Meretas Kualitas Kerajinan Kulit di Tanggulangin yang Sudah Melegenda

Konsumen membludak di Tanggulangin

Sidoarjo, Bhirawa
Tanggulangin tidak menjual merek tetapi menjual kualitas. Itulah logika masyarakat yang terpatri saat mendengar kata ‘Tanggulangin’. Nama yang kemudian identik dengan industri kerajinan kulit yang sudah melegenda di Kab Sidoarjo ini.
Patokan kualitas barang berbahan kulit tidak diukur dengan merek kelas dunia. Justru konsumen kerap tergelincir sebuah merek tanpa meneliti keaslian barangnya. Akibatnya banyak konsumen terkecoh dengan barang yang dibeli karena tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Namun di Tanggulangin, kekuatiran tertipu tidak akan terjadi pada para konsumen yang loyal dengan kerajinan produknya. Sebab pihak penjual telah mengelompokkan produk yang berbahan kulit asli dibedakan dengan bahan imitasi (sintetis). Semua konter di wilayah timur Desa Kludan di Komplek Permata sampai Desa Kedensari, Tanggulangin hingga Intako.
Namun ada satu konter yang konsisten menjual produk tas, koper, ikat pinggang, dompet, jaket, sepatu yang semua berbahan kulit asli. Jadi pengunjung tidak terkecoh dengan barang palsu, karena keaslian bahannya sudah dijamin.
Soal kualitas, Tanggulangin adalah sebuah jawaban tepat. Di sini menyediakan produk kulit mirip kulit buaya atau kulit jeruk dan polos dengan banyak pilihan yang menggoda. Kemajuan teknologi (mesin) makin menyajikan industri Tanggulangin menghasilkan produk bernilai tinggi dengan harga terjangkau. Apa yang dibuat di Negara Italia atau Perancis bisa dibikin di Tanggulangin.
Salah satu pemilik toko di Desa Keden, Suyarno mengatakan, banyak konsumen tidak memahami merek Pierre Cardin, Elle, Gino Mariani, Hermes, Kickers, tidak lagi yang dibuat negara asalnya. Semua produk Cina. Kecuali di mal tertentu di Jakarta, tentu di bandrol dengan harga sepuluh kali lipatnya, bila dibandingkan dengan harga kerajinan kulit buatan Tanggulangin.
Umumnya merek dengan branding dunia banyak yang diproduksi Cina. Tidak heran bila produk Cina membanjiri bukan hanya di Indonesia tetapi seluruh dunia mulai dari elektronik, IT, komputer sampai industri berbahan plastik sampai industri kulit yang di jual dengan harga kompetitif. Dunia sedang gaduh dengan membanjirnya produk Cina.
Di mal-mal Surabaya misalnya tas kulit dengan ukuran dan bahan yang sama harganya berlipat-lipat. Misalkan untuk tas cangklong wanita yang berdesain kulit buaya atau kulit jeruk di Tanggulangin dihargai kisaran Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Namun di konter untuk tas kulit yang sama di mal harganya bisa mencapai Rp4 juta sampai Rp5 juta.
Sementara di Permata Tanggulangin, misalnya untuk tas wanita berbahan kulit yang standar bisa dibeli dengan harga Rp700 ribu ke atas. Memang tidak mudah menjual kerajinan kulit asli dengan harga murah, sebab produk Cina yang terkenal suka banting harga, juga tidak bisa menjual murah. Kecuali untuk produk yang berbahan kulit imitasi.
Pasang surut bisnis kerajinan kulit Tanggulangin, sempat ‘dihantam’ Lumpur Lapindo tahun 2006 dan untuk beberapa tahun sempat stagnan, akibat rusaknya infrastruktur menuju lokasi. Di tengah gelombang dahsyat itu para perajin tidak berhenti berinovasi. Mereka justru menjadikan hal ini sebagai tantangan bisnis untuk tetap survive.
Dan ternyata bencana Lapindo justru menjadi daya tarik masyarakat untuk mendatangi pasar kerajinan kulit Tanggulangin. Kekuatan bencana alam itu menjadikan destinasi wisata yang mendongkrak pasar kerajinan kulit Tanggulangin. ”Orang ingin belanja kerajinan sekaligus ingin melihat dekat semburan lumpur,” ujar Latif, pemilik showroom di Desa Kludan. [hds]

Tags: