Merevisi UU ITE

foto ilustrasi

Perbedaan pendapat dalam media sosial (medsos) bagai balapan liar berujung adu jotos. Berakhir pada sidang Pengadilan. Pertarungan isu bermula pada Pilkada Jakarta, berpuncak pada Pilres 2019. Ironisnya, kebebasan berpendapat seolah-olah tanpa aturan. Saling menista, memfitnah, memapar kebohongan, dan hoax. Jika tidak diatur dengan undang-undang (UU) bisa mengacaukan tatanan, menimbulkan kegaduhan sosial, sampai tawur sosial.

Kebebasan berpendapat dijamin, dan dilindungi konstitusi. Bahkan kebebasan informasi dan menyatakan pendapat dikelompokkan sebagai HAM (Hak Asasi Manusia). Rumpun HAM dalam UUD pasal 28F, menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Namun HAM, bukan sekadar menggencarkan hak. Melainkan juga berbatasan dengan kewajiban menjamin hak orang lain. Selain menjamin pelaksanaan kebebasan berpendapat, konstitusi di Indonesia sekaligus juga mewaspadai kebebasan menyatakan pendapat. Sehingga terdapat aturan pembatasan. Berdasar pembatasan konstitusi, telah diterbitkan undang-undang (UU) yang lebih menjamin tertib sosial. Terutama aspek penggunaan teknologi informasi.

UUD pasal 28J ayat (2), menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Bahkan konstitusi memberi kewenangan kepada negara (pemerintah) menjamin pelaksanaan HAM, secara berkeadilan. UUD pasal 28-I ayat (5), mengamanatkan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Pembatasan diantaranya penerbitan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

UU ITE juga disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pada tahun 2016, pemerintah bersama DPR telah melakukan revisi, menjadi UU Nomor 19 tahun 2016. Namun “pertempuran” berpendapat tak surut. Bahkan menjadi saling melapor (ke Polisi) tentang dugaan pelanggaran dalam pasal-pasal dalam UU ITE. Setidaknya terdapat 7 pasal (dengan beberapa ayat di dalamnya). Diantaranya, rumpun pasal 26, rumpun pasal 27, pasal 28 ayat (2), pasal 29, pasal 36, rumpun pasal 40, dan pasal 45 ayat (3).

Peraturan yang dianggap “pasal karet,” berunsur pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penistaan, dan SARA. Pada revisi pertama tahun 2016, “pasal karet,” tetap lolos, tidak diubah. Sehingga pada tahun 2019 (saat Pilpres), Polisi bagai “panen raya.” Narasi berita hoax naik sampai 300%. Meruaknya kasus pidana pelanggaran UU ITE, seyogianya menjadi warning segenap masyarakat, dan dan ke-profesi-an patut mencermati isi pesan yang “diteruskan.”

DPR, dan presiden, telah sepakat merevisi beberapa peraturan dalam UU ITE. Tujuannya lebih menjamin rasa keadilan. Bahkan Presiden juga minta masyarakat aktif memberi kritik terhadap kinerja pemerintah, dan seluruh lembaga negara. Boleh mengkritik kinerja penegakan hukum (Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK). Serta terutama, kinerja pelayanan publik, dan kinerja pemerintah daerah. Yang patut dipertimbangkan, adalah, kritik bukan memapar hoax. Tidak dengan memutar-balikkan fakta.

Harus diakui, telah muncul “pabrik” hoax. Serta sindikat yang sengaja mem-posting informasi menyesatkan. Maka tiada yang kebal hukum di hadapan pengadilan. Juga tiada manusia yang bisa bekerja secara sempurna. Keselamatan tatanan sosial menjadi timbangan utama penggunaan media sosial menegakkan kebebasan berpendapat.

——— 000 ———

Rate this article!
Merevisi UU ITE,5 / 5 ( 1votes )
Tags: