Merindukan Kemasan Ramah Lingkungan

Oleh :
Ida Wahyuni
Penulis adalah TIM Pembina-Penilai

Adiwiyata Kota Malang dan Mahasiswa Program Doktor ISIPOL Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Budaya kemasan sebenarnya telah dimulai sejak manusia mengenal sistem penyimpanan bahan makanan. Pada awalnya kemasan masih terkesan seadanya dan lebih berfungsi untuk melindungi makanan/barang terhadap pengaruh cuaca atau proses alam lainnya yang dapat merusaknya.
Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin kompleks, barulah terjadi penambahan nilai-nilai fungsional dan peranan kemasan dalam pemasaran mulai diakui sebagai satu kekuatan utama dalam persaingan pasar.
Bahan kemasan alami ditinjau dari segi keberadaannya, masih banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia dengan harga yang relatif murah, lagi pula tidak memberikan dampak yang negatif terhadap pencemaran lingkungan (ramah lingkungan), malah sebaliknya bahan kemasan ini dapat terurai oleh bakteri secara alamiah. Akan tetapi bilamana tidak segera ditangani, maka limbah bahan kemasan alami ini dapat pula memberikan dampak negatif yaitu menimbulkan pencemaran, aroma yang dihasilkan dari proses penguraian tersebut dapat menghasilkan bau yang tidak sedap.
Kemasan Tradisional dan Kehendak Konsumen
Berbagai kemasan tradisional yang masih banyak digunakan antara lain bambu, kayu, dedaunan dan sebagainya. Penggunaan daun sebagai bahan kemasan tradisional sudah lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah dan praktis cara pemakaiannya, daun ini juga masih mudah didapat, akan tetapi kemasan daun ini bukan merupakan kemasan yang bersifat representatif, sehingga pada saat penanganannya harus ekstra hati-hati. Seiring dengan perkembangan teknologi dan gaya hidup, kemasan tradisional makanan alami tersebut mulai ditinggalkan masyarakat karena dinilai menjadi kemasan yang terkesan murahan dan diidentikan dengan kumuh, tidak higienis, tidak praktis. Kemudian perlahan berganti dengan pembungkus/wadah buatan manusia yang kini biasa kita gunakan seperti kertas, plastik, kaleng dan Styrofoam.
Selama ini, wadah dan pembungkus makanan buatan yang modern itu memang menciptakan kesan modern, praktis, simple dan bersih. Namun material seperti ini sulit didaur
ulang, hingga rentan mencemari lingkungan. Fungsi kantung plastik sebetulnya hanya untuk membawa produk dari pasar ke rumah. Setibanya di rumah, yang dinikmati adalah isinya, sementara plastik masuk ke keranjang sampah. Jadi tanpa disadari, sebetulnya makanan yang dibungkus aluminium kemudian dilapisi lagi dengan plastik (misal: kemasan snack, coklat, dll), telah menciptakan limbah yang berlapis-lapis.
Teknologi Mengubah Peran Kemasan
Pada era sekarang, isu-isu tentang lingkungan mulai marak disuarakan. Salah satunya masalah sampah yang menjadi perhatian banyak orang termasuk pemerintah. Sampah anorganik khususnya, yang butuh puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk dapat didegradasi oleh lingkungan menjadi masalah kompleks.
Dalam satu sisi, penggunaan bahan pengemas yang umumnya anorganik tidak dapat dilepaskan karena konsumen menghendaki kepraktisan yang bisa didapatkan dengan penggunaan pengemas anorganik tersebut. Sementara penggunaan pengemas anorganik limbahnya akan mencemari lingkungan.
Teknologi telah membuat kemasan menjadi berubah peran, dahulu orang mengatakan “Packaging protects what it sells” (Kemasan melindungi apa yang dijual). Pada saat ini, “Packaging sells what it protects” (Kemasan menjual apa yang dilindungi). Dengan kata lain, kemasan bukan lagi sebagai pelindung atau wadah tetapi harus dapat menjual produk yang dikemasnya.
Perkembangan peran kemasan tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Sekarang ini kemasan sudah berperan sebagai media komunikasi. Jika tidak memberikan kesan berbeda dengan produk lain, maka produk baru tersebut akan “tenggelam”.
Kampanye Besek dan Daun Jati
Penampilan pada kemasan tradisional terlihat lebih alami mulai dari warna, tekstur, dan bentuknya. Aroma dari kemasan tradisional memberikan cita rasa dan bau yang khas yang ditimbulkan dari sifat alamiah bahan alam yang dapat mempengaruhi produk di dalamnya. Konstruksi kemasan tradisional yang menggunakan bahan-bahan alam mempunyai kekuatan dan elastisitas tersendiri, yang tidak dapat dijumpai di bahan-bahan buatan pada kemasan modern. Kemasan tradisional antara lain berupa: Daun-daunan (seperti daun pisang, daun jagung, daun kelapa/enau (aren), daun jambu air dan daun jati). Ada juga kemasan dari anyaman bambu dan rotan dalam berbagai bentuk seperti besek, keranjang buah dan sebagainya. Selain itu ada juga kemasan dari kulit atau kelobot jagung, yang juga memiliki keunikan tersendiri. Namun semakin hari, kemasan-kemasan tersebut semakin jarang dijumpai.
Kedudukan besek mulai tergantikan oleh kotak kardus, plastik dan styrofoam. Dahulu bahan baku alam mudah ditemukan, jadi banyak yang membuat kemasan menggunakan bahan dari alam.
Pada era orde baru, lahir industri sintetis, keberadaan bungkus tradisional perlahan-lahan mulai digantikan oleh kehadiran plastik, kresek, sampai Styrofoam. Hal tersebut merupakan alasan kenapa kemasan tradisional mulai jarang digunakan. Antara lain, karena selera dan perilaku masyarakat mulai berpihak pada kemasan instan yang lebih praktis dan tahan lama.
Selebihnya karena faktor biaya, keterbatasan bahan baku dan mulai berkurangnya tenaga kerja yang terlatih untuk membungkus kemasan tradisional terutama besek. Adanya sentuhan desain yang unik akan mampu membuat kemasan tradisional menjadi sebuah kemasan yang eksklusif.
Nuansa Idul Qurban saat inipun diwarnai dengan besek dan daun jati sebagai pembungkus daging sebagai salah satu upaya mewujudkan komitmen ramah lingkungan. Hal ini mengingat masalah sampah yang kini marak disuarakan sehingga menggunakan kemasan tradisional yang mudah untuk didaur ulang. Mengikuti imbauan pemerintah yang turut serta mengkampanyekan pengurangan penggunaan plastik secara serentak dalam mendistribusikan daging kurban dengan menggunakan besek dan daun jati. Kemasan tradisional juga diciptakan supaya mampu mempertahankan ciri khas kebudayaan setempat tanpa mengabaikan identitas untuk mewakili budaya lokal.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: