Merdeka dari Asap

Oleh :
Satria Unggul Wicaksana Prakasa
Direktur Eksekutif Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UMSurabaya dan Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UMSurabaya

Indonesia telah memasuki usia 74 tahun, dimana kemerdekaan tersebut diraih dengan jerih payah perjuangan pahlawan melawan penjajahan kolonial. Nyatanya, kompleksitas persoalan kebangsaan hari ini jauh lebih memilukan, salah satu problem yang sampai hari ini belum pernah tuntas betul adalah mengenai kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Karhutla yang terjadi di beberapa titik terluar, seperti di Riau, Sumatera serta di beberapa titik di Kalimantan, menyebabkan kabut asap yang mengganggu jutaan orang di Asia Tenggara, salah satu Negara yang terdampak adalah Malaysia dan Singapura. Bank Dunia memperkirakan Indonesia merugi sekitar 221 triliun rupiah terhadap sektor kehutanan, agrikultur, pariwisata dan industri lainnya. Kabut asap membuat ratusan ribu orang jatuh sakit di seluruh wilayah terdampak. Menurut angka-angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, sekitar 24 juta hektar (ha) hutan hujan negara ini dihancurkan antara tahun 1990 dan 2015 (Greenpeace, 2019: 2).
Kejadian ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena terjadinya deforestasi besar-besaran dengan pengalihfungsian dari hutan hujan tropis menjadi hutan produksi, khususnya hutan kelapa sawit, dan efek yang lebih destruktif khususnya dilakukan oleh korporasi. Polri memang telah menetapkan PT. SSS di Riau yang bergerak dibidang kelapa sawit sebagai Tersangka (Tirto.id, 12/8/2019). Namun, muara persoalan dan apa implikasi kedepan bagi Indonesia yang berdaulat bagaimana dihadapan internasional hal tersebut merupakan persoalan yang tentu tidak dapat dipandang sebelah mata
Asap serta Problematika Regional
Malaysia dan Singapura tentu merasa geram terhadap Indonesia, karena dampak polusi udara lintas batas negara mengakibatkan kualitas udara mereka buruk (FreeMalaysiaToday.com, 6/8/2019), serta kerugian ekonomi dan pariwisata. Padahal, sebagai sesame Negara anggota ASEAN, Indonesia terikat hak dan kewajiban dalam menjalankan Perjanjian Internasional tentang Pencemaran Asap Lintas Batas Negara di ASEAN (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution/AATHP), yang telah diratifikasi dalam UU Nomor 26 Tahun 2014. AATHP sebagai justifikasi dari UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup yang telah Indonesia miliki, khususnya pada Pasal 69 (1) huruf h dengan jelas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Dan ada kewajiban selain menghukum, juga memulihkan secara mutlak yang dibebankan kepada Terdakwa sesua UU tersebut.
Merebaknya asap berbahaya tersebut telah melewati batas Negara, dan jelas hal tersebut merupakan bagian dari pelanggaran internasional (internationally wrongfull act) dan butuh pertanggungjawaban secara internasional juga. Memang, tindakan koperatif untuk normalisasi titik panas (hot spot) kebakaran hutan telah diatur dalam AAATHP, namun hal tersebut secara tersirat menunjukkan ketidak-mampuan (unable) dan keengganan (unwilling) dalam mengatasi dan memulihkan udara Indonesia dari polusi asap secara mandiri manakala masih membutuhkan
Penulis teringat dengan salah satu putusan terkenal dari Max Hubber, Hakim pada Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 1928 yang mensidangkan kasus perebutan Pulau Palmas (saat ini Miangas) antara Indonesia (Hindia-Belanda) dengan Fillipina (AS), yang pada intinya menyatakan jika kita ingin diakui sebagai suatu Negara merdeka dan berdaulat, maka atas wilayah yang menjadi yurisdiksi suatu negara wajib melakukan pembangunan dan upaya melindungi dan memajukan wilayah tersebut.
Terlepas dari hal tersebut, yang menjadi poin penting adalah agar Indonesia tetap dianggap “merdeka” oleh Negara-negara tetangga, maka upaya penindakan hukum penyelidikan hingga penuntutan) hingga mekanisme ganti rugi perlu serta pemulihan dari kebakaran hutan wajib dilakukan agar kita tetap diakui mampu (able) dan mau (willing) dalam menyelesaikan kasus kebakaran hutan. Upaya pemulihan secara total (strict liability) serta menyampaikan permintaan maaf melalui saluran diplomatik merupakan langkah yang gagah nan tegas yang dilakukan Indonesia, sembari terus menindak individu maupun korporasi agar bertanggungjawab secara hukum untuk memulihkan karhutla secara total.
Kerugian Karhutla & Tantangannya
KPK-RI tentu sangat progresif dalam merespon isu Karhutla ini sebagai bagian dari akumulasi kerugian Negara. Kajian KPK melalui Corruption Impact Assessment (CIA), temuan kajian mencatat bahwa dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan tersebut penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture. kawasan hutan sebesar Rp 15,9 trilyun per tahun. Ini karena (hanya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja) ditemukan 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai. (ACCH KPK, 2018).
Mengakumulasi kerugian Negara sebagai akibat dari karhutla tentu bukan tanpa tantangan, satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah pembakar hutan dan terdakwa korupsi menggugat ahli Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan total Rp 3,51 triliun. Dua pakar IPB itu adalah Prof Bambang Hero Saharjo dan Dr Basuki Wasis. Bambang digugat oleh pembakar hutan PT JJP, sedangkan Basuki oleh terdakwa korupsi Nur Alam, yang telah divonis 15 tahun penjara.(Detik.com, 2018). Padahal, antara Basuki Wasis dan Prof. Bambang Hero telah berjasa karena dalam kesaksian ahlinya pada pihak KPK pada kasus Nur Alam, mampu mengakumulasi kerugian Negara akibat tragedi karhutla.
Kasus Basuki Wasis dan Prof. Bambang Hero dan tentunya pejuang lingkungan hidup lainnya adalah preseden buruk serta ancaman serius terhadap upaya melindungi dan menjaga lingkungan hidup. Padahal, dalam Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Lingkungan Hidup menyatakan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Sebagai pemberi izin dan peruntukkan hutan, pemerintah seharusnya mengedepankan pertimbangan ekologis, sosiologis, serta prinsip anti-korupsi secara total, agar tidak terjadi lagi obral perizinan yang kemudian berdampak pada deforestasi dan efeknya pada kebakaran hutan. Memastikan transparansi dan akuntabilitas pada Kementerian terkait, membuat unifikasi peta topografi hutan dan potensi titik panas hutan, serta memperketat pengawasan hutan, dan yang tak kalah penting menerapkan prinsip green investation, sehingga citra Indonesia dihadapan internasional dapat betul-betul terwujud di Indonesia.

———- *** ———–

Rate this article!
Merdeka dari Asap,5 / 5 ( 2votes )
Tags: