Mewariskan Bencana untuk Anak Cucu

Wahyu Kuncoro SNHidup di Negeri Rawan Bencana (1 – bersambung)

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ; Peneliti senior Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Bencana demi bencana yang dialami bangsa kita ini tak seluruhnya karena kehendak alam, namun juga merupakan hasil dari apa yang dilakukan manusia terhadap alam lingkungannya. Letusan beberapa gunung berapi yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air adalah bagian dari upaya alam untuk memperbarui dirinya. Sementara, banjir bandang berikut tanah longsor yang susul menyusul atau bencana asap yang berkepanjangan adalah reaksi balik alam atas berbagai perlakuan abai manusia terhadap alam dan lingkungan, baik itu berupa perusakan hutan atau tergusurnya saluran-saluran air.
Berkaca dari realitas tersebut, bencana alam bisa dibedakan atas dua bagian besar, yakni bencana yang murni datang karena fenomena alam, seperti gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami, serta bencana yang terjadi karena ulah dan kerakusan manusia, seperti banjir. Untuk bencana yang murni disebabkan fenomena alam, tak ada pilihan selain menghadapinya dengan upaya meminimalisasi korban jiwa dan harta benda, sementara untuk bencana yang diakibatkan ulah manusia, seperti banjir, bisa diminimalisasi melalui penegakan hukum atas pelaku penebangan hutan, merawat wilayah konservasi air, normalisasi sungai, serta perbaikan tata ruang.
Sudah menjadi takdir, bangsa kita mengalami berbagai bencana vulkanik, mengingat Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng tektonik HindiaAustralia, Eurasia, dan Pasifik, yang disebut ‘Cincin Api’. Di luar itu, masyarakat harus terus meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan dengan menjaga kelestariannya. Dengan begitu, kita mengurangi potensi bencana akibat ulah kita sendiri.
Manajemen Risiko Bencana
Berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi. Tingginya risiko bencana Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Sehingga tidak mengagetkan kalau Indonesia ini juga dijuluki sebagai negeri bencana. Semestinya, jika bencana itu dari tahun ke tahun selalu datang, perlu ada manajemen risiko untuk mengantisipasi atau mengatasi bencana tersebut. Pertanyaanya, sudahkah bangsa ini memiliki atau setidaknya menyiapkan manajemen risiko bencana secara memadai?
Manajemen risiko adalah sebuah perencanaan untuk menghilangkan atau mengurangi dampak dari bencana yang hampir setiap tahun terjadi. Nah, jika bencana selalu terjadi dengan intensitas yang semakin tinggi atau sama, berarti tidak ada manajemen risiko yang dilakukan atau mungkin jika dilakukan kurang tepat. Mitigasi adalah bagian dari manajemen risiko yang semestinya dilakukan setiap daerah yang memang terhadap bencana.
Beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah bahkan Ibukota Jakarta hampir setiap tahun terkena bencana banjir sehingga semestinya mempunyai mitigasi bencana yang bagus. Selalu terulangnya bencana menandakan ada yang kurang tepat dalam melakukan mitigasi. Dengan mitigasi bisa dipetakan daerah mana yang berisiko terkena bencana saat musim penghujan atau kemarau. Selain itu, mitigasi bencana-bencana lain seperti gempa bumi atau kebakaran, juga perlu dilakukan. Dengan mitigasi maka akan terpapar jelas daerah mana yang mempunyai risiko tinggi dan mana yang rendah. Namun jika telah melakukan mitigasi perlu diingat, daerah yang mempunyai risiko rendah justru mempunyai dampak yang paling besar.
Seperti disebut di atas, mitigasi merupakan bagian manajemen risiko. Dalam manajemen risiko maka akan terpapar besaran risiko dan akan bagaimana cara mengantisipasinya. Nah, dasar manajemen risiko adalah biasanya yang mempunyai risiko paling rendah (probabilitas kejadian paling kecil), justru mempunyai dampak paling besar. Artinya meskipun sudah dilakukan mitigasi dan menemukan wilayah dengan risiko yang paling rendah, pengawasan dan langkah antisipasi juga harus semakin detail, termasuk daerah yang mempunyai risiko kejadian paling kecil.
Mitigasi bencana sangat dibutuhkan daerah-daerah yang rawan terhadap bencana. Memang bukan sekadar tugas pemerintah, kesadaran masyarakat pun perlu ditingkatkan untuk menghindari daerah-daerah rawan bencana. Perlu ada langkah tegas pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran tentang mitigasi bencana. Tujuannya memang untuk menghindarkan masyarakat agar tidak menjadi korban bencana.
Mitigasi bencana sesungguhnya sudah dikenal oleh nenek moyang kita. Salah satu contoh yang pernah dikupas media internasional adalah rumah panggung Mentawai. Bentuk rumah panggung adalah salah satu bentuk mitigasi masyarakat lokal terhadap gempa bumi yang acap terjadi di daerah Mentawai. Rumah panggung lebih tahan terhadap guncangan gempa daripada rumah beton yang tertanam di tanah. Namun, itu rumah panggung justru ditinggalkan dengan alasan kuno atau tidak modern. Padahal, rumah panggung adalah bentuk mitigasi bencana paling sederhana untuk menghindari korban bencana saat gempa bumi. Jika memang bencana terus terjadi hingga menelan korban jiwa, artinya pengetahuan masyarakat dan pemerintah masih sangat rendah tentang mitigasi. Masyarakat dan pemerintah semestinya bisa berkaca pada kejadian-kejadian sebelumnya yang terus menelan korban jiwa. Apakah rendahnya mitigasi bencana masih akan dipertahankan dan tahun depan bencana hingga menelan korban jika kembali terjadi, tentu pemerintah dan masyarakat harus satu kata.
Mitigasi Tidak Boleh Melemah
Di awal-awal kejadian pasca bencana, biasanya  upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menghadapi bencana amat intens diberikan oleh berbagai elemen. Masyarakat diberikan mitigasi bencana supaya menumbuhkan kesadaran bahwa kita harus hidup berdampingan dengan bencana. Kala itu masyarakat merespon karena baru saja berhadapan dengan bencana tersebut. Tetapi lama kelamaan terlihat bahwa model mitigasi bencana yang tertuang ke dalam berbagai konsep sudah mulai ditinggalkan. Ambil contoh mengenai syarat bangunan yang seharusnya dibangun dengan menggunakan model antisipasi bencana gempa, malah tidak dituruti oleh masyarakat. Ini erat kaitannya dengan sikap pemerintah daerah yang tidak mau perduli terhadap risiko bencana yang mengancam setiap saat. Rumah warga dibiarkan dibangun tinggi-tinggi, bahkan dekat dengan pinggir laut, tempat paling berisiko terhadap gelombang bencana. Demikian juga dengan upaya mencegah jatuhnya korban jika ada bencana hampir semakin tidak ada. Latihan dalam menghadapi bencana malah sudah tidak pernah terdengar lagi. Malah alat peringatan dini tsunami yang banyak di pasang di laut sudah berhilangan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Papan-papan jalur evakuasi yang dulu dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, kini semakin tidak kelihatan.
Jika dulu di sekolah-sekolah yang berdekatan dengan daerah bencana selalu diberikan latihan dan pendidikan kebencanaan sehingga sedari kecil anak-anak juga belajar bagaimana menghadapi bencana. Sayangnya semuanya sudah semakin longgar. Kenangan mengenai betapa hebatnya bencana sudah tinggal menjadi kenangan belaka. Masyarakat sepertinya mulai terbiasa bahwa hidup yang sekarang adalah hidup yang bebas dari bencana. Dalam konteks inilah kehadiran Sekolah Siaga Bencana memiliki urgensi yang mutlak di Indonesia. Pasalnya ancaman bencana di Indonesia tak pernah berbohong. Satu hal yang sudah sekian laman terbengkalai adalah kurangnya pendidikan siap siaga bencana di usia dini.
Inilah yang harus diperingatkan oleh pemerintah daerah dimanapun khusus yang rawan bencana. Bencana gempa, longsor, banjir, letusan gunung, sudah pernah terjadi di daerah ini. Pendidikan bencana harus terus menerus diberikan supaya jangan sampai korban jatuh karena ketidaksiapan diri sendiri. Bencana bisa dihadapi, seperti masyarakat di Jepang, dengan belajar hidup menyesuaikan diri dengan bencana itu sendiri. Pemerintah harus benar-benar menjadikan ini persoalan serius.
Sekarang, saatnya kita membumikan nilai-nilai mitigasi bencana itu. Di kalangan pemerintah, juga masyarakat. Setiap jengkal di negeri ini punya potensi bencana alam yang mematikan jika tidak disikapi dengan arif dan bijak. Dan kita tentu tidak ingin kalau potensi bencana alam itu akan kita wariskan untuk  anak cucu kita.  (bersambung)

                                                                                                                           ——— *** ———-

Rate this article!
Tags: