Mereka yang Gagal Berangkat Haji karena Pembatasan Usia

Jamhur dan istrinya Rohimah Keduanya ihlas walau batal berangkat karena batasan usia. [wiwit agus pribadi]

Daftar Sejak 2008, Ema Memilih Tak Berangkat karena Suaminya Gagal Berangkat
Kota Probolinggo, Bhirawa
Sebanyak enam calon jamaah haji (CJH) perempuan di Kota Probolinggo memilih tidak berangkat haji pada 2022 ini. Alasannya, suami mereka terkena batasan usia, yakni 65 tahun ke atas, sesuai aturan Pemerintah Saudi Arabia sehingga tidak memenuhi syarat untuk berangkat haji.
Sebenarnya pada 2022 ini, Kota Probolinggo mendapatkan kuota sebanyak 92 CJH. “Sebanyak enam CJH perempuan memilih mengundurkan diri meskipun mereka sudah melunasi biaya perjalanan haji,” kata Kepala Kantor Kementerian Agama (Kakan Kemenag) Kota Probolinggo, Samsur, Sabtu (21/5) malam.
Fenomena istri mengundurkan diri dari CJH tahun ini juga terjadi di Kabupaten Probolinggo. Ema, 56 tahun, warga Desa Pondokwuluh, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo memilih tidak berangkat haji karena suaminya, Sarkam, 69 tahun gagal berangkat karena pembatasan usia.
Padahal pasangan suami-istri ini sudah mendaftar haji sejak 2008 silam. Mereka mengaku, bersabar cukup lama untuk bisa berangkat haji bersama-sama pada 2022 ini. “Mudah-mudahan, kami berdua bisa berangkat haji tahun depan,” kata Ema.
Tatapan matanya kosong. Aura wajahnya juga tak bersinar. Itulah kondisi Jamhur dan istrinya, Rohimah. Warga Kelurahan Triwung Kidul, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo, itu sakit-sakitan sejak tahu tidak bisa berangkat haji.
Hampir satu bulan ini Jamhur, 69 dan istrinya, Rohimah, 64, sakit-sakitan. Rohimah merasakan badannya lemas dan pusing. Karena itu, tiap hari dia hanya tiduran di kamarnya. Sementara suaminya, Jamhur mengalami keluhan serupa. Namun, dia tetap memaksakan diri bekerja sebagai tambal ban di rumahnya.
Usaha itu merupakan satu-satunya sumber penghasilan bagi Jamhur. Karena itu, sebisa mungkin dia selalu membuka bengkelnya. Walaupun k kepalanya pusing. Sebab, jika tutup, maka pemasukan selama sehari itu bisa nihil. Keduanya sebenarnya sudah berobat ke dokter. Bahkan, sudah dua kali. Namun, sakit yang mereka rasakan tidak kunjung sembuh.
Maklum, sakit keduanya sebenarnya memang bukan berkaitan dengan fisik secara langsung. Namun, lebih karena beban pikiran. “Sudah ke dokter sebenarnya. Bahkan sudah dua kali. Tapi tetap saja kayak gini,” tutur bapak dua anak ini, Minggu (22/5).
Mereka mulai merasa lemas dan pusing setelah mendapat informasi bahwa keduanya tidak bisa menunaikan ibadah haji tahun ini. Penyebabnya, usia mereka tidak memenuhi syarat keberangkatan. Informasi itu mereka dapat pada pertengahan Ramadan dari KBIH tempat mereka mendaftar haji. Awalnya, mereka diberitahu bahwa tahun ini para calon jamaah haji (CJH) yang masuk kuota berangkat tahun 2020, bisa berangkat ke Makkah.
Sayangnya, mereka yang boleh berangkat hanya yang berusia 65 tahun. Tepatnya maksimal 65 tahun 0 bulan per tanggal 30 Juni 2022. Rohimah sendiri sebenarnya saat ini masih berusia 64 tahun. Namun, pada 30 Juni nanti usianya sudah lewat 65 tahun. Karena itu, baik dia juga suaminya sama-sama tidak bisa berangkat.
Padahal semua persyaratan keberangkatan ibadah haji sudah mereka penuhi. Termasuk bolak-balik tes kesehatan di puskesmas. Tentu saja, hanya usia yang tidak bisa mereka atur. “Sejak tahu dak bisa berangkat, saya sama istri kepikiran terus. Akhirnya kami sakit-sakitan kayak gini. Sudah hampir sebulan,” tuturnya.
Jamhur layak kepikiran. Sebab, penantiannya berangkat haji selama 11 tahun terakhir seolah sia-sia. Padahal, untuk bisa mendaftar haji, bagi mereka berdua bukan perkara mudah. Butuh perjuangan. Jamhur sedikit demi sedikit mengumpulkan uang dari usahanya membuka tambal ban. Setelah bertahun-tahun, baru uang terkumpul untuk mendaftar. Lantas, mereka berdua mendaftar haji pada awal Maret 2011.
“Alakoh engko’ te-matean. Pas epaburung dek iyeh. Kepekkeran engkok ekebeh sake’ (saya bekerja mati-matian. Tiba-tiba dibatalkan. Saya kepikiran terus sampai sakit),” lanjutnya.
Jamhur sendiri mendaftar haji pada awal Maret 2011 ke Kementerian Agama (Kemenag) Kota Probolinggo. Saat itu, dia bahkan membayar kontan di Bank BRI Muneng sebesar Rp 42 juta. Uang sebanyak itu dia kumpulkan dari kerja kerasnya membuka tambal ban. Lalu pada Desember 2012, istrinya Rohimah menyusul juga mendaftar. Dia juga membayar kontan, namun di Bank Mandiri.
“Uang untuk mendaftar saya dan istrinya, murni hasil menabung dari bekerja membuka bengkel. Sejak tahun 1980-an saya menabung, sejak saya buka bengkel,” katanya dengan pandangan mata kosong.
Butuh waktu lama memang untuk menabung. Sebab, penghasilan dari membuka bengkel tambal ban juga tidak seberapa. “Saya bukan petani yang dengan sekejap bisa menghasilkan uang banyak dari panen. Saya hanya bekerja di bengkel. Jadi harus nabung lama,” katanya.
Yang membuat mereka selalu kepikiran, pada 2019 keduanya sudah mendapat seragam haji. Lengkap dengan identitas kartu atau ID Card. Namun, mereka tetap saja batal berangkat. “Semua sudah kami lakukan. Mulai buat seragam, tes kesehatan, dan yang lain. Tapi masih saja ditunda,” lanjut Jamhur.
Saat ini, Jamhur beserta istrinya hanya bisa pasrah. Meskipun mereka meyakini umurnya tidak akan lama lagi. Dana haji itu tidak akan mereka ambil. Akan mereka limpahkan ke ahli waris. “Kami tidak akan mengambil kembali dana keberangkatan ibadah haji. Kalau tidak bisa berangkat, kami akan hibahkan ke anak cucu. Melihat usia kami bukan muda lagi,” jelasnya.
Hal yang sama terjadi pada, Tinasan, 66 dan istrinya Jum’ati, 59, malu bukan kepalang. Mereka sudah telanjur menggelar tasyakuran haji di rumah mereka di RT 37/RW 11, Dusun Ketani, Desa/ Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo. Namun, ternyata Tinasan gagal berangkat.
Saat itu, keduanya kembali didatangi petugas KBIH. Tapi, kali ini bukan kabar bahagia yang dibawa. Petugas memberitahu bahwa tahun ini ibadah haji berlangsung agak berbeda. Ada pembatasan usia untuk calon jamaah haji (CJH). Hanya mereka yang berusia di bawah 65 tahun yang berangkat. Karena peraturan itu, petugas menyampaikan bahwa Tinasan tidak bisa berangkat. Sementara Jum’ati tetap bisa berangkat. Tinasan dan Jum’ati pun langsung syok mendengar kabar itu. Emosi keduanya pun memuncak.
“Saya hampir pingsan saat dikasih tahu suami tidak bisa berangkat. Tetangga berkerumun lantaran menyaksikan saya mau pingsan,” tutur Jum’ati. Sejak saat itu, kondisi kesehatan Tinasan menurun. Selama bulan Ramadan, tekanan darah lelaki itu sempat naik.
Namun, setelah kejadian itu, tekanan darahnya turun. Bahkan, sampai saat ini. Kondisi tidak jauh berbeda dirasakan Jum’ati, istrinya. Sampai saat ini, tubuhnya juga drop. Dia merasa lemas dan syok. Bahkan, dia kini membatasi aktivitas sehari-hari. [wiwit agus pribadi]

Tags: