Metafora Segumpal Daging

Buku Al QolbuJudul Buku      : Alaa Wa Hiya Al-Qolbu
Penulis            : Iqra’ Firdaus
Penerbit          : Safirah
Cetakan          : I, 2016
Tebal               : 224 halaman
ISBN                : 978-602-0806-77-8
Peresensi      : Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka semua anggota tubuh akan baik. Apabila segumpal daging itu buruk, maka semua anggota tubuh akan menjadi buruk pula. Segumpal daging itu adalah hati (qalbun).
Begitulah sabda Nabi Muhammad SAW (HR. Bukhari dan Muslim). Kita tentu akrab dengan redaksi hadits di atas. Buku ini menerangkan makna hadits tersebut, cara menghidupkan hati, dan mewaspadai berbagai penyakit hati. Memaknai hadits di atas, hati yang dimaksud memiliki dua pengertian, yakni hati jasmani dan hati ruhani. Dalam bahasa Arab, qalbun bisa berarti jantung (hlm. 15).
Dari sisi medis, jantung dianggap sebagai pusat kehidupan manusia. Jantung adalah organ vital yang berperan penting bagi berlangsungnya fungsi mekanisme anggota tubuh lainnya. Sedangkan hati ruhani tak kasat mata, tak bisa diraba, bersifat robbani, dan media bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah SWT. Meskipun bisa dikaitkan dengan hati jasmani, hadits di atas lebih berkaitan dengan hati ruhani mengingat sabda Rasulullah SAW tersebut merupakan akhir pembicaraan tentang haram, halal, dan syubhat.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya yang halal telah jelas, yang haram telah jelas, dan di antara keduanya adalah hal-hal syubhat yang tak diketahui banyak orang. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal syubhat, ia benar-benar melakukan pembebasan bagi agama dan harga dirinya. Barangsiapa terjerumus pada hal-hal yang syubhat, ia pasti akan terjerumus pada yang haram.” Hadits yang masih panjang ini dipungkasi pernyataan Rasulullah SAW tentang segumpal daging.
Pilihan diksi “segumpal daging” yang digunakan Rasulullah SAW lebih bersifat metafora. Itulah kepiawaian beliau berkomunikasi menyampaikan risalah sesuai tingkat pemahaman pendengarnya (hlm. 24-25). Sebagaimana secara jasmani, hati ruhani pun berperan sangat penting bagi kesehatan ruhani. Baik dan buruknya kondisi hati ruhani dapat berpengaruh terhadap kejiwaan, emosi, bahkan terhadap tubuh.
Pasalnya, tubuh atau jasad hanyalah pelaksana yang menjalankan perintah hati. Apabila hati baik, anggota tubuh akan ikut ke jalan yang baik. Apabila hati buruk, anggota tubuh akan mengarah pada jalan keburukan. Kejahatan maupun kebaikan seseorang bergantung pada kebersihan dan kekotoran hati ruhaninya. Secara umum, kondisi hati manusia terdiri dari tiga macam, yakni hati yang sehat, sakit, bahkan mati.
Rasulullah SAW mengumpamakan hati yang sehat layaknya sebuah cangkir yang paling bening, tipis, dan kuat. Bening berarti bersih dari dosa, sehingga hati menjadi jernih melihat, menimbang, dan menilai suatu masalah. Tipis berarti hati yang lembut, memiliki empati, peka, dan memiliki kecerdasan emosi, sehingga jauh dari sifat-sifat tercela. Kuat berarti tahan banting dan tak mudah pecah atau retak. Maksudnya, hati yang tangguh dan sabar.
Hati yang sehat adalah hati yang bersih (qalbun salim). Sedangkan hati yang sakit adalah hati yang hidup, tetapi mengandung penyakit. Hati yang sakit kadang cenderung pada ketaatan, kadang condong pada kemaksiatan. Dalam kondisi hati seperti itu terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah SWT, namun terdapat pula penyakit hati, seperti dengki, ujub, riya’, dan semacamnya.
Hati yang mati berarti tak ada kehidupan di dalamnya. Hawa nafsu pemimpinnya, syahwat komandannya. Hati yang mati tak mampu mendorong lahirnya tindakan-tindakan ruhaniah. Kita sangat perlu memahami kondisi hati kita masing-masing. Jika hati sakit, kita perlu menyehatkannya. Jika hati mati, kita perlu membuka relung kesadaran dan bergegas bertobat agar hati tak menjadi keras seperti batu dan penuh dengan noktah-noktah hitam. Buku ini menegaskan betapa pentingnya kita menghindarkan penyakit-penyakit hati.
Penyakit hati pada dasarnya berasal dari nafsu buruk yang diperturutkan, sehingga melahirkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Hati yang tidak sehat akibat kekurangan iman. Obatnya adalah ketaatan, keikhlasan, dan tawakal. Agar hati tetap sehat dan bersih harus dijaga dengan sifat-sifat dan perilaku mulia. Kewajiban kita adalah menjaga hati dan iman agar produktif beramal shalih dan menghindari tindakan zalim, baik kepada Allah SWT, sesama manusia, lingkungan, maupun terhadap diri sendiri (hlm. 160-163).
Hati yang bersih bisa diraih apabila orientasi hidup kita hanya ditujukan kepada Allah SWT yang ditandai dengan selalu mengharapkan kasih sayang-Nya (raja’) dan takut akan hukuman-Nya (khauf) (hlm. 183). Sesungguhnya  Allah SWT tidak memandang rupa dan harta kita, tetapi memandang hati dan amalan kita (HR. Muslim).
Kondisi hati adalah cermin perilaku kita sehari-hari. Hati juga menjadi sumber cahaya ruhani. Buku ini mendorong kita untuk tak alpa menyucikan hati. Barangsiapa yang hatinya bercahaya pasti memperoleh kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Selamat membaca.

                                                                                                 ———————– *** ———————–

Rate this article!
Metafora Segumpal Daging,4.67 / 5 ( 3votes )
Tags: