Merestorasi Bumi dengan Berbuka Puasa

Oleh :
Dr Suning, SE, MT
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas PGRI Adi Buana Surabaya ; Anggota LPPA Aisyiyah Wilayah Jawa Timur

Restorasi dapat dipahami suatu tindakan untuk menjaga, memelihara, melindungi, mempertahankan, dan membudayakan kembali aktivitas sosial masyarakat yang sudah tidak pada seharusnya. Berbicara soal restorasi bumi, tentu mengingatkan kepada kita akan kejadian bumi yang sudah tidak seimbang. Iklim dan cuaca yang terjadi tidak sesuai dengan rentang waktu secara matematis. Kejadian bencana alam yang sering terjadi di muka bumi ini mengindikasikan bahwa bumi meminta kepada kita untuk diperhatikan bukan dieksploitasi untuk kepentingan kapitalisme ekonomi.

Menurut Stevenson et al., (1999); Morrison (1990) restorasi diperlukan apabila ekosistem bumi telah mengalami degradasi, berubah jauh, tidak dapat memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi dengan baik sebagaimana mestinya dan ini memerlukan sentuhan lembut tangan manusia untuk mengelola dan melindungi.

Abad ke-21 menunjukkan awal terjadinya masalah lingkungan, manusia memiliki kemampuan menguasai alam, memanfaatkan sebesar-bsearnya alam untuk kepentingan manusia, dan pada gilirannya mengutip Wells (2020) bahwa perubahan iklim akan mengubah segala segi kehidupan manusia, mulai dari di mana kita hidup, apa yang kita makan, dan bahkan kerusakan akibat perubahan iklim dapat bernilai total $551 triliun atau hampir dua kali lipat seluruh kekayaan yang ada di dunia sekarang. Andai planet ini memanas hingga 3,7 derajat atau lebih tinggi lagi, dan ini linier dengan firman Allah bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” -QS. Ar-Rum:41-.

Berbuka Puasa di Luar Rumah Ciptakan Budaya Merusak Bumi

Transformasi budaya yang sarat dengan teknologi dunia maya menjadikan manusia mengalami titik jenuh pada waktunya. Bulan puasa 2021 ini adalah tahun ke-2 setelah adanya pandemi Covid-19. Siapa pun itu sudah ingin bebas keluar rumah tanpa memedulikan larangan berkerumun. Manusia dengan budaya sosialita mengantarkan pada gaya hidup kuliner yang secara tidak disadari telah menyumbangkan efek rusaknya bumi. Badan Pangan PBB atau FAO menyebutkan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah makanan setiap tahunnya dan berasal dari rumah makan/restoran, katering, maupun ritel.

Pada bulan puasa ini, hampir semua rumah makan/restoran penuh sesak dengan kerumunan orang berbuka puasa. Meja makan penuh dengan sajian makanan dan minuman serta camilan yang menghasilkan limbah tidak sedikit. Sisa makanan, bekas botol minuman, dan tisu merupakan sampah yang tanpa dipikirkan oleh konsumen jika kegiatannya itu berkontribusi besar terhadap rusaknya bumi, belum lagi air bekas cucian tangan yang berminyak dibuang bersama air keran dapat mencemari air dan tanah.

Budaya ini bisa kita kurangi dengan menciptakan suasana restoran di rumahnya sendiri, makan minum dengan alat yang bisa dicuci dan digunakan Kembali. Jika terpaksa harus makan atau berbuka puasa di luar rumah, carilah restoran yang menyediakan minuman tanpa menggunakan bahan plastik dan restoran yang tidak menyediakan tisu, tetapi menggunakan lap/serbet tangan. Jika setiap orang berprinsip demikian, maka restoran tidak menyumbang rusaknya bumi dari meja makan.

Bulan Puasa Lahirkan Kesalehan Sosial Merestorasi Bumi

Tujuan diciptkannya manusia tidak lain hanyalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Itu artinya manusia dengan segala kemampuannya harus dapat menciptakan kehidupan yang nyaman untuk penghuninya baik manusia dengan sesamanya, hewan, tumbuhan, dan makhluk lainnya yang tinggal di bumi. Mengutip Quraish Shihab dalam tulisannya membumikan Al-Qur’an menandaskan bahwa cita-cita sosial dalam agama Islam adalah bagaimana membangun bayang-bayang surgawi di bumi persada. Kehidupan surga yang penuh dengan kesejahteraan, kesetaraan, kedamaian, dan ketenangan. Oleh karena itu, puasa harus mencapai puncak dari tujuannya, yaitu melahirkan manusia-manusia mutakin.

Empirisasi dari makna mutakin salah satunya adalah kesalehan sosial yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian kita terhadap lingkungan. Hubungan manusia dengan alam harus harmonis. Harmonisasi ini ibarat sebuah modal usaha untuk mencapai kebersamaan dalam ketundukannya kepada Allah. Merawat bumi dari hal kecil dan sederhana dimulai dari diri kita sendiri akan memacu orang lain untuk turut melakukannya merupakan ibadah yang Allah sudah janjikan ganjaran berlipat. Pola pikir sederhan, tetapi istikamah dilakukan akan mencipta keharmonisan manusia dengan bumi.

Kesalehan sosial dalam merestorasi bumi dilakukan dengan 1) meneladani akhlak Rasulullah saw., bahwa berhentilah makan sebelum kenyang; 2) menjadikan alam sebagai wujud The Utlimate Environment, yaitu melalui alam manusia dapat mengenal kebesaran Allah; 3) membudayakan sikap ambil secukupnya sedekah seikhlasnya, tujuannya adalah agar sampah yang dihasilkan tidak banyak, 4) pilah dan olah sampah kita; 5) mengamalkan sikap makanlah apa yang kita tanam dan menanamlah apa yang kita makan.

Secara fitrah manusia memiliki kebaikan hati untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Marilah bulan Ramadan ini kita jadikan bulan penuh rahmat dengan menjaga bumi sesuai fitrahnya agar terjadi harmonisasi antara manusia dan bumi sebagai bentuk eksistensi terhadap ketundukan kepada Allah.

Selamat Hari Bumi Sedunia.

——— *** ———-

Rate this article!
Tags: