Mewujudkan Kesejahteraan Buruh

Yeny Oktarina(Refleksi Hari Buruh)

Oleh :
Yeny Oktarina
Pengajar FKIP Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Setiap 1 Mei masyarakat dunia memperingati Hari Buruh Internasional (May Day), tidak terkecuali Indonesia sendiri yang juga ikut serta memperingati hari ini. Hari Buruh selalu menjadi hari penuh refleksi akan `eksploitasi miskin kesejahteraan’ yang dirasakan oleh kelompok buruh. Pertarungan buruh untuk memperoleh hak-hak ekonominya tidak pernah selesai dalam satu gerakan demonstrasi ataupun gerakan politik lainnya di parlemen.
Peringatan hari ini diharapkan dapat menjadi titik refleksi bagi para buruh untuk kemudian dapat melihat apa-apa saja masalah yang terjadi di buruh dan kemudian dapat disuarakan untuk sekiranya dapat direalisasikan oleh pemerintah dengan beragam kebijakan yang pro-rakyat tentunya.
Dinamika perjuangan buruh
Gerakan buruh dalam perjalanannya, mengalami berbagai dinamika. Kalau dahulu masalah buruh berada diseputaran masalah ekonomi-politik, hal yang sama juga terjadi dewasa ini. Yang berbeda hanya kemasan dan zamannya saja. Teruntuk pula yang terjadi di Indonesia, sekelumit masalah perburuhan masih menjadi momok yang perlu dicari jalan keluarnya. Buruh di Indonesia masih saja menghadapi masalah. Secara lebih spesifik, isu buruh Indonesia kontemporer bermuara pada dua hal penting.
Di masa sekarang dan masa-masa mendatang hendaknya merupakan upaya menuju kondisi kerja yang lebih baik dan berkembang pada cita-cita peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Butuh konsistensi perjuangan dan jejaring politik penyokong aspirasi ekonomi buruh di Indonesia.
Fakta itulah, hingga akhirnya mewarnai dinamika perjuangan dan pertarungan buruh. Permasalahan utama dari minusnya kesejahteraan dalam bentuk upah yang diberikan kepada buruh, dilatarbelakangi oleh dua hal.
Pertama adalah paradigma yang menempatkan buruh sebagai cost (biaya) an sich. Pengusaha dan pemerintah abai perubahan paradigma bahwa buruh adalah makhluk ekonomi dan social, sekaligus yang membutuhkan insentif dalam rangka mendorong kinerja dan tanggung jawabnya dalam jangka panjang. Paradigma kapitalisme yang prorezim upah buruh masih menyelimuti kebijakan perburuhan di Indonesia, sehingga paradigma yang menempatkan buruh sebagai investasi sulit diterima dan dihadirkan dalam kebijakan ekonomi perburuhan di Indonesia.
Kedua adalah akibat paradigma buruh sebagai cost yang merupakan produk pemikiran kapitalisme di atas, maka penguasaan dan distribusi surplus sepenuhnya dikuasai oleh pemilik modal atau pengusaha. Di negeri sendiri, bekerja menjadi buruh yang hanya menawarkan tenaga kepada para pemilik modal kadang menjadi pilihan yang dilematis.
Kahlil Gibran, pujangga asal Libanon, pernah bertutur kerja seharusnya menjadi aktualisasi diri, menjadi ungkapan kehidupan sehingga menghasilkan karya yang berarti. Tapi dalam realita, para buruh harus bekerja dengan menjual peluh, dengan upah yang tidak mencukupi untuk hidup layak, sehingga bukan aktualisasi diri yang terjadi tetapi alienasi diri.
Kapitalisme memang hanya menomorsatukan modal atau uang. Martabat manusia menjadi urusan ke sekian. Maka, dunia kerja kita pun secara umum masih menyimpan masalah laten terkait relasi buruh-pengusaha yang tidak harmonis.
Buruh merasa hanya dieksploitasi untuk terus bekerja, seperti tampak pada tingginya angka kecelakaan kerja. Pengusaha selalu melihat buruh dengan sebelah mata. Padahal, Bertrand Russel pernah menulis, kepemilikan modal (kapital) tidak akan berarti tanpa buruh (Russel, 1988).  Fakta ini, tentu dibutuhkan keperdulian semua pihak.
Keperdulian semua pihak
Para buruh jelas tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri. Perlu solidaritas dari kalangan nonburuh, seperti agamawan, wartawan, atau orang-orang media dan para aktivis kemanusiaan yang memiliki kepedulian.
Sudah sejak lama agama apa pun memikirkan mereka yang tertindas dan menderita. Namun dalam realita, baru teologi pembebasan yang lahir pada akhir dekade 1960-an di Amerika Latin yang sungguh memikirkan secara khusus penindasan atas kaum miskin (dalam hal ini buruh). Karena, basis refleksi teologi pembebasan adalah kaum miskin, lalu dari sana membuat sistematisasi teologi tentang kaum tertindas dan solusi pembebasannya (lihat M Maier: Theologie der Befreiuang Latein Amerikaa, hal 730-731). Lagi pula teologi pembebasan tidak dimulai dari teori, tapi langsung dengan praksis (praktik sekaligus teori) agar yang lemah tidak dibiarkan ditindas terus.
Melihat realitas tersebut, jelas menegaskan bahwa siapa pun perlu menjadi mediator agar relasi buruh-pengusaha ke depan tidak saling meniadakan, sehingga kedepannya, partisipasi politik buruh perlu ditingkatkan hingga tumbuh kuat kepemimpinan baik di level eksekutif, legilatif, maupun di kalangan parpol-parpol yang memiliki keberpihakan kuat terhadap perbaikan nasib buruh.
Selain itu, Menteri terkait harus memahami implikasi globalisasi terhadap pasar kerja. Termasuk implikasi tumbuhnya pasar bersama MEA, agar keberpihakan pemerintah pada kaum buruh makin jelas. Banyak persoalan buruh yang sering dimunculkan ke permukaan, namun pemerintah seakan tutup mata dan tidak mau peduli dengan keberadaan buruh. Padahal kalau disimak bersama para buruh tersebut tidak asal-asalan dalam menuntut haknya. Ironisnya, aksi buruh tidak jarang hanya berujung pada riak-riak kecil saja yang sering disepelekan pemerintah.
Melihat kenyataan itu, maka mengharapkan pemerintah betul-betul berpihak kepada buruh seperti suatu yang mustahil, karena dalam upaya mempertahankan investor agar betah menanamkan modal di Nusantara, pemerintah tentunya harus memberikan kemudahan dan keistimewaan dalam hal-hal tertentu kepada pengusaha.
Selain itu, dari kebijakan pemerintah beberapa tahun belakangan mengenai nasib buruh, memang ditemukan adanya perbaikan, namun masih terlalu minim. Oleh karena itu, organisasi buruh dan pengusaha perlu duduk bersama, termasuk dengan pemerintah untuk memikirkan upaya penataan nasib buruh agar menjadi lebih baik di kemudian hari.
Besar harapan, sekali lagi ditujukan pada semua pihak, mulai dari kalangan nonburuh, seperti agamawan, wartawan, atau orang-orang media dan para aktivis kemanusiaan agar lebih memiliki kepedulian terhadap gerakan buruh yang mengalami berbagai dinamika.
Secara lebih spesifik, isu buruh Indonesia kontemporer bermuara pada dua hal penting, yaitu banyaknya perusahaan menggunakan outsourcing yang melanggar undang-undang, kedua banyak perusahaan menggunakan pekerja kontrak melebihi waktu kontrak yang tidak sesuai dengan undang-undang.
Buruh menolak kebijakan outsourcing karena dianggap mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen/tetap (kesehatan, benefit). Tak ada pilihan bagi buruh untuk selalu merapatkan barisannya seraya selalu konsisten menggelorakan slogannya “buruh bersatu tak bisa dikalahkan”.

                                                                                                 ——————– *** ——————–

Rate this article!
Tags: