Merindukan The Declaration of Principles

Oleh :
Ilham Akbar
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public Relations Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu Hukum (FISIPKUM), Universitas Serang Raya, 

Pada saat ini publik kembali dihebohkan dengan krisis akut yang semakin pelik, di mana krisis itu dialami oleh salah satu perusahaan maskapai pesawat terbang yang belum lama berselang ini mengalami suatu kecelakaan yang sungguh dahsyat, di mana penumpang dalam pesawat tersebut tidak ada satu pun yang selamat. Setelah melakukan beberapa proses evakuasi dan proses mencari sebab mengapa pesawat tersebut bisa jatuh, polemik pun kembali menguak di ruang publik. Di mana kejadian tersebut diawali oleh pernyataan resmi dari KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang mengatakan bahwa, pesawat PK-LQP milik Lion Air dengan kode JT61O ternyata tidak layak terbang. Hal ini disebabkan karena Lion Air tidak menggunakan alat sensor Angle of Attack (AoA) baru, melainkan hasil perbaikan.
Memang dalam dunia penerbangan, kesalahan yang awalnya dianggap remeh, dapat berakibat fatal jika tidak memperdulikan keselamatan penumpang. Lion Air sendiri memang pada beberapa tahun belakangan ini selalu terkena masalah yang tiada henti-hentinya, dari mulai pesawat yang sering delay sampai kepada kecelakaan pesawat yang terjadi pada beberapa hari yang lalu. Bahkan hal ini menjadi semakin pelik, ketika beberapa orang menyelewengkan kata Lion menjadi “Late is Our Name”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dialami Lion Air memang bukan permasalahan kecil, tetapi permasalahan tersebut sudah berakar menuju ke dalam pikiran masyarakat. Jika dibiarkan begitu saja, maka Lion Air bukan hanya mendapatkan reputasi negatif saja dari masyarakat, tetapi bisa jadi dalam beberapa waktu ke depan, para pelanggan yang awalnya selalu setia dengan Lion Air, tetapi pada akhirnya bisa berpaling menuju perusahaan maskapai pesawat terbang yang lain. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan harus mengutamakan keterbukaan informasi dengan sebaik mungkin. Bukan justru menyimpan informasi atau bahkan membohongi publik, sehingga pada akhirnya sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tecium juga.
Mengenal The Declaration of Principles
Pada tahun 2012 lalu Jo Robertson melakukan riset terhadap para jurnalis, seperti produser, penulis berita, dan editor, di Washington D.C, Amerika Serikat. Riset ini menggunakan metode studi kasus tentang: “apakah perusahaan perlu secara proaktif me-release informasi-informasi akibat krisis daripada menunggu sampai media memberitakannya?” Riset ini juga menganalisis isi pemberitaan, dan mensurvei 56 jurnalis. Hasil riset antara lain: 95% jurnalis mengatakan bahwa mereka lebih mencurigai perusahaan yang mencoba menutup-nutupi peristiwa, daripada perusahaan yang secara proaktif merelease informasi. Sembilan dari sepuluh jurnalis mengatakan bahwa jika perusahaan diketahui menyimpan atau tidak menyampaikan informasi akan menyebabkan jurnalis menggali data lebih mendalam dan lebih sering/keras menggali informasi yang bersifat menyalahkan organisasi (Kriyantono, 2012: 204).
Jadi pada intinya, dimanapun letak perusahaan itu berada, atau di Amerika maupun di Indonesia, keterbukaan informasi merupakan faktor utama untuk menentukan keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan reputasi positif di mata publik. Tetapi sialnya pada saat ini perusahaan selalu terhanyut dengan kenikmatan surga kapitalisme yang tiada hentinya. Sangat disayangkan memang, jika di negeri yang katanya demokrasi ini, keterbukaan informasi kepada publik masih kurang diperhatikan oleh beberapa perusahaan. Dan hal ini dibuat semakin pelik, ketika para humas/public relations yang berada di dalam suatu perusahaan tersebut tidak menjadi tulang punggung perusahaan untuk menciptakan keterbukaan informasi, tetapi justru para humas/public relations tersebut selalu berkutat untuk pencitraan perusahaan.
Jika para humas/public relations yang berada di dalam suatu perusahaan tersebut tidak mengutamakan keterbukaan informasi, maka mereka tidak memahami betul apa yang telah di ajarkan oleh the father of public relations yaitu, Ivy Ledbetter Lee. Di awal abad ke 21, Lee dipercaya menjadi konsultan di perusahaan kereta api. Lee mempunyai prinsip “tell the truth” tentang kecelakaan yang menimpa perusahaan itu. Ketika ia bekerja sebagai jurnalis, Lee menemukan bahwa industri-industri konglomerat di Amerika cenderung bersikap tertutup berkaitan dengan dominasi ekonomi yang mereka lakukan. Menurutnya, ketertutupan informasi ini merupakan sebuah kebijakan yang tidak bijak. Karenanya, Lee memutuskan mendirikan sebuah biro informasi dan mengenalkan ide-idenya yang disebut “the declaration of principles”, yang berisi komitmennya untuk menyediakan keterbukaan informasi dan sebagai penyedia informasi (Kriyantono, 2012: 188).
Jika Ivy Lee saja bisa melakukan itu pada masa lampau yang penuh dengan kediktatoran, lalu mengapa Indonesia yang sudah lama menganut sistem politik demokrasi, tidak bisa melakukan hal itu? Bukankah pada saat ini dapat dikatakan sebagai era keterbukaan informasi? Tetapi masih ada saja perusahaan yang tidak mau membuka informasi kepada publik, karena alasan jika semakin sering membuka informasi maka reputasi dari perusahaan tersebut akan menjadi negatif. Oleh sebab itu, jika ada yang salah dari sistem manajerial perusahaan, maka harus segera dibenahi, atau jika ada yang salah dalam proses teknis maupun produksi, maka harus segera disempurnakan, sehingga ketika semua itu sudah benar-benar rampung, lalu jangan pernah ragu untuk membuka informasi kepada publik.
Maka dari itu, keterbukaan informasi bukan hanya diterapkan pada saat krisis saja, tetapi keterbukaan informasi harus selalu diberikan kepada publik pada setiap harinya, dan ketika jurnalis meminta informasi jangan pernah menganggap bahwa jurnalis tersebut adalah salah. Jika saat ini adalah era revolusi industri 4.0, maka informasi pun jangan seperti di era industri 1.0, yang di mana pada era tersebut informasi sering kali dibungkam begitu saja. Kerinduan terhadap praktik public relations yang dilakukan oleh Ivy Lee jangan terus dibiarkan semakin membesar. The declaration of principles jangan hanya diterapkan oleh Lion Air saja yang sedang mengalami krisis, tetapi formula yang diciptakan oleh Ivy Lee tersebut harus diterapkan oleh semua perusahaan yang berada di Indonesia, sehingga beberapa perusahaan Indonesia tidak terus menerus melakukan pencitraan yang artifisial.

———- *** ———–

Tags: