Merdeka Bukan Liberalisme

foto ilustrasi

Seluruh rakyat Indonesia berbahagia pada hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Walau (sebagian) kebahagiaan tersimpan sebagai pengharapan. Beban biaya hidup masih dirasakan masyarakat. Sedangkan kalangan negarawan merasakan beban mental “ke-Indonesia-an” masih harus diperjuangkan gigih. Cita-cita proklamasi belum terwujud benar. Tetapi telah terlihat menuju arah yang benar. Hanya dibutuhkan pelaksanaan Pancasila oleh penyelenggara pemerintahan.
Peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia, dilakukan untuk tahun ke-72. Seluruh kampung mempersiapkan perayaan (kegembiraan) dengan menghiasi lingkungan. Juga diselenggarakan lomba berbagai permainan tradisional. Namun sesungguhnya masih banyak cita-cita kemerdekaan (17 Agustus 1945) belum bisa dilaksanakan. Masih banyak masyarakat belum tersentuh hasil kemerdekaan. Tetapi sebagian masyarakat malah kelewat merdeka, menjadi “merdeka sekali.” Liberal me-liar.
Sebenarnya, usia 72 deklarasi kemerdekaan masih tergolong muda. Amerika Serikat (AS), butuh waktu selama 150 tahun setelah deklarasi independen untuk mencapai cita-cita. Tetapi model kemerdekaan AS dengan Indonesia berbeda. Amerika tersusun dari berbagai bangsa-bangsa, berbagai suku-suku dari berbagai benua. Bangsa-bangsa Eropa, Afrika dan warga pribumi, bersatu dalam “persaingan” tidak seimbang.
Sampai kinipun, Amerika masih “bermasalah” dengan kebangsaannya. Warga kulit hitam (keturunan Afrika) merasa di-bedakan dengan warga kulit putih.  Begitu pula warga pribumi asli penghuni asal benua Amerika (rumpun Indian), sering demo menyampaikan ketidakpuasan. Sedangkan kebangsaan Indonesia bersifat tunggal serumpun, walau terdiri dari berbagai suku. Sejak lama, Indonesia telah menjadi negara bangsa. Seperti negara bangsa tetangga, Malaysia, Filipina, Thailand dan Brunei.
Para pendiri negara menyadari benar tidak mudahnya membentuk negara majemuk, dengan beragam adat dan bahasa. Serta teritorial sangat luas yang dipisahkan perairan laut. Hal itu tergambar dalam dinamika untuk menentukan hari pembacaan proklamai kemerdekaan.  Sampai Ir. Soekarno, harus “dijemput” dari Rengasdengklok. Dinamika yang sama juga tercermin dari perbedaan pemikiran untuk membuat UUD, serta menetapkan dasar negara (Pancasila).
Dibutuhkan semangat  ke-negarawan-an untuk menjembatani perbedaan, demi  melahirkan negara Indonesia. Dalam penjelesan UUD 1945, dituliskan: “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara, ialah semangat. …Meskipun dibikin UUD … bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, (maka) UUD tadi tidak artinya.”
Itulah yang wajib terus diwarisi oleh penyelenggara negara, generasi penerus penyelenggara pemerintahan, sampai kini. Indonesia, adalah keluarga besar berbagai suku yang tergabung dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ke-bhineka-an (ragam warna kulit, adat dan bahasa) menjadi keniscayaan. Pemikiran ke-NKRI-an, tidak boleh goyah, di seluruh daerah. Walau setiap daerah memiliki “bahasa ibu.”
Negara bangsa Indonesia hanya memerlukan Pancasila. Filosofi kenegaraan yang telah disepakati oleh tokoh-tokoh suku bangsa serumpun dari berbagai kawasan: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Begitu pula tokoh dari Sunda kecil (Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) telah bergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Kemerdekaan Indonesia, memang dipersiapkan oleh “panitia” tokoh-tokoh pribumi dari berbagai suku. Bukan oleh penjajah. Tujuannya untuk seluruh warga negara, tanpa membedaan suku, bahasa dan agama. Dengan prinsip egalitarian, persamaan hak setiap rakyat yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Maka Pancasila, wajib dilaksanakan oleh seluruh penyelenggara negara, dan seluruh rakyat Indonesia.
Namun harus diakui, penyelenggara negara belum sepenuhnya dapat memenuhi amanat Pancasila. Adil dan makmur, masih harus terus diperjuangkan, karena indeks ginie, jurang antara yang kaya dengan yang miskin masih lebar (0,40). “Bambu runcing” harus tetap dihunus. Termasuk untuk menghadang politik demokrasi liberalisme yang sama kejam dengan terorisme.

                                                                                                                           ———   000   ———

Rate this article!
Merdeka Bukan Liberalisme,5 / 5 ( 1votes )
Tags: