Mewaspadai ‘Penumpang Gelap’ Mobil Nasional

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya
Bahwa mobil Esemka-nya Jokowi atau mobil listrik Dahlan Iskan bersama Pandawa Putra Petir-nya memang belum mampu memenuhi harapan kita bahkan nyaris nasibnya kini dilupakan. Namun kita sungguh berharap kondisi tersebut tidak memupuskan semangat para putra-putra terbaik negeri ini untuk memberikan karya dan inovasi terbaiknya.
Harus kita akui, terlepas dari kontroversi yang ada, kehadiran mobil Esemka telah mampu memacu para siswa SMK untuk berlomba menghasilkan karya dan inovasinya. Kita juga harus terus merawat budaya inovasi yang tengah bersemi dan berkembang di kampus-kampus untuk mengembangkan riset tentang karya otomotif.  Bahwa ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan atau mengambil keuntungan atas karya mereka tentu itu tidak boleh mematahkan semangat untuk terus berkarya dan berinovasi.
Masyarakat dan utamanya media nampaknya juga harus kritis dalam melihat dan memberitakan sesuatu. Kita masih ingat betul betapa media mengelu-elukan Jokowi saat memunculkan mobil Esemka dulu. Rasanya di mata media saat itu tak boleh ada pihak yang mengkritik Jokowi karena dianggap telah berjuang untuk membangkitkan semangat mencintai tanah air. Namun sayangnya, ketika Jokowi sudah di puncak popularitas apa yang dulu diperjuangan dan telah mengantarkannya di puncak popularitas nasibnya (mobil Esemka, red) nyaris tak terdengar. Bahkan dalam kampanye Pilpres pun Jokowi tidak lagi menyebut mobil Esemka apalagi mobil nasional. Padahal logikanya, ketika nanti menjadi Presiden maka kebijakan untuk mewujudkan mobil nasional akan sangat menentukan kalau memang benar-benar ingin mewujudkannya.
Berkaca dari pengalaman tersebut, hemat penulis, publik memang harus selalu mewaspadai bahwa akan selalu ada ‘penumpang gelap’ dalam setiap kebijakan. Dalam konteks mobil nasional, baik mobil nasional yang berbasis konvensional yakni yang masih memakai BBM maupun yang menggunakan mobil listrik dapat ditemukan  dua tipe ‘penumpang gelap’ yang patut diwaspadai.
Pertama, adalah penumpang yang memang ingin mencari gratisan dari program yang ingin dijalankan. Dalam konteks mobil nasional, maka penumpang gelap dalam hal ini adalah mereka yang mencoba memanfaatkan program mobil nasional untuk meraup keuntungan baik materi maupun sekadar popularita politik. Penumpang gelap yang masuk tipe ini juga mereka yang secara ekonomi mendapat keuntungan lewat proyek-proyek yang mengiringi maupun kegiatan lain yang menghasilkan rupiah dengan mengatasnamakan pengembangn mobil nasional.
Kedua, penumpang tipe ini adalah penumpang yang ikut terlibat dalam program ini tetapi bukan untuk mendorong tetapi justru mengganggu. Bahkan bukan tidak mungkin untuk membelokkan arah agar tidak bisa segera sampai tujuan. Artinya, program mobil nasional yang ada penumpang gelapnya tipe ini akan terancam layu sebelum berkembang. Bahwa dalam konteks mobil nasioal sesungguhnya tantangan yang nyata tetapi tidak terlihat adalah masuknya kepentingan-kepentingan asing dalam industri otomotif di tanah air. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta ini sungguh merupakan pasar yang empuk bagi industri otomotif dunia untuk memasarkan produknya. Kepentingan-kepentingan asing yang tidak menginginkan bangkitnya industri otomotif nasional bisa jadi akan memainkan pengaruhnya melalui para penumpang gelap ini. Oleh karena itu sungguh bisa dipahami mengapa upaya untuk mewujudkan mobil nasional cenderung menghadapi problem dan hambatan yang lagi-lagi dibuat oleh kita sendiri. Andai saja semua pihak dan stakeholders memiliki satu mimpi yang sama, maka keinginan bangsa ini untuk dapat memiliki mobil nasional tentu bukan sesuatu ang berlebihan dan mengada-ada. Kuncinya adalah bersediakah para pemimpin dan elit politik kita bersikap dan bertindak untuk kepentingan nasioaal.
Sejak kemunculan pertamanya, mobil listrik memang  digadang-gadang akan menjadi terobosan dunia otomotif di masa depan karena profilnya sesuai dengan dunia yang semakin lama semakin memerlukan solusi berkendara yang ramah lingkungan. Keunggulan dari mobil listrik sangat banyak, selain ramah lingkungan juga dapat memberikan solusi akan semakin membengkaknya subsidi untuk BBM.
Dalam upaya menghadirkan mobil listrik nasional, rasanya patut kiranya untuk belajar dengan Bangsa Cina. Menyadari kian menipisnya pasokan energi yang dimiliki plus dampak polusi yang diakibatkan oleh knalpot mobil dan kendataraan motor berbahan bakar minyak, Cina secara tegas sudah melarang motor-motor berbahan bakar minyak melintasi kota macam Beijing dan Xianment. Sehingga kalau pun ada sepeda motor berkeliaraan di kota-kota besar di Cina maka yang ada adalah motor listrik. Artinya, Beijing sudah melangkah lebih dulu dalam mempopulerkan kendaraann berbasis energi listrik. Selain itu, Cina kini juga tengah membidik untuk menjadi negara penghasil baterei listrik terbesar di dunia. Artinya, Cina sudah menyadari bahwa teknologi berbasis energi listrik di masa depan akan akan prospektif, dan Cina sudah memilih aspek yang akan digarapnya yakni baterei listrik. Lima tahun ke depan China akan menjadi negara pemimpin produsen baterai mobil listrik terbesar di dunia. Karena fasilitas produksi baterai di China akan efektif beroperasi pada 2015. Dalam situasi seperti itu, maka keinginan bangsa Indonesia untuk mewujudkan mobil listrik ini tentu harus secara serius dan konsisten diwujudkan. Kalau tidak maka akan semakin tertinggalah negeri ini dalam hal teknologi otomotif.
Momentum Kebangkitan
Bahwa terlepas dari segala pengalaman pahit tersebut tetaplah harus selalu disemaikan optimisme bagi bangsa ini untuk terus melangkah maju ke depan. Sekali lagi, potensi bangsa ini sungguh luar biasa. Rasanya tidak ada teknologi yang tidak bisa dikuasi oleh anak-anak bangsa ini.
Lihat saja, berbagai piala dan penghargaan berbagai ajang kompetisi yang mengadu kecerdasan dan ketrampilan Iptek kerap disumbangkan pelajar dan mahasiswa yang bertanding. Kondisi inimembuktikan bahwa potensi SDM yang dimiliki bangsa ini tidak kalah dibanding dengan Negara-negara maju di dunia. Hanya sayangnya memang potensi-potensi tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh bangsa ini. Bangsa ini sungguh butuh pemimpin yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kebangkitan Indonesia. Butuh seorang pemimpin yang mau memberikan panggung bagi putra-putri terbaik bangsa ini. Bukan pemimpin yang justru memberi karpet merah kepada asing untuk menguasai bangsa ini. Lambannya mewujudkan mobil nasional adalah indikasi nyata betapa para pemimpin ini tidak secara sungguh-sungguh ingin mewujudkannya. Kendalanya bukan karena bangsa ini tidak mampu, tetapi adalah karena pemimpinnya yang tidak bisa menolak tekanan industri otomotif asing yang akan kelabakan ketika Indonesia memiliki produk mobil nasional. Maka pertanyaannya adalah, harus sampai kapankah bangsa ini hanya jadi pasar bagi produk-produk Iptek bangsa lain, padahal bangsa ini punya potensi untuk membuatnya sendiri?
Lantaran itu, momentum Pemilihan Presiden mendatang harus mampu menghasilkan seorang pemimpin yang tidak butuh lagi pencitraan, tetapi pemimpin yang memiliki tekad kuat untuk mengangkat martabat bangsa ini. Pemimpin yang berani menantang dunia untuk kepentingan rakayat dan bangsanya. Dalam konteks pengembangan Iptek, kita butuh Presiden yang berani pasang badan untuk membentgneg kreasiu dan inovasi anak negeri ini dalam berkarya.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

——- *** ——-

Tags: