Mewaspadai Serangan Dhuha

Umar Sholahudin

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Voulunter ICW pada Program Pemantauan Pemilu 2014 di Surabaya,
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya
Seorang filsuf Barat, Voltaire mengatakan; “dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Uang telah menempati bagian penting sebuah dalam drama politik yang dimainkan oleh para politisi”.
Menjelang detik-detik terakhir Pemilihan anggota legislatif (Pileg), 9 April 2014, potensi intensitas praktik money politic disinyalir semakin tinggi. Para politisi yang menggunakan cara-cara instan tersebut tidak percaya diri dan takut kalah, karenanya menggunakan jalan pintas dengan menyebar uang ke pemilih. Kondisi ini relevan dengan pernyataan Voltaire tersebut untuk menggambarkan perilaku elite politik menjelang pemilihan Setelah menyebar uang pada saat kampanye, kini para Tim Sukses/pemenangan Caleg/parpol berkosentrasi pada “pengamanan” dan perluasan suara menjelang pemungutan suara. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, masa tenang dan menjelang hari H pemilihan, Tim Sukses/pemenangan pasangan capres-cawapres tidak berhenti untuk terus mempengaruhi para calon pemilih agar memilih pasangannya. Bahkan di saat masa tenang seperti saat ini, praktik money politic masih terus terjadi.
Praktik money politic  tak hanya terjadi pada saat kampanye dan masa tenang saja, menjelang detik-detik terakhir pemilihan, Tim Sukses/pemenangan para caleg/parpol tak mau berhenti melakukan upaya mempengaruhi pilihan pemilih dengan berbagai cara. Dan cara yang paling instan adalah dengan money politic. Kita mengenal adanya Serangan Fajar, yakni praktik money politic atau bagi-bagi uang, sembako, atau bentuk materi lainnya menjelang subuh. Bahkan saat ini berkembang istilah baru, yakni Serangan Dhuha, Tim Sukses/pemenangan bergerilya mendatangi calon pemilih sekitar jam 06.30 menjelang pemilihan. Dengan Serangan Dhuha ini, apalagi dengan imbalan yang lebih besar, diharapakan dapat merubah pilihan para pemilih.
Para Tim Sukses atau Pemenangan Caleg/parpol sepertinya mulai belajar dari praktik “serangan fajar” pada pemilu-pemilu sebelumnya. Dalam pikiran mereka, Serangan Dhuha dipandang lebih efektif, karena dapat mempengaruhi dan bahkan merubah pilihan politik calon pemilih secara langsung pada saat injury time. Dengan imbalan yang jauh lebih besar, calon pemilih dalam seketika bisa merubah pilihan politiknya. Apalagi jika diikuti dengan tekanan politik. Sehingga calon pemilih merasa takut dan tak punya pilihan lain, kecuali memilih sesuai dengan pesanan.
Praktik politik uang pada saat-saat menjelang pemilihan atau pemungutan suara ini, berpotensi akan lebih marak. Tim Sukses/pemenangan Caleg/parpol dan underbow-nya akan berlomba-lomba bagaimana agar suara aman dan bisa mendapatkan suara lebih banyak sehingga kandiadatnya bisa terpilih. Seperti Pilpres-Pilpres sebelumnya, diprediksi uang yang beredar di tengah-tengah masyarakat akan semakin banyak dan meluas. Apalagi kompetisinya semakin ketat.
Biasanya praktik kotor ini (baca: politik uang) oleh Tim Sukses/pemenangan Caleg/parpol dan jaringan di bawahnya; Pertama, tidak memiliki kepercayaan diri dan merasa takut dirinya tak terpilih. Orang yang tak punya kepercayaan diri dan merasa takut tak terpilih, akan menggunaan cara-cara politik Macahavelli, yakni politik segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, yakni melakukan politik uang. Kedua, praktik politik uang biasanya dilakukan oleh Tim Sukses/pemenangan Caleg/parpol yang berkantong tebal. Asumsi politiknya, Parpol besar pasti memiliki dana politik yang juga besar dan memiliki upaya besar untuk melakukan praktik politik uang. Apalagi bagi Parpol besar yang mengalami paranoid suaranya akan turun atau tak percaya diri, mereka akan menggunakan dana politiknya untuk terus mempengaruhi pemilih.
Lima menit untuk lima tahun
Dalam aturan UU Pemilu Legislatif No. 8/2012 pada pasal 301-303 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD sudah sangat jelas larangan dan sanksi politik uang -menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya, baik pada masa kampanye, masa tenang dan masa pemungutan suara. Jika peserta pemilu melakukan politik uang maka saknsi cukup tegas dan berat, yakni diancam hukuman masing-masing 2 tahun denda 24 juta, 4 tahun dengan denda 48 juta dan 3 tahun dengan denda 36 juta. Dan jika calegnya terbukti melanggar pidana pemilu tersebut, juga akan mendapat; dicabut/dibatalkan dari daftar caleg tetap, dan jika terpilih akan dibatalkan keterpilihannya. Meski aturannya jelas dan tegas, namun masih saja ada beberapa caleg yang melanggarnya. Namun sangat disayangkan penegakan pidana pemilu semacam politik uang masih sangat lemah.
Masyarakat pemilih harus sadar bahwa money politic adalah racun bagi dirinya dan bangsa ini. Caleg atau parpol yang mengandalkan politik uang nantinya jika terpilih akan berperilaku lebih ganas bak predator yang bisa menghisap uang rakyat lebih banyak. Jika sudah menjadi pejabat, dalam pikirannya akan muncul bagaimana uang ratusan juta yang telah dikeluarkan bisa balik, bahkan kalau perlu bisa lebih. Caleg atau parpol model ini akan “menghalalkan segala cara” dalam meraih keuntungan politik dan ekonomi ketika sudah duduk menjadi wakil rakyat.
Pemilu yang diwarnai dengan politik uang yang begitu vulgar dan tanpa dosa ini bukannya akan memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, tapi justru sangat membodohi masyarakat dan menghancurkan sendi-sendi demokrasi. Caleg, parpol, atau Tim Sukses pemenangan yang mengandalkan uang dalam meraih kursi kekuasaanya, sudah dipastikan akan menjadi rezim korup jika mereka nantinya berkuasa atau memegang kekuasaan. Bahkan perilaku korupnya dipastikan akan lebih korup dibandingkan pada saat kampanye.
Lima menit untuk lima tahun. Kesalahan kita dalam memilih akan menentukan nasib kita selama lima tahun. Karena itu, pilihlah kandidat yang berintegritas.  Masyarakat pemilih dituntut untuk berfikir lebih rasional dan cerdas. Pemilih jangan sampai tergiur dengan imbalan materi yang diberikan Tim sukses/pemenangan caleg atau parpol tertentu. Caleg atau parpol yang bermental dan berkarakter korup, aji mumpung dan tak berorientasi pada kepentingan rakyat wajib untuk tidak dipilih Awalnya mungkin  berkah bagi pemilih, namun kedepannya akan menjadi bencana politik bagi pemilih dan bangsa ini.

Rate this article!
Mewaspadai Serangan Dhuha,5 / 5 ( 1votes )
Tags: