Merespons Ibukota Baru

Hubungan dagang antar-pulau jalur Jawa Timur-Kalimantan yang telah kuat, akan semakin memperoleh berkah. Pemindahan ibukota negara ke Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur, Kaltim) akan menimbulkan efek positif perekonomian. Patut direspons pemerintah propinsi tetangga, dengan meningkatkan infrastruktur sektor perdagangan.Dengan investasi sebesar Rp 466 triliun, ibukota negara yang baru akan menjadi “pasar besar” nasional.
Jakarta sudah jenuh, sebagai ibukota negara, sekaligus pusat perdagangan, bisnis, keuangan, dan jasa. Ironisnya, daya dukung lingkungan semakin merosot tajam. Terutama rentan terhadap banjir, dan kemacetan lalulintas makin parah. Siapatakmiris, kualitasudarapadalangitibukota (Jakarta) dinyatakansebagaisalahsatu yang terburuk di dunia? Penyedia data kualitasudara, AirVisual, mencatatkan ISPU (IndeksStandarPencemaranUdara) mencapai 188.
Sebagai kota megapolitan (terbesarke-empat) di dunia, Jakarta disesaki sebanyak 19 juta kendaraan bermotor. Angka ini tumbuh sebesar 5%. Komposisinya terdiri dari sepeda motor 49%, mobil 38%, dan angkutan umum 13%. Ironisnya, jumlah armada angkutan umum makin berkurang. Banyak bus, telah”dikandangkan,”karena kondisinya sangat buruk. Seluruh kendaraan niscaya mengeluarkan emisi gas buang. Ditambah uji kir kendaraan yang biasa menera kendaraan secara semau-gue.
Sejak dekade tahun 1850-an, rezim kolonial telah menyadari beban berat Jakarta sebagai “bandar tua” (yang beroperasi sejak abad ke-6). Pada dekade itu pula dibangun pelabuhan baru, 15 kilometer arah timur ke kawasan Priok. Namun “bandar tua” telah berkembang pesat sebagai ibukota negara, mewadahi seluruh urusan, hingga pusat industri, dan jasa. Wilayahnya melebar ke arah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kejenuhan Jakarta semakin memuncak, ditandai dengan tragedi banjir yang rutin datang setiap tahun. Serta siklus banjir besar periode 5 tahunan, mulai tahun 1996-97, tahun 2002, danberpuncak pada tahun 2007. Berdasar catatan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), curah hujan tertinggi mencapai 340 mili-miter, tercatat tahun 2007. Kemungkinan terulang sebesar 20%. Jakarta tidak nyaman.
Sebanyak 24 kawasan langganan banjir tersebar di seluruh Jakarta. Tragedi banjir (1 Pebruari) 2007, mencatat sebanyak 80 korban jiwa. Siapa tak miris? Bahkan istana negara juga terendam air setinggi lutut orang dewasa. Begitu pula kawasan jalan protokol utama terendam banjir 50 sentimeter. Banjir rob, juga biasa meluapkan air di pesisir utara Jakarta, walau tanpa hujan. Jakarta tidak nyaman. Serta tidak ramah ekonomi
Tetapi yang paling miris, berupa ancaman megathrust (gempa bumi besar) ber-magnitudo 8,7 SR (Skala Richter).Sumbergempabesar di SelatSunda,lokasi pertemuan lempengIndo-AustraliadenganlempengEurasia. Pusat gempa hanya sekitar 300 kilometer barat Jakarta.Konon arah tumbukan dua sabuk lempeng gempa berjalan sejauh 60-70 milimeter per-tahun. Gedung bertingkat tinggi (lebih dari 6 lantai atau 20 meter), bisa runtuh.
Pusat gempa di selat Sunda, tergolong “purba” dan pernah menggoyang kawasan Ujung Kulon pulau Jawa.Meski tiada yang bisa memperkirakan datangnya gempa bumi. Namun pemindahan ibukota negara “warisan” lama kolonial, telah digagas presiden RI pertama, Ir. Soekarno, sejak tahun 1957.Tahun inipemindahan ibukota negara telah dicanangkan berlokasi di Kutai Kartanegara, berdempetan dengan Balikpapan.
Areal ibukota baru, seluas 180 ribu hektar (3 kali luas Jakarta) juga menerabas kabupaten Penajam Pasir Utara. Pembangunan infrastruktur akan dimulai pada tahun 2020, berakhir pada tahun 2025.Kawasan terdekat, termasuk Jawa Timur, seyogianya telah merespons pembangunan “pasar besar”dengan membuka jalur pelayaran ke Samarinda, dan Balikpapan.

——— 000 ———

Rate this article!
Merespons Ibukota Baru,5 / 5 ( 1votes )
Tags: