Meretas Kesejahteraan Atlet

Kesejahteraan AtletSambutan applause di lapangan setelah memenangkan pertandingan, sungguh sangat mem-banggakan. Lebih lagi pada even internasional yang biasa diliput berbagai media cetak dan elektronika. Jerih payah selama latihan (dan peng-asahan talenta) seolah terbayar. Tetapi tepuk-tangan saja, niscaya tidak cukup. Karena untuk meraih prestasi diperlukan latihan lagi dengan berbagai alat dan kecukupan gizi. Juga terus mengikuti pertandingan. Seluruhnya memerlukan biaya.
Tidak mudah berlaga di lapangan olahraga untuk memenangkan pertandingan. Bagai tentara yang harus berjuang keras memenangkan peperangan. Setiap detil gerakan tubuh memiliki konsekuensi. Salah melangkah, walau sejengkal, bisa berakibat kekalahan. Harus disusun strategi dan dukungan kesiapan mental bertanding. Namun tidak cukup hanya dengan berani, melainkan harus dengan kecepatan dan keterampilan. Serta yang utama, talenta.
Talenta, menjadi unsur utama prestasi. Sehingga menjadi atlet adalah pilihan hidup, yang disesuaikan dengan talenta. Maka seharusnya, talenta seharusnya dipahami sebagai karunia Tuhan, yang tidak mudah dicapai. Pretasi olahraga seyogianya dihargai, sejajar dengan prestasi seni (ke-artis-an) maupun kepangkatan tinggi dalam birokrasi. Sejajar pula dengan capaian akademik tertinggi (tingkat doktor, Strata 3).
“Menjadi atlet (dengan prestasi) bisa sejahtera.” Ini bukan sekedar jargon dan janji pemerintah, melainkan harus diwujudkan. Pemerintah kini coba meretas prestasi olahraga melalui upaya berbasis kesejahteraan atlet. Itu upaya paling normatif, asali. Bahkan UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pemerintah berkewajiban memajukan olahraga, terutama dalam hal pendanaan. Niscaya, bukan sekadar anggaran penyelenggaraan kejuaraan nasional. Melainkan penghargaan terhadap atlet.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk meraih prestasi olahraga. Ada even PORSENI (tingkat SD dan SMP), menjadi ajang awal untuk pencarian bibit atlet. Pada tataran akademik juga terdapat SMANOR (sekolah khusus atlet, setingkat SLTA). Sedangkan pada tataran lanjutan terdapat PORPROV (semacam PON yang dibiayai APBD Propinsi). Hasilnya, ribuan atlet terjaring. Seluruhnya memiliki talenta keolahragaan memadai.
Secara umum, kondisi pelaku olahraga (terutama atlet  dan pelatih) masih jauh dari kelayakan. Sehingga banyak atlet dan pelatih hidup dalam perekonomia memprihatinkan pada masa aktif maupun (lebih-lebih) pada saat purna-laga. Pemerintah telah coba memberi penghargaan lebih memadai kepada atlet berprestasi tingkat internasional (minimal SEA-Games) dengan hadiah bonus berupa uang sekitar Rp 250 juta per-medali emas.
Diharapkan dengan berbagai rewards tersebut, tidak ada lagi cerita seperti Marina Segedi, peraih medali emas pencak silat di SEA-Games 1981 yang harus menjadi supir taksi untuk membiayai kedua anaknya. Begitu pula harus dicegah tragedi kisah Hapsani, peraih medali perak dan perunggu lari estafet 4 x 100 meter di SEA-Games 1981 dan 1983, yang menjual medalinya. Hapsani terpaksa menjual medali ke pasar loak di Jatinegara, untuk sekadar membeli makan.
Bonus uang yang jauh dari memadai, lebih lagi tidak utuh karena dipotong pajak dan potongan “manajemen.” Berbagai bonus dalam sekejap bisa habis, kembali ke lapangan, untuk biaya latihan, peralatan (termasuk pakaian), dan biaya tambahan makanan suplemen atlet. Upaya lain yang dilakukan pemerintah, adalah janji bonus berupa pekerjaan sebagai PNS. Begitu juga untuk legenda pelaku olahraga diberikan “rumah dinas” hak milik di Cipanas.
Indonesia akan menjadi tuan-rumah Asian Games XVIII (di Jakarta dan Palembang) tahun 2018. Kemenpora menarget capaian peringkat ke-10. Ini target posisi terendah tuan rumah. Sebab dulu, pada Asian Games ke-4 di Jakarta (tahun 1962) Indonesia pada peringkat kedua. Saat itu diperoleh 77 medali (21 emas, 26 emas dan 30 perunggu). Pola pembinaan atlet berbasis kesejahteraan akan menjadi ukuran.

                                                                                                    ———   000   ———

Rate this article!
Tags: