Mewaspadai Gelombang Urbanisasi

ABD HANNANOleh :
Abd Hannan
Akademisi Sosial di Pascasarjana Sosiologi, Sekaligus anggota Tim Riset Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.

Saat ini tengah merampungkan tesis, mengenai Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial Masyarakat Urban Surabaya.
Setalah tradisi mudik lebaran berlalu, beberapa hari kemudian muncul satu fenomena sosial tahunan, urbanisasi. Fenomena urbanisasi merupakan gelombang kehadiran masyarakat ke berbagai kota, setelah sebelumnya mengalami gelombang surut lantaran ditinggal lebaran di kampung halaman masing-masing. Puluhan, bahkan ratusan ribu masyarakat dari segala penjuru daerah berdatangan ke kota-kota besar. Mulai dari yang masih remaja, dewasa, bahkan yang belia sekalipun. Latarnya pun beragam, dari yang terdidik, keterbataasan ekonomi, atau yang hanya bermodal nekat.
Pada umumnya, gelombang urbanisasi didorong  oleh keinginan diri meningkatkan taraf kualitas hidup. Demikian sangatlah beralasan, mengingat tingkat kesejahteraan antara hidup di kota dan desa berada pada gab yang sangat jauh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistic (BPS), presentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2015 sebesar 8,22%, sedangkan. Sedangkan persentase penduduk miskin perdesaan tercatat 14,09%. Hampir dua kali lipat perbedaannya.
Pada saat bersamaan, tingginya penerimaan upah atau gaji di perkotaan, serta menggeliatnya pembangunan indsutri berskala sedang-besar menjadi semacam magnet kuat. Menarik perhatian masyarakat pedesaan untuk berbondong-bondong mendatangi perkotaan. Dengan mengadu nasib ke perkotaan, ada harapan memperoleh penghidupan yang lebih baik. tetntu, tidak ada salah dengan keinginan tersebut. Karena, negara sendiri telah memberi payung konstitusi. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Problem (sosial) Urbanisasi
Besarnya arus urbanisasi berdampak hebat pada populasi penduduk. Jakarta, misalkan. Sebagai salah satu kota metropolitan yang paling banyak dituju kaum urban. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) memprediksi, dalam momen arus balik lebaran tahun ini saja, sebanyak 72.649 jiwa pendatang baru akan membanjiri Jakarta. Angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu yang mencapai 70. 593 jiwa.
Selama kaum migran yang datang ke perkotaan memiliki modal keahlian dan skill yang kompetitif. Mampu menjangkau lapangan pekerjaan sector formal. Maka, sebetulnya seberapa besar arus urbanisasi terjadi, yang demikian bukan suatu persolan. Namun, akan sangat berbeda manakala para kaum migran yang datang ke kota-kota besar tidak memiliki kecakapan dan kemampuan yang cukup. Sebatas keahlian diri bekerja di sector informal. Padahal, selama ini sector pekerjaan informal belum sepenuhnya memperoleh perhatian serius pemerintah. Sehingga, ketika arus urbanisasi mengalir dalam jumlah yang besar, dan tidak dapat diimbangi oleh ketersediaan lapangan pekerjaan yang memadai. Maka, yang demikian akan menjadi problem besar bagi pemerintah kota.
Kaitannya dengan persoalan di atas, Dommininique Lappiere (1986) dalam bukunya, City of Joy, menjelaskan bahwa gelombang urbanisasi besar-besaran (over urbanization) yang terjadi di banyak kota metropolitan kerapkali menimbulkan beragam persoalan besar. Persoalan tersebut muncul sebagai konsekuensi ketidakmampuan pemerintah kota mengakomodir segala macam kebutuhan kaum migran. Pada saat bersamaan, kaum migran sendiri tidak cukup terampil untuk berkompetisi di persaingan global. Jadilah kemudian mereka mengalami keterbatasan dalam hal ekonomi. Pengangguran menumpuk. Kriminalitas meningkat. akibatnya, kota pun perlahan mulai kehilangan fungsinya. Bangunan liar dan permukiman kumuh tumbuh di setiap pojok. Bantaran kali di sulap dengan bangunan-bangunan setengah permanen. Pada akhirnya, kota pun sekan menjadi hunian mati. Penuh dengan setumpuk problem sosial-lingkungan, sehingga tidak lagi representative sebagai daerah layak huni.
Solusi Jangka Panjang
Kian tingginya laju urbanisasi, sejatinya merupkan masalah serius terhadap keberlanjutan pembangunan bangsa ke depan. Dikatakan masalah serius, karena sejauh ini laju urbanisasi sulit dikendalikan. Sehingga, bukan saja berefek buruk bagi kondisi perkotaan yang tidak lagi kuat menampung. Namun, juga berdampak pada ketidakmerataan pembangunan bangsa.
Dalam banyak studi dan kajian tentang urbanisasi, disebutkan bahwa fenomena urbanisasi hakikatnya adalah satu bentuk respon masyarakat pedesaan atas realitas pembangunan sosial-ekonomi yang tidak merata. Sulitnya menemukan lapangan pekerjaan, serta rendahnya posisi tawar produk-produk pertanian. Padahal, sebagaimana dimaklumi, pertanian merupakan pencarian utama masyarakat pedesaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Sehingga, ketika kehidupan di desa tidak cukup mampu menjawab kebutuhan dan kesejahteraan hidup. Maka, jalan alternatifnya adalah masuk ke pintu kota-kota besar. Itu artinya, faktor kehadiran kaum migran di berbagai kota-kota besar bukan atas landasan subjektivitas diri. Melainkan lebih karena dorongan eksternal. Yaitu, tuntutan lingkugan sosial ekonomi pedesaan yang dalam kenyataannya mengalami kemiskinan dalam segala sector. Itu artinya, urbanisasi terjadi karena tidak meratanya pembangunan antara kota-desa.
Oleh sebab itu, solusi perihal urbanisasi tidak semata cukup pada aktivitas sweeping, razia pendatang liar, pelaksanaan yustisi. Dalam kondisi tertentu, khususnya untuk keperluan jangka pendek, upaya-upaya tersebut memang ralatif diperlukan. Namun, dalam kebutuhan jangka panjang, hal paling urgen adalah bagaimana membangun daerah secara kolektif. Pedesaan, pedalaman, dan tempat-tempat pinggiran. Bangsa ini memiliki  modal besar menuju ke arah sana. Apalagi, dalam tahun ini, era kepemimpinan  Jokowi-Jk mengalokasikan dana 47 triliun untuk mendongkrak percepatan pembangunan desa.
Dalam konteks inilah, peran segenab stake holder dalam membangun daerah masing-masing mutlak diperlukan. Haeus ada sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah propensi, pemerintah daerah, dan perangkat desa agar saling bahu membahu dan akktif menjalin komunikasi. Era otonomi daerah sebagai langkah mewujudkan pemerataan pembangunan harus digerakkan semaksimal mungkin. Apalagi, pangkal persoalan urbanisasi bukanlah tentang bagaimana membendung dan menangkal arus urbanisasi. Melainkan, bagaimana meyakinkan masyarakat pedesaan, bahwa di daerah pedesaan pun tidak kalah baiknya menyediakan sumber penghidupan. apalagi Harapannya, ada rasa betah masyarakat desa untuk menetap dan mengais rejeki dari sumber kekayaan alam daerahnya.

                                                                                                                   ——— *** ———-

Rate this article!
Tags: