskan bahwa di tahun 2021 nanti, Ujian Nasional (UN) akan diganti dengan konsep baru yang lebih pada penilaian kompetensi penalaran. Hal ini tentu saja menjadikan para praktisi pendidikan mulai berbenah, bahkan membanting setir untuk bisa sinergi dengan arah kebijakan pendidikan ini.

Masa Pandemi Covid-19

Faktanya, Kebijakan “Merdeka Belajar” yang digaungkan oleh mantan CEO transportasi online ini, langsung diuji kelayakannya di masa pandemi covid-19 ini. Ibaratnya, saat ini pemerintah daerah, sekolah, guru, siswa, dan orang tua siswa diberikan kemerdekaan untuk menyelenggarakan proses pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.

Tepatnya, sejak pertengahan Maret lalu, para siswa secara spontan mengganti cara belajarnya. Proses belajar yang selama ini harus dilakukan secara sistemik dan pertemuan fisik, kini beralih pada pendekatan “Merdeka Belajar”, yaitu belajar bisa dilakukan di mana saja termasuk di rumah. Tentu saja hal ini tetap dalam proses pengawasan guru dan orang tua masing-masing.

Pembelajaran jarak jauh secara online menjadi hal lumrah yang dilakukan siswa di masa pandemi Covid-19 ini. Padahal sebelumnya, pembelajaran online yang lebih dikenal sebagai “Pembelajaran Jarak Jauh” telah disuarakan sebagai salah satu solusi dalam menghadapi tantangan infrastruktur pendidikan yang tidak merata.

Ironisnya, justru di masa pandemi ini semakin terpotret jelas berbagai permasalahan pendidikan yang sesungguhnya. Sebut saja keterbatasan infrastruktur seperti jaringan internet dan listrik yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran online di beberapa daerah. Belum lagi banyaknya keluhan orang tua yang harus mendampingi anaknya selama pembelajaran online, sampai pada keluhan terkait harga paket internet yang menguras kantong rumah tangga.

Permasalahan seputar infrastruktur pendidikan, kompetensi SDM (guru), kesiapan orang tua, dan kondisi digital literacy siswa merupakan berbagai hal yang sebaiknya menjadi perhatian Pemerintah dalam penerapan kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar”. Anggap saja bahwa Pandemi Covid-19 ini adalah laboratorium yang mampu menguji dan menganalisa kesiapan “Merdeka Belajar”. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai “Merdeka Belajar”, dan syarat-syarat inilah yang harus dipikirkan dan dituntaskan bersama.

Syarat Mewujudkan Merdeka Belajar

“Merdeka Belajar” bukan hal yang bisa dinikmati secara instan. Ada persyaratan dan proses yang harus ditempuh untuk menuju kesana. Masyarakat tak bisa serta merta hanya mengandalkan peran pemerintah, tetapi harus berjuang dan bersinergi bersama. Jika Pahlawan terdahulu berjuang dengan bambu runcing untuk meraih kemerdekaan, maka saat ini kita harus berjuang dengan “syarat” untuk meraih “Merdeka Belajar”.

Syarat pertama adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Guru, dosen, dan para praktisi pendidikan harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan kualitas diri. Ironisnya, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Dudung mengungkapkan bahwa di tahun 2019, guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan nilai minimal 80 tak lebih dari 30 persen (sumber: www.pikiran-rakyat.com). Hal ini sungguh memprihatinkan, mengingat peran guru sangat strategis dalam peningkatan kualitas pembelajaran siswa, diluar apakah indikator UKG tersebut sudah tepat atau belum dalam mengukur kompetensi guru. Faktanya, di masa pandemi ini, masih ada beberapa guru yang merasa kesulitan dalam mengoperasikan perangkat pembelajaran online.

Syarat ke-dua adalah kesiapan keluarga dalam mendukung “Merdeka Belajar”. Sejalan dengan ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem dalam diskusinya dengan Najwa Shihab (2/5/2020) mengungkapkan bahwa tanpa adanya peran orang tua maka pendidikan itu tidak akan selesai. Kesiapan orang tua untuk menjadi bagian dari proses pendidikan intelektual dan karakter anak adalah hal yang sangat penting dalam konsep “Merdeka Belajar”. Faktanya, saat ini masih ada orang tua yang mengeluh dengan perubahan cara belajar selama pandemi Covid-19. Kondisi ini memerlukan sebuah komunikasi yang intensif antara guru, orang tua, dan siswa, supaya proses pembelajaran tetap terarah dan visioner sesuai konsep “Merdeka Belajar”.

Syarat ke-tiga adalah kesiapan infrastruktur pendidikan. Teknologi memegang peran penting dalam konsep “Merdeka Belajar”. Teknologi membuka kesempatan untuk menggali perkembangan ilmu pengetahuan secara mudah dan cepat. Sayangnya, tak semua daerah di Indonesia sudah memiliki kesiapan infrastruktur teknologi yang memadai. Kondisi ini adalah realita yang menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan “Merdeka Belajar” yang merata di seluruh wilayah Indonesia, tanpa terkecuali.

Syarat ke-empat adalah kurikulum pendidikan yang merupakan basis pedoman dalam pelaksanaan “Merdeka Belajar”. Konsep “Merdeka Belajar” harus jelas dan tertuang dalam kurikulum pendidikan. Kurikulum harus bisa memotret kondisi pendidikan secara jelas dan tepat, serta memberikan solusi terbaik bagi pencapaian sasaran pendidikan yang logis. Keterlibatan para pemangku kebijakan, akademisi, praktisi pendidikan, dan pelaku dunia kerja dalam penyusunan kurikulum sangatlah penting untuk mencapai kebijakan “Merdeka Belajar” yang optimal, sehingga menghasilkan generasi emas yang mampu menjawab tantangan dan perubahan jaman.

————- *** —————

Rate this article!
Tags: