Merdeka Sinyal, Merdeka Tanpa Hoaks

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Indonesia sudah merdeka 74 tahun, tetapi untuk urusan sinyal, Indonesia belumlah merdeka. Buktinya, masyarakat yang berada di luar pulau Jawa belum semuanya menikmati akses sinyal berkecepatan tinggi.
Mereka yang tinggal di Jakarta atau yang sedang berada di Jakarta, bisa dengan mudah menikmati akses internet berkecepatan tinggi. Berbeda dengan masyarakat yang berada di Papua, selain mendapat akses internet yang lebih lambat, namun harus membayarnya lebih mahal. Ini sungguh sesuatu yang tidak fair karena semua rakyat bangsa ini memiliki hak yang sama untuk menikmati akses internet dengan lebih baik. Karena itu, pemerintah terus berupaya agar layanan internet harus bisa terjangkau ke seluruh wilayah negeri ini.
Indonesia ditargetkan akan Merdeka Sinyal pada 2020 tahun depan. Mimpi besar ini tentu akan bisa dicapai secara bertahap. Tahap pertama, Merdeka Sinyal di level kabupaten/kota akan tuntas di tahun 2019 ini. Harapannya, begitu proyek palapa ring selesai, maka 514 kabupaten/kota akan terhubung. Merdeka Sinyal level kabupaten/kota akan diraih. Selanjutnya, jaringan ke daerah-daerah yang belum tercakup di kabupaten/kota akan dilanjutkan secara bertahap. Karena tak semua wilayah dapat dihubungkan dengan Palapa Ring, maka Satelit Indonesia Raya (Satria) diperlukan untuk menghubungkan daerah yang kondisi geografisnya tidak dapat dibangun Base Transceiver Station (BTS).
Salah satu program konektivitas jaringan telekomunikasi dan internet yang akan segera rampung adalah proyek infrastruktur tulang punggung (backbone) Palapa Ring. Proyek tersebut terdiri atas tiga paket yaitu Barat, Tengah, dan Timur. Hingga saat ini dua paket telah selesai dikerjakan dan mulai beroperasi, yakni Palapa Ring Barat dan Tengah. Adapun, proyek Palapa Ring Timur telah mencapai 90% pengerjaan dan diharapkan rampung pada kuartal kedua tahun ini.
Setelah seluruh paket telah selesai dikerjakan akan dilakukan integrasi penuh. Hal tersebut, akan memungkinkan daerah pelosok yang sebelumnya sulit terjangkau mendapatkan layanan telekomunikasi dan akses internet.
Adanya Palapa Ring ini akan membantu operator menekan harga jual layananya kepada masyarakat. Pasalnya, infrastruktur tulang punggung akses jaringan telah dibangun oleh pemerintah sehingga operator tidak perlu membangun dari awal, cukup menyewa yang telah tersedia. Hal tersebut diharapkan juga akan menekan tarif yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga terjadi kesetaraan penerapan tarif akses internet di seluruh wilayah Indonesia.
Peran Pemerintah Daerah
Program pemerintah terkait Indonesia merdeka sinyal pada tahun 2020 sesungguhnya juga menghadapi jalan terjal dalam pelaksanaannya. Mengapa? Tidak lain karena pada dasarnya, operator seluler enggan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah pelosok yang kurang ‘menarik’ dari sisi bisnis.
Hal itu salah satunya yang menjadi penyebab belum meratanya jaringan telekomunikasi di Tanah Air. Persoalan tersebut kemudian diatasi dengan program Universal Service Obligation (USO), yang mengambil 1,25% total pendapatan seluruh operator telekomunikasi setiap tahunnya. Sebagai gambarannya, pendapatan industri telko mencapai Rp 200 triliun, dengan Rp 2,5 triliun di antaranya disalurkan ke Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Sebagai bagian dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), BAKTI memiliki peran dalam membangun prasarana telekomunikasi di area terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Pertanyaannya kemudian adalah, luasnya daerah yang uninvisible secara bisnis, cukupkah dengan 1,25%? Jawabannya hampir pasti tidak akan cukup.
Sinyal ini memiliki sifat yang serupa dengan cahaya. Bedanya, kalau untuk cahaya terasa sinarnya, sedangkan sinyal tak kelihatan tetapi terasa layanan telekomunikasinya. Sebagai gambaran, dengan sebuah ruangan yang tidak bisa semuanya tersinari. Pasti ada bagian yang tertutupi bayangan. Begitu juga mewujudkan merdeka sinyal 100%, karena ada desa-desa yang jauh di timur, yang bentuknya berbukit-bukit. Jadi, merdeka sinyal 100% sulit diwujudkan kalau mengandalkan 1,25% tadi.
Komitmen pemerintah daerah sangat penting dalam program penyediaan BTS. Hal itu paralel dengan pemenuhan Peraturan Presiden nomor 131 tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 dan pengusulan lokasi BTS oleh pemda.
Hasil kajian Kementerian Kominfo mengenai Pembangunan Jaringan Konektivitas dan Akses Telekomunikasi menunjukkan bahwa jumlah desa yang belum terjangkau sinyal adalah sebanyak 7.480 desa. Nantinya, desa-desa tersebut akan dihubungkan secara bertahap melalui teknologi satelit, serat optik, dan microwave serta transisi dan migrasi antarteknologi tersebut dengan mempertimbangkan konektivitas jaringan yang tersedia. Kajian itu juga menunjukkan bahwa potensi ekonomi digital sangat besar, namun belum dapat dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Penetrasi internet menjadi salah satu pondasi terpenting untuk menyertakan penduduk di Wilayah 3T dalam mata rantai nilai perdagangan elektronik (e-commerce).
Melalui affirmative policy, Pemerintah hadir untuk membangun infrastruktur telekomunikasi dalam rangka menunjang ekonomi digital, antara lain dengan menggelar teknologi 4G di di wilayah perbatasan Indonesia. Langkah ini merupakan suatu leapfrog yang berangkat dari keyakinan bahwa perbatasan bukan hanya strategis sebagai garda kedaulatan politik, tetapi juga memiliki fungsi ekonomi. Potensi ekonomi digital sangat besar, namun belum dapat dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di daerah 3T. Penetrasi internet menjadi salah satu pondasi terpenting untuk menyertakan penduduk di Wilayah 3T dalam mata rantai nilai perdagangan elektronik (e-commerce).
Ancaman Membanjirnya Hoaks
Teknologi bak mata uang yang selalu menghadirkan dua sisi, positif dan negatif. Demikian pula dengan mimpi mewujudkan merdeka sinyal di tahun 2020, hampir pasti akan menghadirkan sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, seperti disampaikan di atas adalah bahwa potensi ekonomi digital sangat besar, namun belum dapat dinikmati oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terutama di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Penetrasi internet menjadi salah satu pondasi terpenting untuk menyertakan penduduk di Wilayah 3T dalam mata rantai nilai perdagangan elektronik (e-commerce).
Namun pada sisi lain, merdeka sinyal juga memungkinkan ancaman membanjirnya informasi hoaks, ujaran kebencian dan sebagainya akan melonjak. Imbasnya, gesekan antar-masyarakat di dunia nyata bisa terjadi akibat provokasi kebencian di dunia maya. Kerukunan dapat berubah menjadi konflik karena penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks) bisa jadi akan kian masif ketika semua pelosok negeri sudah terkoneksi internet .
Merdeka sinyal, tentu menjadi harapan kita bersama. Namun demikian, langkah cepat untuk memberikan literasi informasi bagi masyarakat utamanya yang sampai hari ini belum merasakan dahsyatnya pengaruh internet harus diberikan. Kita tentu tidak ingin masyarakat kita yang belum terliterasi secara memadai akan menjadi korban teknologi dan menjadi bulan-bulanan informasi yang akan membanjiri sudut-sudut kehidupannya.
Yah, kita akan menghadapi masyarakat yang kalau meminjam istilahnya Kelvero Oberg sebagai masyarakat yang terjangkiti culture shock. Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut “gegar budaya”, adalah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda.
Istilah culture shock pertama kali dikenalkan oleh Kelvero Oberg pada tahun 1955. Pada awalnya definisi culture shock menekankan pada komunikasi. Oberg mendefinisikan culture shock sebagai kecemasan yang timbul akibat hilangnya sign dan simbol hubungan sosial yang familiar.
Memasuki budaya yang berbeda termasuk didalamnya budaya yang difasilitasi oleh internet dengan media sosialnya akan membuat individu menjadi orang asing di budaya tersebut. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan stress. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar individu mengalami gangguan mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh Oberg disebut dengan istilah culture shock (Gudykunst dan Kim, 2003).
Inilah kegelisahan bahkan kecemasan kita ketika merdeka sinyal tidak diimbangi dengan kecerdasan masyarakat dalam menerima dan mengelola informasi. Sungguh harus ada upaya konkret untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia terlebih di media sosial.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: