Merespons Fatwa MUI

Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), diperlukan sebagai bimbingan umat. Lazimnya bersifat mandiri, dan murni berdasar hasil musyawarah ulama’. Namun sebagian komunitas (kecil) menggunakannya bagai “pedang terhunus.” Sehingga diperlukan “penjagaan” agar fatwa tidak memberi peluang anarkhisme masa. Jajaran MUI, juga perlu memasyarakatkan setiap fatwa, terutama dengan jajaran pemerintahan.
Seluruh agama di Indonesia (Kristen, katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan islam) memiliki kelembagaan kompilasi hukum. Semacam komisi fatwa di MUI. Pada Katolik, misalnya, memiliki konsili. Seluruhnya untuk membimbing umat masing-masing. Begitu pula ormas ke-agama-an, memiliki institusi ke-fatwa-an. Di Muhammadiyah, terdapat “majelis tarjeh.” Sedangkan di NU (Nahdlatul Ulama) terdapat “bahtsul masa’il.”
Sebagai legal opinion, fatwa MUI dapat di-inisiasi berdasar amanat UU (undang-undang). Misalnya tentang produk makanan dan minuman berlabel halal. Namun tak jarang, fatwa MUI di-inisiasi sesuai kebutuhan masyarakat. Antaralain tentang perilaku perekonomian (perbankan dan asuransi). Atau hukum (syariat) tentang aborsi. Fatwa model kedua inilah yang butuh pencermatan, serta mekanisme prosedur.
Ingat dulu (tahun 1945), NU pernah mengeluarkan fatwa (resolusi) jihad. Itu bukan permintaan pemerintah (negara). Melainkan di-inisiasi berdasar kondisi masyarakat tahun 1945, dalam situasi perang mempertahankan senjata. Ternyata, fatwa jihad NU (tahun 1945), bukan hanya dipatuhi oleh umat NU (nahdliyin) saja. Melainkan seluruh masyarakat Indonesia, menyokong fatwa jihad. Termasuk yang non-muslim sekaligus non-pribumi sekalipun.
Fatwa berdasar kondisi sosial (permintaan masyarakat luas) mestilah independen. Serta murni berlandaskan syariat Islam, melalui musyawarah ulama. Perbedaan pendapat menjadi keniscayaan. Tetapi sampai menjadi penetapan institusi, wajib melalui suara terbanyak (dengan selisih sangat besar). Tak jarang, sebelum menjadi penetapan fatwa, perlu “di-dendapkan” untuk memperoleh pencerahan baru. Serta permufakatan bersama yang lebih luas.
Seiring dengan penguatan demokrasi dan keterbukaan informasi, MUI dituntut memperkokoh kemandirian, terutama dalam penyiaran (sosialisasi) fatwa. Bukan sekadar halal atau haram, melainkan fatwa tentang problematika dinamika sosial. Di berbagai negara muslim, fatwa ulama diapresiasi lebih tinggi dibanding ketetapan Mahkamah Agung.
Fatwa MUI, tidak wajib “paralel” dengan kehendak pemerintah. Juga tidak wajib menuruti selera kelompok tertentu, walau sekilas nampak seolah-olah sesuai dengan kaidah agama. MUI seyogianya tetap berada di “tengah” untuk men-sinergi-kan berbagai aliran dan keyakinan muslim di Indonesia. Tetapi harus tegas (dan tegar) pada prinsip akidah. Walau kadang berseberangan dengan misi penyelenggara pemerintahan.
Karena itu MUI wajib menjaga fatwa-fatwanya, tetap bermanfaat untuk masyarakat. Misalnya dalam hal kesertaan asuransi kesehatan BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Kesehatan). BPJS belum sesuai benar dengan kaidah syariah. Dalam hal mudlorobah (kerjasama) dengan pihak ketiga untuk mengelola premi, BPJS belum sesuai benar dengan syariah.
Sebagai legal opinion, fatwa MUI bukanlah hukum positif. Melainkan setara dengan saran, serta mengikat secara privat (individual). Sebagaimana kaidah agama, fatwa tidak dapat dipaksakan. Bahkan memaksakan (secara anarkhis) pemberlakuan isi fatwa dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi (UUD). Berkonsekuensi dengan hukum (pidana).
Namun pemerintah (beserta jajaran penyelenggara kenegaraan), juga tidak dapat mencampuri fatwa MUI. Bisa dianggap mengambil alih domain public discours. Serta bertentangan dengan UUD pasal 28E ayat (1) dan ayat (2). Serta tidak elok pada tataran etika kenegaraan. Dulu, presiden (Abdurrahkam Wahid), pernah berselisih dengan Ketua Umum MUI (KH. Sahal Mahfud). Tetapi presiden (gus Dur) tidak mengambil alih discours publik.
Seyogianya, MUI (dengan fatwanya) tetap kukuh pada pembimbingan menuju umat wasathan (jalan tengah). Tidak condong pada tekanan situasi. Pada sisi lain, aparat (pemerintah) menjalankan tugas sesuai tupoksi dan kompetensinya.

                                                                                                                 ——— 000 ———

Rate this article!
Merespons Fatwa MUI,5 / 5 ( 1votes )
Tags: