Merekontruksi Karakter Bangsa yang Berserak

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Peneliti Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Kecemasan dan kekhawatiran akan melubernya ujaran – ujaran yang mengusung sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau ujaran yang terang-terangan menjual kebencian kian nyata. Sengatan aroma SARA dan kebencian sangat mudah tercium dan terbaca di media sosial kita. Bahkan sadar atau tidak sadar jangan jangan kita merupakan bagian atau setidaknya memfasilitasi sehingga ujaran-ujaran itu kian meluas.
Di ranah politik, utamanya bagi mereka yang secara sadar memilih posisi ikut mendukung calon yang berkontestasi politik pastilah saat ini sedang sibuk merancang ujaran-ujaran yang bisa menguntungkan calon yang didukungnya. Bahkan, bisa jadi akan terjebak pada situasi menyerang atau diserang. Sesama anak bangsa saling mencaci dengan menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar dan paling perlu dibela, selebihnya harus dicampakkan. Kontestasi politik yang tengah dijalani seolah menjadi absah untuk saling meniadakan.
Apa yang terjadi di Pilkada serentak hari ini secara telanjang mempertontonkan kepada kita betapa kata indah Bhineka Tunggal Ika seolah hanya kalimat sakti yang berlaku di forum-forum ilmiah dan dibangku-bangku sekolah, namun dalam praktiknya spirit yang mengakui keberagaman itu menjadi diabaikan. Momentum Pilkada seolah siapa saja boleh menjajakan apa saja termasuk isu-isu sara yang sangat jauh dari sesanti Bhineka Tunggal Ika. Kalimat -kalimat provokasi yang kental dengan distorsi dan manipulasi menjadi legal dilakukan.
Keberagaman Bangsa Indonesia, terdiri atas banyak agama, suku dan golongan, bisa menjadi kekuatan besar, jika diarahkan secara positif. Sebaliknya, jika dikelola secara negatif, yang ditonjolkan hanya perbedaan, maka bangsa ini bisa dalam sekejap menuju kehancurannya. Pilihan ada di tangan pemimpin dan rakyat Indonesia, mau menggunakan keberagaman jadi kekuatan atau perusak.
Karakter Berbasis Budaya Bangsa
Kita memiliki kekayaan budaya yang membentuk identitas Indonesia seperti sekarang. Sejarah juga mengajarkan, budaya juga yang membuat suatu bangsa menjadi makmur atau tertinggal. Dalam masyarakat yang terbuka saat ini, budaya dan modal tidak mengenal batas negara. Akibatnya, masyarakat di sejumlah negara merasa terpojok oleh globalisasi. Terhadap globalisasi tersebut sikap yang muncul cenderung menutup diri, seperti kita lihat pada keluarnya Inggris dari Masyarakat Eropa, munculnya partai-partai politik yang menolak imigran dan globalisasi di Eropa. Kita juga merasakan dampak globalisasi pada budaya kita melalui teknologi yang kita gunakan yang mengubah cara hidup, makanan, musik, dan ancaman terorisme.
Budaya karenanya perlu dirawat dan dimanfaatkan untuk kebaikan bersama. Kita mengenal di berbagai daerah memiliki budaya yang jadi tali perekat sekaligus pengayom perbedaan. Budaya Subak di Bali misalnya, bukan hanya tentang sistem pengairan sawah, melainkan di dalamnya juga teranyam tata sosial masyarakat gotong royong. Penekanan pada aspek budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan sesungguhnya juga sudah menjadi kesepakatan dunia sejalan dengan disepakatinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), September 2015 lalu.
Ini adalah pertama kalinya budaya masuk menjadi salah satu pusat pembangunan. Alasannya jelas, budaya memengaruhi cara orang memandang manfaat pendidikan, memperlakukan lingkungan, membangun kota, berkonsumsi, memelihara sumber pangan, memilih kebijakan ekonomi, kesetaraan jender, serta pilihan untuk hidup damai dan inklusif.
Menempatkan budaya sebagai pusat pembangunan dengan demikian dapat menurunkan jumlah orang miskin, meratakan kemakmuran berkelanjutan, dan menciptakan kebahagiaan karena menjadikan manusia sebagai fokus pembangunan.
Globalisasi yang telah menjadi keniscayaan saat ini akan lebih dapat diterima karena budaya lokal tetap dirawat ketika pembangunan memegang prinsip menghargai keberagaman budaya. Keberagaman budaya karenanya adalah berkah bagi Indonesia sepanjang kita bersama-sama merawatnya.
Meneguhkan Karakter Bangsa
Bung Karno pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (Soedarsono, 2009). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia global.
Karakter dan jati diri bangsa Indonesia sebenarnya lahir dan terbentuk melalui proses sejarah yang cukup panjang, sejak zaman neolitikum, zaman Hindu Budha, era perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, sampai kemudian datangnya bangsa asing yang menguasai masyarakat/bangsa di wilayah Kepulauan Nusantara ini.
Pada periode-periode itu, beratus-ratus tahun lamanya, masyarakat telah membangun kehidupan atas dasar spiritualisme, kegotongroyongan, musyawarah untuk mufakat, toleransi, saling menghargai dan tolong menolong antarsesama, ditambah etos juang yang tinggi melalui berbagai perlawanan untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa, dan ini terus berlanjut pada masa pergerakan nasional hingga berjuang untuk mewujudkan sebagai bangsa merdeka, mandiri atas dasar prinsip yang tersimpul dalam padangan dan falsafah hidup bangsa.
UU 20/2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas) Pasal 3 menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Karenanya jelas, bahwa pendidikan budaya dan karakter menjadi tujuan utama tercapainya pendidikan kita.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan pendidikan berbasis budaya lokal untuk melestarikan budaya lokal yang positif. Pendidikan sebagai motor perbaikan dan pembentukan karakter bangsa. Pendidikan terpadu merupakan sebuah tawaran solutif meningkatkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam berbagai bidang di masa yang akan datang.
Pendidikan karakter budaya bangsa bukan saja perlu didukung tetapi perlu dilakukan suatu gerakan nasional membangun pendidikan karakter bangsa yang dilakukan di lingkungan keluarga dan pada satuan pendidikan dengan melakukan pendekatan dilakukan mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi, dilingkungan pemerintahan, di lingkungan masyarakat umum, dalam organisasi sosial kemasyarakatan, di lingkungan dunia usaha dan industri serta di lingkungan masyarakat lainnya.
Pendidikan karakter, sekarang ini mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja, tetapi di rumah dan di lingkungan sosial. Bahkan sekarang ini peserta pendidikan karakter bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga usia dewasa. Mutlak perlu untuk kelangsungan hidup bangsa ini. Bayangkan apa persaingan yang muncul ditahun 2021? Yang jelas itu akan menjadi beban kita dan orangtua masa kini.
Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai belahan Negara di Dunia. Bahkan kita yang masih akan berkarya ditahun tersebut akan merasakan perasaan yang sama. Tuntutan kualitas sumber daya manusia pada tahun 2021 tentunya membutuhkan good character. Pendidikan karakter tidak bisa hanya diajarkan di ruang kelas, namun juga di ruang kehidupan.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

———- *** ———–

Tags: