Merdeka Itu Ketika Mampu Bebas dari ‘Buta’

Oleh :
Djoko Widijanto
Pendidik dan Penulis Buku “Sketsa Negeri” dan “Pemberontakan Di Atas Kertas”

Terbesit sebuah pertanyaan pada diri pribadi, apakah kita sudah merdeka(?), sembari bertanya apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka(?).  Pertanyaan tersebut menjadi sebuah bahasan umum bagi generasi penerus yang masih peduli terhadap pembangunan bangsa.
Para pejuang yang telah mewujudkan kemerdekaan Indonesia, tentunya berkeinginan untuk sebuah kehidupan yang layak dan kesejahteraan yang merata bagi semua rakyat Indonesia. Pendidikan yang layak tanpa diskriminasi dan kondisi sosial-ekonomi yang mapan, serta perkembangan teknologi untuk kemudahan hidup, merupakan amanat pembanguan yang selalu menjadi harapan bagi semuanya.
Layaknya para pendiri bangsa (founding fathers) yang menyatakan bahwa perjuangan generasi penerus lebih berat, karena melawan sesama bangsa Indonesia, dibandingkan perjuangannya dalam mengusir penjajah. Perjalanan 72 tahun kemerdekaan dengan tema “Indonesia Kerja Bersama”, masih perlu membedah arti dan makna ‘merdeka’ bagi semua generasi penerus yang masih merasa memiliki negeri ini.
Definisi merdeka secara umum berarti bebas dan tidak terjajah lagi, oleh sistem kolonialisme dan imperialisme. Merdeka juga dapat diartikan sebagai kemandirian suatu bangsa dalam suatu teritorial untuk mengelolah sistem pemerintahannya. Ada juga yang mendefinisikan merdeka sebagai awal mula berdirinya sebuah negara, dalam satu kesatuan lembaga dan sistem yang diakui oleh dunia internasional. Pengertian kata merdeka juga beragam dalam aneka macam disiplin ilmu pengetahuan. Perlu kiranya ragam definisi kata merdeka selalu diagendakan menjadi pembahasan setiap tahun, seiring dengan gemerlap perayaan Kemerdekaan Indonesia.
Korupsi yang membudaya dan tersistem, kebodohan akibat kemiskinan struktural, serta perebutan kursi jabatan politik yang tidak sehat dan terbandrol, telah menjadikan bangsa Indonesia semakin terjajah dengan pola baru yakni kebutaan. Buta yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan buta secara fisik atau tidak dapat melihat, akan tetapi lebih pada pemaknaan buta sebagai kata sifat.
Buta yang pertama adalah buta mata hati. Ketika jiwa menjajah masih dijalankan dalam suatu sistem yang sengaja menunggangi kebijakan pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat. Dalam realitanya semua kasus korupsi dan penyakit pemerintahan selalu berujung pada keinginan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya atau takut tidak kebagian jatah material. Sistem politik yang seperti ini menjadikan rakyat tetap terjajah, karena pembangunan yang salah sasaran berdampak pada kemunduran kehidupan sosial-ekonomi rakyat. Oknum penyelenggara pembangunan yang masih ‘buta’ ialah mereka yang mengedepankan tanggung jawab pemenangan pemegang proyek, dari pada tanggung jawab fungsi serta manfaat pembangunan. Dari sini bisa dikatakan bahwa setiap oknum seperti itu masih belum merdeka.
Buta yang kedua ialah buta nafas bangsa. Ketika generasi penerus hidup di era pasca reformasi saat ini, masih ada yang masih berpikir ingin menang sendiri, sebenarnya belum bisa merasakan manfaat mengalah demi kepentingan bangsa. Bukankah sejatinya kekalahan merupakan kemenangan yang tertunda pada jalur profesi kita. Dalam kehidupan berbangsa, sistem demokrasi Indonesia akan mati atau hampa, pabila ada calon pemimpin yang kalah tidak mengakui kemenangan lawannya dari hasil pemungutan suara dalam pemilihan umum.
Buta yang ketiga yakni buta akan perbedaan atau kebhinekaan. Bangsa Indonesia lahir dari berbagai ragam suku, budaya serta agama dan kepercayaan. Indonesia merupakan negara maritim dengan kekayaan ragam pulau-pulau secara hayati dan nabati. Ini merupakan hakikat kekayaan multikultur sejak era kebesaran kerajaan-kerajaan di nusantara. Kontak budaya dalam alur ekonomi dan sosial-politik menjadikan sebuah nafas akulturasi budaya dan persebaran budaya yang beragam. Adanya pola akulturasi dan transformasi budaya menjadi bukti bahwa kekayaan budaya bangsa tidak berasal dari sebuah tekanan, namun lebih mengarah pada sebuah kesadaran masyarakat untuk menerima suatu hal yang dianggap lebih baik, dengan sebuah proses dan keputusan.
Ketika Pancasila telah dipilih dan ditetapkan oleh para pendiri bangsa sebagai ideologi negeri ini, maka setiap generasi bangsa harus bisa menterjemahkan dan mengimplementasikan arti perbedaan (kebhinekaan) tanpa merasa lebih unggul. Apabila masih ada generasi penerus yang ingin merubah Pancasila dengan ideologi yang dianggap lebih baik, bisa dikatakan masih buta akan kebhinekaan dalam satu Indonesia. Egoisme non-Pancasilais merupakan bentuk “katarak nasionalisme” yakni tidak memandang perbedaan sebagai karunia dari Sang Pencipta.
Buta mata hati, buta nafas bangsa dan buta akan perbedaan (kebhinekaan) berhubungan erat dengan pendidikan patriotisme. Pendidikan yang ada di negara maju rata-rata diawali dengan patriotisme yang sejalan dengan sejarah perjuangan bangsa. Bisa dipastikan bahwa penerus bangsa yang memiliki nasionalisme kuat, tidak akan pernah merasa kehabisan kata tulus dalam mengabdi dan berbakti untuk Indonesia yang lebih baik. Semakin fokus tujuan pembangunan untuk kesejahteraan bangsa berlandaskan Pancasila-isme, dapat memerangi virus kebutaan model baru, di era semakin rapuhnya pondasi patriotisme.
Lebih mulia seorang yang terlahir buta secara fisik, dari pada menjadi ‘buta’ karena terjajah oleh egoisme tanpa memahami hakikat kemerdekaan. Seorang Asep Irama (penyanyi dangdut era 90-an) telah membuktikan bahwa keterbatasan lahiriah tidak menutup jalan untuk bisa ‘merdeka’ di atas panggung. Layaknya menjadi malu berkata ‘merdeka’, pabila masih ‘buta’ dalam panggung kerja bersama untuk Indonesia satu.

                                                                                                           ———– *** ————

Tags: