Merumahkan Edukasi Ramah Siswa Autistik

Oleh :
Habibah Auni
Alumni S1 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada ; Penulis aktif sebagai aktivis Pemuda Autisme Indonesia.

Seorang anak duduk menghadap komputernya. Mengejar titik tempuh pembelajaran yang dipimpin oleh seorang guru. Tertatih-tatih. Berusaha bangkit. Berdiri tegak lalu mengejar pelarian teman-teman sekelasnya. Ah! Tak kunjung terkejar! Kembali jatuh; dalam lubang yang lebih dalam. Teman-temannya sudah sampai di titik akhir. Ia tetap saja terjebak!

Sebuah ilustrasi yang tepat menggambarkan kondisi sekelompok wong cilik di era new normal atau kenormalan baru, lebih tepatnya sekelompok siswa autistik. Dengan kondisi neurologis yang membuat individunya menyukai rutinitas dan menghabiskan waktu untuk minat mendalam, new normal dengan ketidakpastiannya membuat siswa-siswa autistik rentan akan autistic burnout, autistic meltdown, ataupun autistic shutdown.

Mengingat new normal bisa memiliki beberapa interpretasi, seperti: apakah penduduk di seluruh Indonesia akan terus dirumahkan? Jika benar demikian, maka siswa-siswa autistik tidak akan mendapatkan masalah yang berarti selama mengikuti pembelajaran. Pasalnya sistem pendidikan ini terus berlangsung dari awal pandemi hingga sekarang, sehingga rutinitas pembelajaran siswa-siswa autistik pun tetap sama secara terus-menerus.

Namun apabila new normal diartikan sebagai kehidupan dengan porsi aktivitas di dalam rumah – di luar rumah yang tidak beimbang, maka siswa-siswa autistik akan kesulitan mengikuti proses pembelajaran. Terjadi perubahan rutinitas mereka sehingga menyebabkan peningkatan angka stres di diri siswa-siswa autistik.

Prediksi new normal

Untuk menjawab interpretasi tadi, bolehlah kita mengutip laman Tempo.co, yang menyebutkan bahwa selama masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Beberapa daerah yang mendapatkan imbauan ini diharapkan dapat menerapkan prinsip kehati-hatian selama menjalankan kegiatan pembelajaran.

Kendati demikian, survei milik Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menunjukkan bahwa mayoritas orang tua menginginkan pembelajaran tatap muka (PTM) setelah masa PPKM.

Alasannya sederhana: orang tua mendambakan anak-anak dengan kondisi yang bisa dikontrol dengan baik. Mulai dari mampu menjaga kemampuan interaksi sosial anak dengan teman sebayanya, memeroleh bimbingan mengenai cara beradaptasi dengan kebiasaan baru, hingga mempelajari cara mengelola waktu dengan baik.

Mengingat selama masa pembelajaran daring berlangsung siswa autistik kesulitan mengikuti pembelajaran dan bersosialisasi dengan teman sepantarannya. Dengan mengasumsikan new normal sebagai integrasi antara PPKM dengan PTM, maka bisa disimpulkan bahwa masa PPKM memberlakukan pembelajaran daring, sementara masa PTM mewajibkan pembelajaran luring.

Menuju Pendidikan Ramah Autisme

Prediksi akan new normal dengan penuh kepastian ini bisa menjadi acuan dalam menetapkan standar kegiatan belajar mengajar yang cocok untuk siswa autistik. Dengan mengacu pada dua metode pembelajaran di era new normal, maka sekolah dapat memberlakukan dua standar kegiatan belajar mengajar yang dilakukan secara bertahap dan berurutan.

Sebelum berangkat lebih jauh, ada baiknya pemerintah merumuskan kebijakan mengenai pendidikan berbasis autisme terlebih dahulu dengan milenial autisme. Suatu konsep pendidikan yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi siswa autistik.

Balik ke soal kebijakan; lantas, mengapa perumusan kebijakan pendidikan ini harus melibatkan peran milenial autistik? Alasannya sederhana. Milenial autistik mempunyai otak dengan spektrum yang serupa dengan anak-anak autistik. Berbeda dengan orang tua, terapis, ataupun guru dengan saraf serupa — yang memiliki cara berpikir berbeda, sehingga kerap kali kurang tepat dalam melihat dan menyuarakan kebutuhan siswa-siswa autistik.

Sesudah mendapatkan kepastian kebijakan dari pemerintah, langkah berikutnya diserahkan kepada pihak sekolah. Di sini, pihak sekolah akan membentuk departemen pendidikan autisme di struktur kepengurusan sekolah.

Departemen ini bertanggung jawab dalam mempromosikan pengetahuan autisme di ruang lingkup sekolah sedari masa PPKM, PTM, hingga di masa mendatang. Dengan memasukkan topik ini ke dalam kurikulum pendidikan khusus autisme.

Akan ditunjuk seseorang sebagai koordinator departemen pendidikan autisme. Bertanggung jawab dalam menciptakan strategi instruksional berbasis kekuatan terhadap siswa autistik.

Di departemen tersebut, terlibat pula psikolog sekolah yang akan mengambil peran lebih dari sekadar sebagai konselor. Berkewajiban dalam mendata kebutuhan siswa autistik — apakah bisa berbaur dengan siswa-siswa non disabilitas atau tidak. Tak lupa mendiskusikannya dengan orang tua.

Departemen pendidikan autisme juga bisa merekrut milenial autistik ke tim mereka. Biar bisa menjadi think tank terbaik dalam menyusun kegiatan belajar mengajar berbasis pendidikan autisme. Tambah lagi menjadi tenaga bantuan guru dan orang tua dalam melakukan pendekatan ke siswa-siswa autistik.

Guna menciptakan titik temu antara ekspektasi orang tua dengan kebutuhan emosi dan akses pendidikan siswa autistik. Secara rutin, departemen pendidikan autisme akan menjalin pertemuan dengan guru, terapis, dan orang tua. Ditemani guru, departemen tersebut akan mendiskusikan siswa autistik bersama terapis.

Berselang beberapa hari berikutnya, departemen ini bakal mengadakan pertemuan rutin dengan orang tua. Membahas seputar strategi pembelajaran pada masa PPKM dan PTM, tak lupa penanganan yang diberikan kepada siswa autistik. Pembelajaran akan diambil alih oleh guru-orang tua selama masa PPKM dan guru sepenuhnya semasa PTM.

Pertama, masa PPKM. Orang tua diharapkan mampu membimbing anak autistiknya selama menjalani rutinitas yang telah disusun bersama pihak sekolah. Adapun kegiatan sehari-hari anak autis melibatkan kegiatan-kegiatan utama mereka, seperti waktu mengikuti pembelajaran di sekolah via daring, jadwal makan, mandi, olahraga, dan masih banyak lagi. Kegiatan sehari-hari juga disesuaikan dengan minat mendalam mereka, sehingga mereka tidak tertekan tatkala mengikuti rutinitas yang terprogram.

Rutinitas siswa-siswa autistik di rumah dimulai dengan melakukan role play kegiatan sehari-hari selama masa pandemi, yang menerapkan pembelajaran daring. Jika anak sudah menunjukkan ‘tanda kesulitan’ dalam mengikuti pembelajaran, maka sebaiknya orang tua melakukan intervensi perilaku, dengan keputusan yang dirundingkan bersama departemen pendidikan autisme dan terapis.

Tidak lupa departemen pendidikan autisme untuk membentuk online support group untuk siswa-siswa autistik di sekolah mereka. Dengan milenial autistik sebagai pemandu proses bersosialisasi mereka.

Berikutnya, masa PTM. Sebelum membuka sekolah, ada baiknya seluruh siswa autistik diajak keliling sekolah mereka yang kini menerapkan protokol kesehatan. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan secara rutin dan sesuai jadwal belajar siswa autistik. Berlangsung dari masa pandemi hingga tepat sebelum masa PTM, untuk membiasakan siswa autistik dengan pola pembelajaran terintegrasi seperti ini.

Jika siswa autistik sudah dipastikan merasa aman dengan pola pembelajaran ini, maka porsi pembelajaran luring bisa ditambahkan secara perlahan seiring berjalannya waktu. Tentunya dengan berkomunikasi dengan siswa autistik. Barulah kemudian sekolah menerapkan pembelajaran luring secara menyeluruh.

Adapun departemen pendidikan autisme akan melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran luring, dan membandingkannya dengan pembelajaran daring. Sebagai catatan, evaluasi dilakukan dengan dua tahap.

Tahap pertama adalah mengevaluasi efektivitas pembelajaran berbasis autisme. Apakah pada praktiknya sudah mengakomodasi siswa autistik atau malah menciptakan rasa stres pada siswa autistik lantaran masalah sensorik. Tahap terakhir ialah mencari tahu apakah evaluasi pada tahap sebelumnya bisa dijadikan referensi peremajaan kebijakan pendidikan. Entah itu di tingkat sekolah maupun nasional.

———- *** ———–

Tags: